Yang menjadi janggal, Ariesman Widjadja juga menandatangi kontribusi tambahan untuk PT Jakarta Propertindo (BUMD) dan PT Taman Harapan Indah dalam penandatanganan kontribusi tambahan 15 % (Penulis membacanya sebagai pungli). Dalam sebuah dokumen, Ariesman Widjaja juga mengakui membiayai penggusuran Kalijodo sebesar 6 Miliar atas permintaan Ahok. Penyidik juga menemukan memo permintaan ahok itu di kantor Ariesman saat penggeledahan 1 April 2016.
Selain itu, penyidik juga menemukan perjanjian 12 proyek pemerintah yang harus dikerjakan Podomoro. Hal ini sebagai potongan dalam hal kontribusi tambahan 15 % para pengembang yang mendapat izin melakukan Reklamasi Teluk Jakarta. Yang menjadi janggal, dasar hukum kontribusi tambahan 15 % tidak ada dan peraturan yang membawahi reklamasi 17 pulau itu juga belum ada. Memang beberapa pekerjaan pembangunan rusun, penggusuran kalijodo akhirnya menjadi alat kampanye ahok hari ini. Memberikan izin reklamasi, lalu meminta pungli (kontribusi tambahan 15 % tidak ada dasar hukumnya) untuk program pencitraan ahok apa itu bukan korupsi?
Setidaknya ada 9 perusahaan yang terlibat Megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta:
PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda
PT Pelindo II
PT Manggala Krida Yudha/
PT Pembangunan Jaya Ancol
PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu)
PT Jaladri Eka Pasti
PT Taman Harapan Indah
PT Jakarta Propertindo
Dari sembilan pengembang, baru dua yang mendapat izin pelaksanaan. Keduanya, yakni Kapuk Naga Indah dan PT Muara Wisesa Samudera. Sementara, perusahaan lain baru mendapatkan izin prinsip. Setidaknya kita harus mencatat Muara Wisesa Samudera adalah anak perusahaan Agung Podomoro, PT Jaladri Eka Pasti juga anak perusahaan Podomoro Grup secara tidak langsung.
Kita juga wajib mengingat perjanjian kontribusi tambahan 15 % yang ditandatangani oleh Ariesman Widjaja (Presdir Agung Podomoro) bersama ahok dimana Ariesman juga menandatangani untuk PT Jakarta Propertindo dan PT Taman Harapan Indah. Terlihat jelas betapa vitalnya peran sebuah perusahaan raksasa properti Agung Podomoro Land dalam proyek reklamasi teluk Jakarta. Agung Podomoro Land dan Aguan terlihat sebagai ‘pengepul’ dalam Megaproyek Reklamasi dengan banyak tangan perusahaan dibawahnya.
Setidaknya kita juga dapat mencatat 4 hal dari aroma gelap Reklamasi Teluk Jakarta:
Pertama, Megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta dengan 17 pulau buatan belum memiliki payung hukum yang jelas. Kepres No 52/1995 yang selama ini jadi argumen ahok sudah tidak relevan. Isi Kepres tersebut hanya menjelaskan bahwa Reklamasi hanya berupa pengeringan laut dari bibir pantai hingga kedalaman 8 meter ditarik secara tegak lurus. Tidak ada isi yang merancang membangun 17 pulau buatan yang di atasnya berisi bangunan properti swasta.
Kepres tersebut juga sudah batal demi hukum karena berbenturan dengan peraturan terbaru (Lex posterior derogat legi priori) atau peraturan yang lebih tinggi (Lex superior derogat legi inferior). Kepres No 52/1995 itu gugur dengan adanya Perpres No 122/2012 dan UU No 1/2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Izin Pelaksanaa reklamasi yang dikeluarkan oleh ahok juga belum memiliki dokumen lengkap terkait hidrooceanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, geoteknik dan kajian demografis.
Kedua, Megaproyek reklamasi juga sarat dengan aroma suap dan barter politik. Hal ini terungkap dari suap Presdir Agung Podomoro Land kepada anggota DPR DKI serta kontribusi tambahan 15 % yang boleh kita sebut sebagai pungli karena tidak ada dasar hukumnya. Memo ahok dan perjanjian proyek sebagai barter izin reklamasi yang dilakukan oleh ahok dengan Agung Podomoro dan pengembang lainnya tanpa dasar hukum adalah korupsi politik.
