ilustrasi |
Yussuf Solichien, Ketua Umum DPP HNSI, pada 2005 pemerintah pernah menaikkan harga BBM menjadi Rp 4.300 dari Rp 2.100. Hal itu sempat membuat nelayan terpuruk. Nelayan terpaksa mengonversi solar ke minyak tanah karena harganya lebih murah. Apabila harga BBM kembali dinaikkan maka yang terjadi adalah nelayan tidak akan bisa melaut lagi karena tidak sanggup membeli BBM.
Dalam pertemuan tersebut, HNSI juga menyampaikan tujuh poin alasan penolakan kenaikan BBM antara lain, pertama, nelayan menggunakan BBM bersubsidi tidak untuk kegiatan konsumtif, tapi untuk kegiatan usaha produktif. Kedua, biaya operasional yang mencapai 50 persen-70 persen digunakan hanya untuk membeli BBM.
Ketiga, tingginya harga BBM akan mengurangi dan membatasi kemampuan nelayan untuk menuju fishing ground di Zona Ekonomi Eksklusif.
Kelima, nelayan tidak pernah mendapat subsidi khusus dari pemerintah. Keenam, nelayan meminta kepada pemerintah dan agar tidak terjebak dan terbawa arus paham liberalisme, neo liberalisme dan neo kolonisme.
Ketujuh, nelayan meminta pencabutan subsidi menjadi opsi terakhir penghematan BBM setelah pemerintah mengaji dan menghitung ulang pos-pos anggaran Kementrian/Lembaga non Kementerian. (tribunnews.com)