-->

Masa Depan Hizbut Tahrir di Indonesia



Sebuah Analisis Futuristik Rasional


Mengapa dibubarkan?

Hari Rabu, 25 Syawwal 1438 H yang bertepatan dengan 19 Juli 2017 barangkali akan menjadi hari yang paling bersejarah bagi aktivis Hizbut Tahrir Indonesia. Hari itu adalah hari diumumkannya pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dengan dicabutnya status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (lihat dalam tautan berikut; nasional.kompas.com/read/2017/07/19/10180761/hti-resmi-dibubarkan-pemerintah.

Bisa saja opini yang dimunculkan di tengah-tengah masyarakat terkait pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia adalah karena kelompok ini dianggap bertentangan dengan Pancasila. Namun, kita yakin tidak semua rakyat gampang diarahkan dan digiring opininya seperti itu.

Jika diamati perkembangan politik akhir-akhir ini, klaim Hizbut Tahrir Indonesia dianggap bertentangan dengan Pancasila itu lebih terlihat sebagai stempel dan pembenaran saja. Alasan sebenarnya sementara masih lebih logis dipahami sebagai “dendam politik”, karena Hizbut Tahrir Indonesia dianggap berperan membuat kalah salah satu calon kepala daerah dalam Pemilu Kada dengan isu agama. Jika dibiarkan, barangkali itu dipandang akan sangat berbahaya bagi bagi masa depan calon tertentu dalam pemilihan presiden yang sebentar lagi akan dihelat. Jika setelah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia ini ada upaya pembubaran ormas-ormas lain yang memiliki pengaruh dalam membalik opini massa terkait pilihan terhadap politikus-politikus tertentu, maka analisis ini semakin menemukan bukti penguatnya.

Jadi, dari sudut pandang politik, organisasi Hizbut Tahrir Indonesia ini lebih dekat dipahami sebagai KORBAN PERMAINAN POLITIKsekelompok orang yang sangat bersyahwat besar mempertahankan kekuasaan dengan berbagai macam cara, termasuk di antaranya menjadikan hukum sebagai alat politik.

Perlukah mendaftar sebagai Ormas?

Syabab Hizbut Tahrir Indonesia umumnya heboh dengan pembubaran tersebut. Namun, tidak semua sanggup melihat hal yang lebih mendasar dari itu. Seharusnya, yang perlu didudukkan terlebih dahulu, menurut saya, adalah jawaban dari pertanyaan, “Sebenarnya perlukah Hizbut Tahrir Indonesia mendaftarkan diri sebagai ormas di Indonesia?” “Apa landasan hukum syara’ Hizbut Tahrir Indonesia mendaftarkan diri sebagai ormas di Indonesia?” Sangat ironis tentu jika kelompok yang menyerukan terikat dengan hukum syara tetapi tidak pernah memberikan penjelasan tuntas persoalan hukum seperti ini, dan menganggapnya hanya persoalan teknis semata.

Menurut saya, Hizbut Tahrir Indonesia mendaftarkan diri sebagai ormas di Indonesia itu TIDAK PERLU dan TIDAK BOLEH.

Mengapa?

Paling tidak ada dua alasan yang melatarbelakanginya.

Pertama, Hizbut Tahrir Indonesia mendaftarkan diri sebagai ormas di Indonesia adalah bentuk KEBOHONGAN. Ada dua hal aspek kebohongannya, yaitu kebohongan dalam hal mengaku ormas dan kebohongan dalam asas ormas. Hizbut Tahrir Indonesia bisa dikatakan berbohong kepada pemerintah jika mengaku ormas, karena Hizbut Tahrir Indonesia dalam buku-buku resminya mengumumkan diri sebagai partai politik, bukan ormas (organisasi kemasyarakatan). Ada perbedaan jauh antara parpol dan ormas baik dalam definisi istilah maupun dalam aktivitas. Terkait asas, buku-buku resmi Hizbut Tahrir menyebut asasnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi dalam pendaftaran sebagai ormas, Hizbut Tahrir menyatakan dirinya berideologi pancasila (lihat tautan ini; nasional.kompas.com/read/2017/07/19/11250331/kemenkumham–faktanya-hti-mengingkari-ad-art-organisasinya. Ini jelas kebohongan, dan bohong haram dalam Islam. Syabab/syabah yang kritis sejak dulu pasti akan mempersoalkan ini. Tetapi jika taklid membuta pada pemimpinnya, ya akan ikut-ikutan saja.

