-->

Obama Akui Remehkan Konflik Palestina - Israel

WASHINGTON (SuaraMedia News) – Satu tahun masuk ke Ruang Oval, Presiden AS Barack Obama mengakui telah meremehkan sulitnya konflik Palestina-Israel, mengatakan bahwa ia memasang harapan-harapan yang terlalu tinggi untuk dicapai.

"Ini benar-benar sulit. Ini adalah masalah paling rumit yang pernah saya hadapi," ujar Obama kepada majalah Time.

Ia mengatakan bahwa upaya AS untuk melanjutkan proses perdamaian Timur Tengah telah gagal.

"Dan saya rasa cukup adil untuk mengatakan bahwa untuk semua upaya kami di awal-awal keterlibatan, bukan ini yang saya inginkan."

Obama telah berulangkali menyerukan penghentian total semua pembangunan pemukiman Israel di Tepi Barat untuk membantu memulai kembali pembicaraan damai.

Gagal meyakinkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Washington sejak itu berhenti mengaitkan penghentian pembangunan pemukiman dengan peluncuran kembali pembicaraan damai.

Obama mengakui bahwa upayanya untuk membuat Israel berhenti membangun pemukiman telah gagal.

Ia mengatakan bahwa "Israel setelah sekian lama menunjukkan kesediaan untuk membuat beberapa modifikasi dalam kebijakannya."

"Namun masih sangat sulit untuk melangkah dengan sikap melawan seperti itu," ujar Obama.

Pemerintahan Netanyahu telah menyetujui sebuah moratorium 10 bulan untuk pembangunan pemukiman di Tepi Barat, tidak termasuk di Al Quds (Yerusalem Timur).

Palestina bersikukuh adanya pembekuan aktivitas pembangunan sebelum pembicaraan damai dilanjutkan.

Terdapat lebih dari 164 pemukiman Yahudi di Tepi Barat, memakan lebih dari 40% wilayah pendudukan itu.

Komunitas internasional menganggap semua pemukiman Yahudi di tanah pendudukan Palestina bersifat ilegal.

Obama mengatakan bahwa pemerintahannya telah memberikan harapan yang tinggi untuk dicapai dalam konflik Timur Tengah.

"Jika kami mengantisipasi beberapa persoalan politik pada kedua pihak lebih awal, kami mungkin tidak menaikkan harapan setinggi ini," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa para pemimpin Israel dan Palestina menghadapi kesulitan-kesulitan politik yang membatasi ruang mereka untuk bermanuver.

"Saya rasa Israel dan Palestina telah menemukan bahwa lingkungan politik, karakter koalisi mereka, atau perpecahan di dalam masyarakat masing-masing sangat menyulitkan mereka untuk mulai melakukan pembicaraan yang bermakna."

"Dan saya rasa kami terlalu memandang tinggi kemampuan kami untuk membujuk mereka melakukannya ketika politik mereka berjalan ke arah yang berlawanan dengan hal itu."

Utusan Obama, George Mitchell, pada hari Kamis memulai sebuah putaran baru "shuttle diplomacy" untuk melanjutkan kembali pembicaraan damai antara Palestina dan Israel.

"Mengetahui kerumitan dan kesulitan yang luar biasa, kami akan berusaha hingga mencapai tujuan tersebut. Itulah tujuan saya ada di sini hari ini," ujar Mitchell kepada wartawan menjelang pembicaraan dengan Presiden Israel, Shimon Peres.

Bagaimanapun Obama bersikukuh bahwa ia tidak akan melepaskan upaya untuk mewujudkan visi dua negara.

"Saya rasa sangatlah benar bahwa apa yang kami lakukan tahun ini tidak menghasilkan terobosan yang kami harapkan," ujarnya.

"Meski demikian, kami akan terus bekerja dengan kedua pihak untuk memenuhi, apa yang saya rasa, kepentingan terdalam mereka."

Menurut PolitiFact, situs pemenang penghargaan Plitzer yang melacak janji-janji Obama selama kampanye kepresidenan, konflik Timur Tengah merupakan salah satu isu dalam janjinya yang akan segera diatasi, namun menemui hambatan.

Selain konflik Palestina dan Israel, penarikan pasukan dari Irak juga terdaftar dalam janji-janji Obama.

Penutupan penjara Guantanamo serta reformasi kesehatan juga tak luput menjadi sorotan Politifact.

Hasilnya? PolitiFact menemukan bahwa sejauh ini baru ada 91 janji yang terpenuhi, 33 janji dikompromikan, 87 tertunda, dan 14 diantaranya dilanggar. Sisa janji-janji Obama yang lain dinyatakan "masih dalam tahap pengerjaan". (rin/io/sm) www.suaramedia.com