Sebuah artikel menarik ditulis oleh Bobi Hind berjudul Between Soeharto’s Petrus And Susilo (SBY)’s Densus In Indonesia. Tulisan yang dirilis 23 Januari 2014 dalam situs cia.asia itu persamaan Petrus (Penembak Misterius) di zaman Soeharto dengan Densus 88 di era SBY. Membunuh berdarah dingin, tanpa pernah beri kesempatan korban untuk menolak tuduhan… dan bekerja taat untuk sebuah kepentingan politik maupun uang. Begitu kira-kira ilustrasi Bobi Hind. Berikut ini terjemah artikel tersebut dalam bahasa Indonesia:
Penembak misterius, atau yang lebih dikenal dengan Petrus, mulai mashur sebagai kelompok anonim yang paling berbahaya, sejak tahun 1980. Era di mana rezim diktator Soeharto mendapatkan dukungan untuk menggantikan Soekarno melalui misi rahasia CIA.
Hanya beberapa orang yang sadar, ada perselisihan besar antara Soekarno dan Soeharto, yang didukung CIA, sejak 1958 sampai 1967. Tanggal 22 Februari 1967 telah ditandai sebagai “hari kemenangan” dimulainya kepemimpinan tangan besi Soeharto, yang didukung CIA dan saat itu ia resmi menjadi presiden kedua Indonesia.
Soeharto seorang diktator militer dan Kaisar para koruptor setelah Tragedi G-30S/PKI—sejak September 1965, malam di mana 7 Jenderal militer Indonesia pro-Soekarno tewas. Dengan tiba-tiba, ratusan juta rakyat Indonesia diajak oleh Soeharto untuk membersihkan dan menyapu ideologi komunisme yang dianggap lahir dari pemikiran Soekarno karena hubungan eratnya dengan Uni Soviet.
Propaganda Soeharto ini menyebabkan tak terhitung lagi jumlah orang yang tewas secara tragis. Diperkirakan 20 juta orang yang dituduh terlibat dalam gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) bernasib tidak jelas, sebagian besar hidup mereka berakhir di rumah-rumah pembantaian.
Tapi kasus itu bukan hanya tentang pembersihan komunis, bahkan banyak warga sipil yang tidak terlibat dalam gerakan komunisme juga dibantai tanpa ampun. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis Islam yang menuntut secara damai adanya pemerintah Islam yang Independen.
Di era rezim Soeharto, hampir mustahil untuk gerakan apapun untuk mengangkat senjata melawan pemerintah. Aceh dan Timor Timur telah menjadi saksi pertama bagaimana pembantaian besar-besaran terjadi pada mereka yang melawan pemerintah. Petrus dan Laksus yang resmi di bawah komando militer telah menjadi aktor utama dari genosida tersembunyi di Aceh dan Timor Timur.
Mereka bekerja dari pintu ke pintu di malam hari, untuk memilih orang-orang yang berpikir anti-Soeharto yang didukung CIA. Tepi sungai, rel kereta api, jembatan tinggi, hutan gelap menjadi saksi tuli, sebagai tempat eksekusi kejahatan besar ini .
Tapi sejak tahun 2004 sampai saat ini, gerombolan/kawanan pembantai telah berubah nama dan dikemas dengan lebih rapi, dan bahkan terlihat seperti didukung oleh komunitas internasional. Sebuah unit pasukan berpakaian hitam, gugus tugas khusus yang beroperasi di bawah nama “perang melawan terorisme” telah menciptakan wabah baru penyakit dan ketakutan kepada masyarakat sipil.
Mereka bernama “Densus 88″, yang memiliki tugas dan misi sama dan hampir tidak berbeda dengan “Petrus” di era rezim Soeharto. Dan di masa kini, penculikan, pembunuhan, penyiksaan secara rapi dilakukan atas nama “perang melawan terorisme” oleh Densus 88 di era Presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono(SBY).
Terduga melakukan atau bukan, dengan ataupun tanpa bukti, kematian dan penahanan mereka akan dianggap sah, demi terus mengalirnya kucuran uang ke unit pasukan berseragam hitam ini, dari uang para pembayar pajak di negara-negara donatur mereka, negara-negara Barat.
Sebagian besar dari organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sangat keras ketika berbicara menentang pelanggaran Hak Asasi yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap gerakan separatis di Papua dan di Aceh di masa lalu, tetapi mereka menjadi sedikit diam atau mungkin hampir tuli terhadap kasus-kasus kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali dilakukan oleh Densus 88 (detasemen khusus 88).
Operasi kontra terorisme mereka terhadap penduduk sipil baik yang dicurigai sebagai teroris ataupun bukan, sepertinya 99% akan dilakukan tembak di tempat. Sayangnya, sebagian besar tindakan ini tak dapat dihentikan, dan kemudian hening, seperti tidak terjadi sesuatu. Kematian untuk sang terduga pun juga tidak dapat dihindari.