Ketiga, Megaproyek reklamasi teluk Jakarta terlihat sangat dipaksakan hanya untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu. Dari hitungan tim hagiasovia keuntungan para pengembang dari penjualan properti di pulau Reklamasi dari pulau A hingga pulau M mencapai 600 Triliun. Itu dengan asumsi harga tanah disekitar PIK, Pluit dan Ancol sekitar 30 juta/m2.
Beredarnya video iklan Agung Podomoro Land yang menawarkan sejumlah properti mewah di atas pulau Reklamasi Teluk Jakarta ke negara RRC, semakin membuktikan motif bisnis megaproyek reklamasi teluk Jakarta. Bahkan, di pulau D sudah berdiri ribuan bangunan yang jelas tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Masyarakat terdampak -dalam hal ini nelayan pesisir teluk Jakarta- juga menolak proyek Reklamasi Teluk Jakarta karena mengganggu mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Kearifan lokal yang menjadi syarat dalam Perpres No 122/2012 diabaikan dalam pelaksanaan reklamasi teluk Jakarta.
Keempat, Ahok sebagai Gubernur Jakarta terlihat sangat ngotot agar reklamasi teluk Jakarta berjalan, walaupun nelayan menolak dan beberapa pihak mengkritik seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Padahal jika kita merujuk Perpres No 122/2012 terlihat jelas bahwa yang memiliki wewenang mengeluarkan izin lokasi dan pelaksanaan terhadap reklamasi zona strategis nasional dalah Menteri Kelautan dan Perikanan. Seperti yang kita bahas di atas bahwa dalam logika hukum, peraturan yang tebaru mengalahkan peraturan yang lama.
Ahok mengelurakan izin pelaksanaan reklamasi teluk Jakarta juga hanya selang dua bulan pasca ia menjabat sebagai Gubernur pengganti Jokowi, desember 2014. Kedekatan Ahok dengan Aguan, Ariesman Widjaja, Trihatma Haliman (Pemilik Agung Podomoro) dicurigai jadi alasan mengapa ahok begitu ngotot melakukan reklamasi 17 pulau buatan. Ahok juga pernah menjadi konsultan khusus Trihatma Haliman saat melakukan lobi terkait kewajiban fasum dan fasos Agung Podomoro Land di era Gubernur Sutiyoso.
Lalu, untuk siapakah kepentingan Megaproyek Reklamasi Teluk Jakarta? kata kunci untuk kita memahami keserakahan bisnis di Reklamasi Teluk Jakarta adalah; 13 pulau buatan dari A sampai M akan berisi properti mewah dengan keuntungan 600 triliun, dominasi kongsi bisnis Aguan dan Agung Podomoro, Hubungan erat ahok dengan aguan dan Trihatma Haliman (Pemilik Agung Podomoro), pungli kontribusi tambahan 15 % dan penolakan nelayan di teluk Jakarta.
Lalu dimana TW atau Tommy Winata yang juga terkenal dalam Reklamasi Teluk Beno, Bali. Dalam reklamasi teluk Jakarta, nama TW terdengar samar. Namun publik harus paham bahwa hubungan TW dengan Aguan sangat erat sekali, jika anda ingin kenal Aguan, maka anda harus kenal TW lebih dahulu. Diduga keduanya adalah kongsi bisnis yang menguasai Artha Graha Grup dan kawasan bisnis Sudirman Central Business District (SCBD), sebuah lahan yang dulunya merupakan tanah milik yayasan TNI AD yang ‘disulap’ menjadi kawan bisnis elite di tengah kota Jakarta.
Nama TW juga terkenal kuat di wilayah kepulauan seribu, diduga beberapa pulau seribu dimiliki secara private oleh TW. Bahkan dalam video youtube terlihat pertemuan rapat antara Ahok dan TW membahas konsep pengembangan infrastruktur kawasan pesisir Jakarta. Dalam video itu TW terlihat sebagai ‘kepala genk’ yang membawa sekelompok pebisnis naga untuk membicarakan konsep mengelola pulau reklamasi dan pulau-pulau di kawasan kepulauan seribu.
Megaproyek reklamasi Teluk Jakarta memang dirancang untuk kepentingan kongsi bisnis naga dalam meraup untung di sektor properti dan penguasaan kawasan bisnis elite di utara Jakarta. Bagi rakyat? kalian hanya perlu menyaksikan betapa mewah dan gemerlapnya kawasan itu kelak, maka tidak heran pemukiman nelayan yang dianggap kumuh harus disingkirkan, karena merusak pandangan mata para orang kaya yang akan tinggal dan berbinis di kawasan tersebut. [gosipintelijen/ +ResistNews Blog [