+ResistNews Blog - Prancis menggunakan semua cara untuk memerangi radikalisme dan ekstremisme Islam. Salah satunya, dan yang paling baru, memisahkan anak-anak Muslim dengan orang tua mereka.
Praktek ini baru dilakukan di Bourgoin Jallieu, dekat Lyon, pekan lalu. Korbannya adalah keluarga Maher Msakni.
Msakni sedang berada di Tunisia ketika mendengar berita anaknya dipisahkan dari ibunya oleh pemerintah Prancis. Ia segera pulang dan mencari tahu kebenaran kabar ini.
“Saya tidak pernah berniat ke Suriah dan berjihad,” ujar Msakni. “Saya ke Tunisia untuk mempersiapkan kepindahan saya ke negara asal saya, karena tidak nyaman lagi mempraktekan Islam di Prancis.”
Msakni tidak bisa lagi menemui anak-anaknya yang berusia empat, lima, enam tahun, 18 dan tiga bulan. Semuanya diambil pihak berwenang.
Roshan Muhammad Salih mengunjungi anak-anak itu, Senin (2/2), di kantor polisi Bourgoin Jallieu, tapi polisi menolak berkomentar soal keputusan mengambil anak-anak Msakni.
Dua anak dijemput paksa di sekolah. Satu lagi, masih berusia tiga bulan, direngkuh dari gendongan sang ibu. Aicha panik dan menangis. Ia memohon kepada polisi agar dibiarkan menyusui anaknya.
CRI menatakan; “Ini kekejaman tak terbayangkan, kekerasan tak terperi terhadap anak-anak dan orang tua merka. Anak-anak itu dibawa ke tempat tak diketahui, dengan tujuan menghancurkan psiko-emosional.”
Sejak serangan ke kantor majalah satir Charlie Hebdo, 7 Januari 2014, Prancis menjadi negara tanpa hak asasi manusia. Di satu sisi mereka mengemis-ngemis kepada Yahudi agar jangan pergi. Di sisi lain mereka menjadi rasis.
CRI menyerukan pembentukan komisi parlemen untuk menyelidiki dan mengukur bentuk baru rasisme, dan perlunya undang-undang untuk melindungi pemeluk Islam yang menjadi kambing hitam. (inilah.com/ +ResistNews Blog )