“Sekarang, apa saja yang mungkin terdengar, tercium, dan terlihat seperti “teroris” walaupun tidak ada hubungannya dengan terorisme, hanya soal waktu bagi mereka untuk dihabisi (dibunuh) secara langsung tanpa perlu adanya sebuah alasan. Dan, hal ini dibenarkan dan didukung oleh media nasional. Mereka ini terutama yang memakai jubah dan berjenggot atau siapapun berbicara tentang perjuangan Islam di Ambon dan Poso, tempat di mana ribuan nyawa umat Islam melayang karena konflik”, kata seorang mahasiswa muda yang menolak untuk menyebutkan namanya .
Sementara orang lain yang tinggal di Jakarta yang berbicara kepada saya melalui skype juga mengatakan “Mereka (densus 88 –red) memang sebuah gang yang dibuat dan dibiayai oleh rakyat Amerika untuk menekan bahkan membunuh kami sebagai aktivis Islam, bukan sebagai teroris, karena kami adalah warga sipil, dan kami tidak melihat teroris di sini.
Proses ini berlangsung secara sistematis dan didukung sepenuhnya oleh media televisi nasional, dan apa yang mereka lakukan sekarang , adalah salah satu cara untuk menciptakan lebih banyak lagi tindakan atas nama balas dendam, bukan terorisme, dan itu mungkin dilakukan oleh anggota keluarga korban.”
Insiden di Medan, Sumatera Utara, pada tahun 2011, saat Densus 88 menangkap Khairul Ghozali dan empat orang lain ketika sholat masih tidak dapat dilupakan. Dua orang ditembak langsung ketika mereka sedang shalat di masjid. Seorang keponakan korban bernama Rabbaniyah, 20 tahun, sangat terkejut melihat pamannya dibunuh ketika shalat oleh Densus. Ia menjadi gagu dan tak berdaya.
Tidak ada organisasi HAM yang peduli tentang hal ini. Keluarga masih bingung bagaimana tuduhan teroris datang kepada anggota keluarga mereka, tidak ada bukti, tidak ada saksi, korban telah mati, pun kasus tersebut telah ditutup.
Organisasi hukum non-pemerintah hanya bisa mengatakan arogansi Densus 88 yang selalu menembak mati tersangka, memiliki pembenaran yang mungkin akan disampaikan oleh institusi yang berwenang dari Amerika Serikat dan Australia, ini adalah gaya koboi di bawah operasi yang dinamakan “perang melawan teror” dan membela negara. [kiblat.net/ +ResistNews Blog ]
Penembak misterius, atau yang lebih dikenal dengan Petrus, mulai mashur sebagai kelompok anonim yang paling berbahaya, sejak tahun 1980. Era di mana rezim diktator Soeharto mendapatkan dukungan untuk menggantikan Soekarno melalui misi rahasia CIA.
Hanya beberapa orang yang sadar, ada perselisihan besar antara Soekarno dan Soeharto, yang didukung CIA, sejak 1958 sampai 1967. Tanggal 22 Februari 1967 telah ditandai sebagai “hari kemenangan” dimulainya kepemimpinan tangan besi Soeharto, yang didukung CIA dan saat itu ia resmi menjadi presiden kedua Indonesia.
Soeharto seorang diktator militer dan Kaisar para koruptor setelah Tragedi G-30S/PKI—sejak September 1965, malam di mana 7 Jenderal militer Indonesia pro-Soekarno tewas. Dengan tiba-tiba, ratusan juta rakyat Indonesia diajak oleh Soeharto untuk membersihkan dan menyapu ideologi komunisme yang dianggap lahir dari pemikiran Soekarno karena hubungan eratnya dengan Uni Soviet.
Propaganda Soeharto ini menyebabkan tak terhitung lagi jumlah orang yang tewas secara tragis. Diperkirakan 20 juta orang yang dituduh terlibat dalam gerakan PKI (Partai Komunis Indonesia) bernasib tidak jelas, sebagian besar hidup mereka berakhir di rumah-rumah pembantaian.
Tapi kasus itu bukan hanya tentang pembersihan komunis, bahkan banyak warga sipil yang tidak terlibat dalam gerakan komunisme juga dibantai tanpa ampun. Kebanyakan dari mereka adalah aktivis Islam yang menuntut secara damai adanya pemerintah Islam yang Independen.
Di era rezim Soeharto, hampir mustahil untuk gerakan apapun untuk mengangkat senjata melawan pemerintah. Aceh dan Timor Timur telah menjadi saksi pertama bagaimana pembantaian besar-besaran terjadi pada mereka yang melawan pemerintah. Petrus dan Laksus yang resmi di bawah komando militer telah menjadi aktor utama dari genosida tersembunyi di Aceh dan Timor Timur.