Kedua; Hizbut Tahrir Indonesia mendaftarkan diri sebagai ormas di Indonesia adalah bentuk TIDAK TAHU DIRI. Mengapa demikian? Sebab karena cita-cita Hizbut Tahrir adalah ingin menghancurkan demokrasi dan menguasai pemerintahan Indonesia. Menjadi aneh jika Hizbut Tahrir Indonesia minta izin kepada Indonesia untuk menghancurkan sistemnya seraya menikmati sistem yang hendak dihancurkannya.

Perumpamaan Hizbut Tahrir Indonesia ketika ingin menghancurkan demokrasi, mendongkel penguasa dan menggantikan posisi penguasa di Indonesia sambil meminta panggung kepada sistem demokrasi itu dengan mendaftarkan diri sebagai ormas dan minta legalitas itu adalah seperti gambaran berikut,

“Bayangkan ada lelaki yang bertamu ke sebuah rumah tangga. Rumah tangga itu punya rumah yang bagus, punya istri yang cantik, tetapi sang tamu menganggap sang suami yang menjadi kepala keluarga tidak becus mengurus rumah tangga. Ia berpikir dan mentargetkan untuk menguasai rumah tangga itu, menikahi istrinya dan menguasai seluruh hartanya. Tiap hari dia menjelek-jelekkan sang suami di hadapan wanita itu. Targetnya adalah agar mereka bercerai, lalu si wanita itu dengan sukarela meminta sang tamu menggantikan mantan suaminya sebagai suami dan kepala rumah tangga. Dengan target seperti ini, dia minta izin secara resmi kepada kepala rumah tangga untuk beraktivitas yang menghancurkan sistem rumah tangga itu, mendongkel posisi suami dan menggantikannya di masa mendatang!”

Logika apa yang bisa menerima perilaku paradoks ini?

Menyerang demokrasi tetapi minta panggung ke sistem demokrasi agar bisa menghancurkan demokrasi.

Ini benar-benar akan susah dipahami orang awam.

Di alam demokrasi Indonesia saat ini, masih lebih baik jika Hizbut Tahrir mengambil contoh syabab-syabab senior di Timur Tengah yang mengatakan bahwa Hizbut Tahrir tidak perlu legalitas pemerintah manapun, karena legalitas Hizbut Tahrir (menurut mereka ) langsung datang dari Allah dalam surah Ali Imron;104

Jadi, kejadian pembubaran ini sebaiknya dijadikan momen awal untuk lebih jujur kepada syabab dan umat, serta lebih konsisten dengan pemikiran yang ditabanni. Tidak tergoda oleh kepentingan pragmatis sesaat.

Apakah Dakwah Hizbut Tahrir akan terhenti?

Tidak.

Selama negara menganut demokrasi, tidak ada alasan apapun untuk menghalangi dakwah Hizbut Tahrir, karena prinsip utama demokrasi adalah kebebasan berbicara. Bebas bicara ide apapun termasuk dakwah.

Jadi beda antara Hizbut Tahrir sebelum dan sesudah pembubaran hanyalah ruang geraknya saja. Saat masih legal, ruangnya lebih luas, panggungnya lebih lebar dan lebih bebas menyuarakan ide. Sekarang, setelah dinyatakan ormas terlarang maka Hizbut Tahrir tidak bisa lagi membuat acara-acara resmi secara terbuka. Tetapi secara diam-diam alias bawah tanah, tidak ada satupun pasal hukum yang bisa menjeratnya.

