+ResistNews Blog - Menanggapi polemik aksi senator anti-muslim Austalia di gedung Parlemen yang menyerukan pelarangan burqa secara nasional beberapa waktu lalu, Al Jazeeramenghubungi Greg Barton, seorang profesor politik Islam global di Deakin University.
Profesor Barton mengatakan bahwa seruan Hanson untuk melarang jilbab hanya mendapat sedikit dukungan dari masyarakat Australia.
“Pauline Hanson memiliki catatan panjang menakut-nakuti [demonisasi] tentang orang-orang Asia, imigran dan penduduk asli Australia yang kejam dan ini hanyalah tudingan yang murah. Untungnya dia tidak berbicara untuk sebagian besar orang Australia,” pungkas Barton kepada Al Jazeera.
“Tapi dia punya dukungan tiga senator di majelis tinggi dan itu penting dan tidak bisa diabaikan,” imbuhnya.
Pauline Hanson, merupakan pemimpin kelompok Anti-Muslim dan Anti-Imigran dari Partai One Nation, Ia beraksi dalam sebuah sidang Parlemen, Kamis (17/08) dengan mengenakan burqa. Selang beberapa menit kemudian dia melepaskan burqa itu sembari menjelaskan bahwa dia menuntut agar pakaian semacam itu dilarang di Australia.
Hanson berdalih pelarangan burqa adalah demi urusan keamanan nasional Australia.
“Ada sebagian besar warga Australia yang menginginkan pelarangan burqa,” kata Hanson, seorang penggemar vokal Presiden Donald Trump, sdementara banyak senator berkeberatan, dilansir oleh Al Jazerra.
Jaksa Agung Kecam Aksi Hanson
Jaksa Agung Australia, George Brandis beberapa waktu lalu mendadak viral di media sosial setelah Ia mengecam keras aksi seorang senator anti-muslim Australia Pauline Hanson yang melakukan provokasi teatrikal dan kampanye kebencian terhadap burqa.
Aksinya yang penuh kebencian dan penghinaan atas burqa di Parlemen Australia itu segera memicu kemarahan para politisi lainnya.
Rekaman video kecaman keras Jaksa Agung Brandish segera menjadi viralm bahkan unggahan media Australia “AJ+” @ajplus diretweet oleh hampir 17ribu pengguna Twitter dan disukai oleh 9.700 lainnya.
Jaksa Agung George Brandis menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melarang hijab tersebut. Brandis mengecam Hanson atas apa yang dia gambarkan sebagai “aksi” yang sangat menyinggung minoritas Muslim Australia
“Untuk mengejek dan menertawakan masyarakat itu (Muslim), memojokkannya, mengolok-olok pakaian religiusnya adalah hal yang mengerikan untuk dilakukan dan saya akan meminta Anda untuk merenungkan apa yang telah Anda lakukan,” tutur Brandis.
Senator Australia Tolak Pelarangan Burqa
Tak hanya Jaksa Agung Brandis, ulah Hanson juga membuat kemarahan banyak senator lainnya.
Pemimpin Senat Oposisi Penny Wong, segera memprotes aksi Hanson di Parlemen yang mengolok-olok Muslimah yang mengenakan burqa. “Satu hal, dengan mengenakan pakaian religius sebagai tindakan iman yang tulus; (tapi) yang lain memakainya sebagai aksi di Senat (parlemen),” ujarnya menyinggung aksi Hanson.
“Aksi pecah belah Pauline Hanson tidak dibenarkan di parlemen kita. Terima kasih George Brandis atas kata-katamu yang bagus hari ini.” #SenateQT, tegas Senator Penny Wong melalui akun Twitternya
Sam Dastyari, seorang senator oposisi yang juga merupakan seorang Muslim kelahiran Iran, mengatakan: “Kami telah melihat semua aksi di ruangan ini oleh Senator Hanson.”
“Hampir 500.000 warga Muslim Australia tidak layak menjadi sasaran, tidak pantas dipinggirkan, tidak pantas diejek, tidaklah pantas ketika keyakinan mereka membuat dijadilan permainan politik oleh pemimpin partai politik yang putus asa.”
Presiden Senat Stephen Parry mengatakan bahwa identitas Hanson telah dikonfirmasi sebelum dia memasuki ruangan tersebut. Parry juga mengatakan bahwa dia tidak akan mendikte standar pakaian untuk persidangan Parlemen tersebut.
Gedung Parlemen secara singkat memisahkan wanita yang mengenakan burqa pada tahun 2014.
Departemen yang menjalankan Parliament House mengatakan bahwa “orang-orang dengan penutup wajah” tidak akan diizinkan lagi di galeri umum terbuka gedung tersebut.
Sebagai gantinya, mereka diarahkan ke galeri yang biasanya disediakan untuk anak-anak sekolah yang bising, di mana mereka bisa duduk di belakang kaca kedap suara.
Kebijakan tersebut dicap sebagai “larangan burqa” dan dikecam secara luas sebagai pemisah perempuan Muslim, dan juga pelanggaran hukum anti-diskriminasi yang potensial.
Pejabat pengelola Parlemen mengalah, kemudian mengizinkan orang-orang yang mengenakan penutup wajah di semua area umum Gedung Parlemen setelah penutupnya dilepas sementara di pintu depan bangunan sehingga staf bisa memeriksa identitas pengunjung.
Alasan di balik segregasi tidak pernah dijelaskan, namun tampaknya dipicu oleh desas-desus tentang radio Sydney yang mengabarkan tentang orang-orang yang mengenakan burqa berencana demonstrasi anti-Muslim di Gedung Parlemen.[panjimas/ +ResistNews Blog ]