-->

Ada Apa di Balik Kunjungan Erdogan ke Iran? Erdogan: "Iran Rumah Kedua"



SALAH satu catatan dunia Islam yang perlu kita cermati pada akhir januari kemarin adalah kunjungan PM Turki ke Iran. Recep Tayyiv Erdogan di di Taheran pada Selasa (28/1/2014) dan secara khusus bertemu dengan presiden Iran Hassan Rouhani dan pemimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei.

Dalam konferensi persnya , PM Erdogan menunjukkan kesediaannya untuk mengembangkan hubungan dengan Iran. Pada kunjungan PM Erdogan ke Iran kali ini ia merasa seperti berada di rumah kedua. Bertemu dengan Presiden Iran, Hassan Rohani untuk pertama kalinya, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Iran adalah seperti ” rumah kedua. ”

Kunjungan yang di-blowup oleh media massa dalam rangka memperbaiki hubungan perdagangan antar dua negara ini patut diperhatikan mengingat Iran dan Turki tampak berbeda sikap ihwal konflik di Suriah. Selama ini Turki menampakkan secara terbuka mendukung pihak oposisi Suriah.

Sementara Iran secara terang-terangan mendukung rezim Assad. Dukungan Iran dilakukan secara politik dan militer hingga mengirim pasukan Garda Revolusi Iran secara diam-diam ataupun melalui pengirim milisi sekutu dekat Iran di Lebanon, Hizbullah.

Menarik untuk dikaji apakah kunjungan Erdogan ke Iran ini hanya sebatas kepentingan perdagangan? Adakah kepentingan lain di balik itu.

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, penting untuk dipahami posisi Iran dan Turki terkait hubungannya dengan Amerika Serikat. Sebab untuk bisa memahami politik regional tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara negara-negara regional dengan Amerika Serikat. Sebab negara yang paling memiliki banyak kepentingan di kawasan konflik apalagi Timur Tengah adalah Amerika Serikat.

Turki dan Iran sendiri pada dasarnya adalah negara yang ada dibawah hegomoni Amerika. Turki adalah sekutu positif Amerika serikat di kawasan ini. Dalam hal ini Amerika menggunakan Erdogan dengan Partai AKP-nya. Sekutu positif , karena Erdogan secara terbuka tampak bekerjasama erat dengan Amerika terutama di bidang ekonomi melalui organisasi IMF dan Bank Dunia. Washington juga memberikan bantuan ekonomi penuh terhadap Turki.

Secara politik Amerika Serikat sendiri menjadikan Turki sebagai model negara sekuler yang sukses memadukan demokrasi dan Islam. Secara khusus pula melalui partai AKP, Amerika berupaya menghilangkan pengaruh Inggris di Turki terutama di kalangan tentara.

Elit-elit Partai AKP dengan tegas menyatakan bahwa partai mereka bukan partai Islam seperti pernyataan Erdogan di Johns Hopkins University. Saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4/2007), Erdogan juga menegaskan komitmennya mendukung negara sekular Turki.

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dalam kunjungannya ke Mesir September 2011, menyerukan pemerintah Mesir untuk menjadi negara sekuler. “Tidak ada yang harus dikhawatirkan dengan sekularisme. Oleh karena itu, saya harap, Mesir akan menjadi negara sekuler,” kata Erdogan dalam wawancaranya dengan TV kabel “Dream”, seperti dilaporkanGuardian, Rabu (14/9/2011).

Sementara Iran adalah sekutu negatif Amerika. Iran menjalankan kepentingan Amerika, meskipun secara retorika internasional Iran dan Amerika tampak berseberangan. Hal ini tampak dari Iran terhadap pemerintahan Irak al Maliki yang pro Amerika. Tidak lama setelah pendudukan Amerika di Irak, Iran segera membuka kedutaan besarnya. Demikian juga tak lama setelah al Ja’fari terpilih, menlu Iran saat itu –Kamal Harazi- langsung mengunjungi Baghdad pada tahun 2005.

Bukti lain adalah dukungan Iran terhadap pendudukan Amerika di Afghanistan dan upaya mempertahankan rezim boneka Hamid Karzai. Mantan presiden Iran Rafsanjani menyebutkan, “seandainya kekuatan kami tidak membantu dalam memerangi Taleban niscaya orang-orang Amerika terjerembab dalam lumpur Afghanistan” (ash-Sharq al-Awsath, 9/2/2002).