Di alam demokrasi, penyampaian ide sekeras apapun, selama tidak disertai tindakan kriminal, maka tidak ada delik untuk dihukum. Di titik ini Hizbut Tahrir bisa dikatakan aman, karena metode dakwah Hizbut Tahrir yang baku adalah anti kekerasan, artinya menolak menggunakan kekuatan fisik untuk memperjuangkan ide. Ini membuat Hizbut Tahrir tidak bisa dikriminalisasi hanya karena aktivitas penyampaian idenya. Nampaknya pendiri Hizbut Tahrir tahu betul karakter negara-negara demokrasi ini, sehingga beliau menggariskan metode dakwah seperti itu sejak awal didirikannya Hizbut Tahrir yang lebih menjamin keamanan dakwah Hizbut Tahrir di negara-negara demokratis (ironisnya, demokrasi ini yang hendak dihancurkan Hizbut Tahrir). Hizbut Tahrir hanya akan dibungkam di negara-negara represif dan diktator.

Celah yang mungkin dilakukan untuk mengkriminalisasi Hizbut Tahrir di bawah pemerintahan demokrasi adalah rekayasa intelejen. Caranya, dibuat suatu kondisi yang memancing amarah Hizbut Tahrir lalu akhirnya terjadi bentrokan fisik dan terjadi kekerasan. Selain itu, Hizbut Tahrir hanya mungkin dilarang beraktivitas secara total dan dikriminalisasi hanya oleh pemerintahan represif dan diktator.

Bisakah Anggota Hizbut Tahrir dikriminalisasi?

Jika melihat pasal-pasal Perppu itu, tokoh-tokoh dan pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia bisa saja dikriminalisasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga anggota-anggota Hizbut Tahrir. Tetapi hampir mustahil semua anggota akan dipenjarakan. Mana kuat penjara menampung ratusan ribu orang? Itu malah membebani anggaran negara. Yang lebih logis, jika ada kriminalisasi, maka itu hanya akan disesuikan dengan target-target politik kelompok tertentu. Ada unsur tarik ulur. Jadi hanya dipakai jika dibutuhkan. Di titik ini berarti aktivis Hizbut Tahrir Indonesia harus waspada.

Mungkinkah Hizbut Tahrir mendapatkan Legalitasnya kembali?

Mungkin saja mendapatkan legalitas kembali. Paling tidak itu tergantung dua faktor;

a.Sistem demokrasi apa yang akan dikembangkan di Indonesia oleh para pemikir berpengaruh yang nantinya akan menjadi konsensus bangsa.

b.Penguasa yang bagaimana yang akan menguasai Indonesia setelah rezim ini.

Jika Hizbut Tahrir Indonesia masih mengagendakan untuk menjadikan sistem demokrasi di Indonesia sebagai jembatan menuju khilafah, maka target jangka pendek Hizbut Tahrir Indonesia adalah mengusahakan dua faktor tadi agar kondusif untuk pengajuan legalitas kembali.

Caranya, Hizbut Tahrir Indonesia mendorong terbentuknya konsensus bangsa terkait demokrasi ala Indonesia yang tidak menghalangi kebebasan berpendapat, meskipun pendapat tersebut dari unsur agama, meskipun pendapat yang dikembangkan adalah ide yang menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Indonesia ini adalah negara yang mengadopsi sistem demokrasi, namun demokrasi yang masih mencari bentuk. Adopsi ke arah demokrasi liberal tidak mau, adopsi ke demokrasi ala sosialis juga tidak mau. Seperti sedang merumuskan demokrasi khas ala Indonesia yang mungkin nanti akan dipopulerkan dengan nama demokrasi pancasila.

Jika rumusan demokrasi ala indonesia itu sudah ditemukan dan menjadi konsensus mayoritas rakyat bangsa ini, lalu diadopsi demokrasi yang memberi ruang pada ide – seradikal apapun – untuk berbicara, rumusan demokrasi yang membolehkan legalitas sebagai partai, meski tidak ikut parlemen, maka pada saat itulah Hizbut Tahrir bisa jadi mendapatkan kembali legalitasnya. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena demokrasi yang ideal tidak pernah takut dengan ide apapun yang berkembang di masyarakatnya meskipun ide tersebut berusaha menghancurkan demokrasi itu sendiri. Sebab, demokrasi ideal yakin bahwa ide yang menentang demokrasi adalah ide minoritas yang tidak akan laku di tengah-tengah masyarakat modern saat ini.