Mereka bekerja dari pintu ke pintu di malam hari, untuk memilih orang-orang yang berpikir anti-Soeharto yang didukung CIA. Tepi sungai, rel kereta api, jembatan tinggi, hutan gelap menjadi saksi tuli, sebagai tempat eksekusi kejahatan besar ini .
Tapi sejak tahun 2004 sampai saat ini, gerombolan/kawanan pembantai telah berubah nama dan dikemas dengan lebih rapi, dan bahkan terlihat seperti didukung oleh komunitas internasional. Sebuah unit pasukan berpakaian hitam, gugus tugas khusus yang beroperasi di bawah nama “perang melawan terorisme” telah menciptakan wabah baru penyakit dan ketakutan kepada masyarakat sipil.
Mereka bernama “Densus 88″, yang memiliki tugas dan misi sama dan hampir tidak berbeda dengan “Petrus” di era rezim Soeharto. Dan di masa kini, penculikan, pembunuhan, penyiksaan secara rapi dilakukan atas nama “perang melawan terorisme” oleh Densus 88 di era Presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono(SBY).
Terduga melakukan atau bukan, dengan ataupun tanpa bukti, kematian dan penahanan mereka akan dianggap sah, demi terus mengalirnya kucuran uang ke unit pasukan berseragam hitam ini, dari uang para pembayar pajak di negara-negara donatur mereka, negara-negara Barat.
Sebagian besar dari organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sangat keras ketika berbicara menentang pelanggaran Hak Asasi yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap gerakan separatis di Papua dan di Aceh di masa lalu, tetapi mereka menjadi sedikit diam atau mungkin hampir tuli terhadap kasus-kasus kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berulang kali dilakukan oleh Densus 88 (detasemen khusus 88).
Operasi kontra terorisme mereka terhadap penduduk sipil baik yang dicurigai sebagai teroris ataupun bukan, sepertinya 99% akan dilakukan tembak di tempat. Sayangnya, sebagian besar tindakan ini tak dapat dihentikan, dan kemudian hening, seperti tidak terjadi sesuatu. Kematian untuk sang terduga pun juga tidak dapat dihindari.
“Sekarang, apa saja yang mungkin terdengar, tercium, dan terlihat seperti “teroris” walaupun tidak ada hubungannya dengan terorisme, hanya soal waktu bagi mereka untuk dihabisi (dibunuh) secara langsung tanpa perlu adanya sebuah alasan. Dan, hal ini dibenarkan dan didukung oleh media nasional. Mereka ini terutama yang memakai jubah dan berjenggot atau siapapun berbicara tentang perjuangan Islam di Ambon dan Poso, tempat di mana ribuan nyawa umat Islam melayang karena konflik”, kata seorang mahasiswa muda yang menolak untuk menyebutkan namanya .
Sementara orang lain yang tinggal di Jakarta yang berbicara kepada saya melalui skype juga mengatakan “Mereka (densus 88 –red) memang sebuah gang yang dibuat dan dibiayai oleh rakyat Amerika untuk menekan bahkan membunuh kami sebagai aktivis Islam, bukan sebagai teroris, karena kami adalah warga sipil, dan kami tidak melihat teroris di sini.
Proses ini berlangsung secara sistematis dan didukung sepenuhnya oleh media televisi nasional, dan apa yang mereka lakukan sekarang , adalah salah satu cara untuk menciptakan lebih banyak lagi tindakan atas nama balas dendam, bukan terorisme, dan itu mungkin dilakukan oleh anggota keluarga korban.”
Insiden di Medan, Sumatera Utara, pada tahun 2011, saat Densus 88 menangkap Khairul Ghozali dan empat orang lain ketika sholat masih tidak dapat dilupakan. Dua orang ditembak langsung ketika mereka sedang shalat di masjid. Seorang keponakan korban bernama Rabbaniyah, 20 tahun, sangat terkejut melihat pamannya dibunuh ketika shalat oleh Densus. Ia menjadi gagu dan tak berdaya.
Tidak ada organisasi HAM yang peduli tentang hal ini. Keluarga masih bingung bagaimana tuduhan teroris datang kepada anggota keluarga mereka, tidak ada bukti, tidak ada saksi, korban telah mati, pun kasus tersebut telah ditutup.
Organisasi hukum non-pemerintah hanya bisa mengatakan arogansi Densus 88 yang selalu menembak mati tersangka, memiliki pembenaran yang mungkin akan disampaikan oleh institusi yang berwenang dari Amerika Serikat dan Australia, ini adalah gaya koboi di bawah operasi yang dinamakan “perang melawan teror” dan membela negara. [kiblat.net/ +ResistNews Blog ]