Muhammad Ali Abtahi wakil mantan presiden Iran Khatami untuk urusan perundang-undangan dan parlemen di Konferensi Teluk dan Tantangan Masa Depan yang diselenggarakan di emirat Abu Dabi sore tanggal 13/1/2004 mengatakan: “seandainya tidak ada kerjasama Iran niscaya Kabul dan Baghdad tidak akan jatuh dengan begitu mudah. Akan tetapi sebagai balasannya kami dimasukkan dalam poros kejahatan”! (Islam on line, 13/1/2004)
Presiden Ahmadinejad juga menegaskan hal itu dalam kunjungannya ke New York saat menghadiri Sidang Umum PBB.

Dalam wawancaranya dengan surat kabar New York Times tanggal 26/9/2008, ia mengatakan: “Iran memberikan tangan bantuan kepada Amerika Serikat dalam hal yang berkaitan dengan Afganistan. Dan hasil dari bantuan-bantuan itu, presiden Amerika mengarahkan ancaman-ancaman langsung untuk melancarkan serangan militer terhadap kami. Sebagaimana negeri kami juga memberikan bantuan kepada Amerika dalam mengembalikan ketenangan dan stabilitas ke Irak”.

Dalam konteks negara yang berada dalam hegomoni Amerika Serikat, pastilah hubungan Iran dan Turki tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Amerika. Terkait dengan Suriah, kepentingan Amerika yang terbesar saat ini adalah mencari pengganti rezim Basar Assad yang masih bisa dikontrol Barat dan mencegah berdirinya negara Khilafah di Suriah. Inilah kepentingan terbesar di balik kunjungan Erdogan ke Iran.

Terkait dengan ihwal membendung tegaknya Khilafah di Suriah, semua negara Barat berikut pendukung regionalnya menggunakan bahasa yang sama yaitu memerangi terorisme di Suriah. Dan apa yang mereka maksud dengan ancaman teroris adalah para mujahidin di Suriah yang berjuang membebaskan diri dari rezim bengis Assad dan menginginkan tegaknya Khilafah.

Perkara memerangi terorisme ini yang dibahas dalam kunjungan David Cohen pejabat The U.S. Treasury Undersecretary for Terrorism and Financial Intelligence sehari sebelum kunjungan Erdogan ke Iran. Meskipun media masa memblowup peringatan Amerika terhadap hubungan perdagangan dengan Iran. Namun sumber terdekat Erdogan mengatakan masalah Suriah merupakan tema mendasar yang dibahas dalam kunjungan itu.

Dalam soal jawab politik tertanggal 2 Rabiuts Tsani 1435 H/2 Februari 2014 M ,Amir Hizbut Tahrir, Al-Alim al-Jalil asy-Syaikh ‘Atha Abu Rasytah memperkuat arah kunjugan ini dengan melihat bebera fakta politik. Antara lain : Pertama, sebagaimana yang dikutip Situs al-Ma’had pada 30/1/2014 , Erdogan dalam pertemuannya dengan presiden Iran Hassan Rohani. Erdogan menegaskan: “persetujuan dengan Iran untuk menghadapi terorisme.“ Yang mereka maksudkan adalah terorisme sesuai pengertian barat, yakni setiap perjuangan yang benar dan mukhlis untuk Islam.

Kedua, kunjungan kepala intelijen Turki Hakan Fidan bersama delegasi intelijen khusus. Koran al-Milliyet pada 30/1/2014 menyebutkan “penasehat intelijen Turki Hakan Fidan berkunjung ke Tehran sebelum tibanya Erdogan. Hakan Fidan mengepalai delegasi resmi dan ia menginap di hotel yang sama dengan Erdogan.“

Kepala intelijen Turki ini mengontrol masalah Suria dan mulai berkoordinasi dengan kepala intelijen Amerika CIA sejak hari pertama meletusnya revolusi dalam topik Suria. Makna politiknya, ada koordinasi intelijen antara Turki dan Iran untuk melakukan aktifitas mengimplementasikan rencana-rencana Amerika di Suria untuk menghentikan perjuangan umat Islam menegakkan Khilafah.

Tidak mengherankan kalau Turki baru-baru ini menangkap dan mendeportasi lebih dari 1000 muslim Eropa yang akan berjihad ke Suriah. Dalam hal ini intelijen Turki bekerjasama dengan intelijen Eropa dan Interpol. Turki juga setuju dengan keterlibatan Iran dalam berbagai proses penyelesaian krisis Turki yang dibidani oleh Barat.
Walhasil, tujuan dari kunjungan Erdogan ke Iran adalah mengimplementasikan kepentingan Amerika di Suriah untuk menghalangi tegaknya Khilafah di bumi Syam yang mulia. 

[Farid Wadjdi, Alumnus Hubungan Internasional Fisip Unpad dan Direktur FIWS (Forum on Islamic World Studies)/ +ResistNews Blog ]