Lalu terkait penguasa, Hizbut Tahrir Indonesia dapat mendukung calon penguasa yang tidak represif, yang benar-benar seorang demokrat, yang menjamin kebebasan berbicara Hizbut Tahrir, bukan penguasa otoriter, boneka, atau haus kekuasaan yang menjadikan semua bangunan sistem politik hanya untuk menghamba pada kepentingan mempertahankan kekuasaannya.

Kalau Hizbut Tahrir Indonesia menolak ide ini, yakni tidak mau target jangka pendek, ya silakan saja. Teruskan saja ajakan menghancurkan demokrasi. Kalau berhasil, yang muncul nanti bisa jadi adalah penguasa diktator nan otoriter ala PKI dan itu justru akan memberangus habis Hizbut Tahrir Indonesia sampai ke akar-akarnya. Jika ini yang terjadi, Hizbut Tahrir Indonesia sama sekali tidak punya harapan memperoleh legalitas kembali.

Adapun jika Hizbut Tahrir Indonesia berpikir maunya langsung revolusioner, maksudnya langsung ingin menghancurkan demokrasi seraya menggantinya dengan khilafah, maka secara rasional saat ini keinginan tersebut masih terlihat utopis. Pertama, panggung Hizbut Tahrir Indonesia saat ini semakin sempit dengan pembubaran organisasinya sehingga semakin susah merebut opini massa secara massif. Kedua, Hizbut Tahrir Indonesia masih gagal menunjukkan keunggulan sistem khilafah hasil ijtihad An-Nabhani dibandingkan sistem demokrasi dalam banyak hal seperti jaminan kebebasan berpendapat, pergantian kekuasaan yang bermartabat, sistem yang mencegah diktatorisme dan lain-lain. Wajar jika ide sistem khilafahHizbut Tahrir Indonesia tidak banyak menarik pemikir-pemikir politik di Indonesia. Sistem Khilafah hasil ijtihad An-Nabhani sebagai sistem politik sampai hari ini tarafnya baru memberi daya tarik kepada orang-orang Islam awam yang tidak terlalu serius dan memiliki pengetahuan cukup untuk memahami fakta sistem politik dan sejarah politik Islam.

Penutup Dan Saran

Akhir kata, nasihat kami kepada para aktivis Hizbut Tahrir, “Tidak usah terlalu heboh dengan soal legalitas. Lebih baik sumber dayanya dikerahkan untuk hal yang lebih produktif demi dakwah. Hal positif dicabutnya status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia adalah terhenti dan matinya acara-acara gebyar Hizbut Tahrir Indonesia yang lebih cenderung terkesan sebagai festivalisasi dakwah yang memboroskan uang dan tenaga.

Hizbut Tahrir Indonesia lebih baik mulai banyak melakukan koreksi internal. Membenahi sistem pembinaan, mengingkatkan kualitas ilmu anggota, memperbaiki akhlak syabab, merumuskan program partai yang lebih efektif, efisien dan terarah, membersihkan diri dari pemikiran-pemikiran yang menyimpang, membubarkan MHTI, mengubah metode dakwah yang memecah umat, meminta maaf pada gerakan-gerakan di luar Hizbut Tahrir yang selama ini dijelek-jelekkan namun membalas dengan kemuliaan akhlak luar biasa dengan menolong Hizbut Tahrir Indonesia. Terakhir, Hizbut Tahrir Indonesia secara rendah hati bersedia membangun sinergitas dengan gerakan di luar Hizbut Tahrir tanpa harus memimpin. Dengan cara itu, kehadiran Hizbut Tahrir benar-benar bermanfaat dan memberi kontribusi kuat untuk Islam dan kaum muslimin.

Wallahua’lam.

Abu Ibrahim