Menurut dia, alat HHO yang harganya Rp 800 ribu dan belum diproduksi secara massal (masih internal ITS), itu prinsipnya merupakan alat yang memisahkan H2O menjadi H2 dan O secara elektrolisa. "H2 yang sudah dipisahkan dari O itulah yang akan menghasilkan energi (gas) yang luar biasa bila ada proses pembakaran di dekatnya," paparnya.
Saat ini, ujar guru besar FTI ITS itu, "water to gas" yang diriset itu sudah memasuki generasi ke-16, namun riset akan terus dikembangkan, baik konsep maupun alatnya.
"Alat HHO yang ada saat ini berupa tabung air murni berukuran 15x20 centimeter. Satu cc air murni akan habis untuk jarak 70 kilometer, sehingga kalau satu liter air murni ya bisa untuk jarak ribuan kilometer," tuturnya.
"Jadi, kalau pemerintah memang mau mengembangkan alat itu untuk aplikasi di masyarakat melalui tahapan produksi, saya kira perlu riset lanjutan, bahkan kalau sudah dipakai masyarakat pun masih perlu riset terus menerus dan ITS siap untuk itu," ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prof Dr Widjajono Partowidagdo dalam "Forum Group Discussion" dengan Rektor ITS Prof Ir Triyogi Yuwono DEA, alumni dan BEM ITS di Rektorat ITS Surabaya (5/4) juga mengaku pernah memakai alat itu.
"Saya pernah memakai alat 'water to gas' itu dari alumni ITS saat ada acara di Unas (Universitas Nasional, Jakarta), ternyata hemat 30 persen lebih dan kecepatan kendaraan juga bagus. Karena itu, kalau harga BBM naik 30 persen ya tentu tidak akan terasa, karena impas," tukasnya.[sksd/republika]