-->

Berhukum dengan Selain Hukum Allah Dianggap Kufur Akbar?



Telah menjadi ketetapan bahwa salah satu konsekuensi Tauhid Rububiyah adalah meyakini ke-Esaan Allah dalam mengatur seluruh makhluk-Nya. Agar kehidupan makhluk-Nya berjalan dengan teratur, Allah ta’ala telah menetapkan undang-undang berupa aturan hidup yang harus dijalankan oleh hamba-Nya. Bersifat universal dan berlaku dalam setiap waktu dan kondisi, seluruh petunjuk tersebut telah sempurna termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.[1]

Oleh karena itu, kita wajib meyakini bahwa perkara yang halal hanyalah apa yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan perkara yang haram hanyalah apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tak hanya mengurus ibadah yang bersifat mahdhah, hukum Allah juga melingkupi seluruh aturan hidup manusia. Ketundukan hati terhadap hukum tersebut menjadi pembuktian keimanan seseorang. Allah ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)

Kemudian dalam ayat lain, Allah ta’ala juga dengan tegas menyebutkan bahwa orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah adalah kafir. Firman-Nya:

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah :44)

Membaca tafsir ayat di atas, tentu tidak akan luput dari pernyataan Ibnu Abbas ketika membantah orang Khawarij yang mengkafirkan khalifah waktu itu. “Itu bukanlah kekafiran yang mereka pahami, dan itu bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari agama. ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al Maidah :44) adalah kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran).” demikian sanggah Ibnu Abbas terhadap tuduhan orang Khawarij.[2]

Vonis kafir terhadap pelaku dosa besar adalah aqidah kelompok Khawarij. Dalam konteks ini, orang Khawarij beranggapan bahwa setiap pemimpin muslim yang menyelewengkan Syari’at Islam—undang-undang yang telah menjadi ketetapan negara—akan divonis kafir, meskipun hal itu hanya pada sebagian hukum saja. Tanpa membeda-bedakan penyebabnya, bagi mereka sama saja antara pemimpin yang mengambil kebijakan karena didasari keyakinan ataupun atas dasar hawa nafsunya, tetap saja menyeleweng dari hukum Allah.

Keyakinan seperti ini jelas bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah. Namun sayangnya, ada sebagian kelompok yang menjadikan atsar Ibnu Abbas ini sebagai alasan dan bahan justifikasi untuk melegalkan hukum buatan manusia (hukum thagut). Pedoman dasar hukum yang diterapkan pada suatu negara tidak menjadi perhatian, yang penting jika pemimpin tersebut muslim dan masih melakukan shalat, maka wajib didengar dan ditaati karena statusnya sebagai ulil amri.

Misalnya dalam menilai penguasa sekuler hari ini, kelompok tersebut sering membela penguasa dengan dalih masih memberi kebebasan dalam beragama. Mungkin sampai di titik ini tidak ada problem. Akan tetapi tidak hanya berhenti pada alasan tersebut, mereka juga menyatakan bahwa pemimpin tersebut adalah ulil amri yang wajib ditaati. Kemudian sebuah negara –seperti Indonesia— dianggap negara Islam lantaran mayoritas penduduknya Muslim.

Adapun masalah dasar undang-undang sekuler yang dipakai, hal itu tidak menjadi masalah. Menurut mereka, kalaupun bertentangan dengan undang-undang Allah, hal itu hanya faktor kecenderungan hawa nafsu belaka, sehingga statusnya tetap dianggap hanya melakukan dosa besar saja.

Banyaknya atsar para ulama yang membantah keyakinan orang Khawarij —terutama dalam menvonis kafir penguasa (khalifah) pada waktu itu— menjadi penguat argumentasi dan alasan untuk menghakimi para aktivis yang tidak setuju dengan penguasa sekarang. Namun, Benarkah demikian status hukumnya? Bukankah dasar sistem yang dipakai pemerintahan saat itu berbeda dengan sistem yang ada sekarang ini.

Pada masa kekhalifahan dahulu, dasar undang-undang yang dipakai adalah undang-undang Allah, yakni pemegang kekuasaan tertinggi adalah ketetapan Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi pada saat tertentu, ada keputusan khalifah yang tidak mengikuti petunjuk Allah namun lebih karena kecenderungan hawa nafsunya. Nah, tindakan yang seperti inilah yang disebut oleh para ulama kufur kecil atau kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran)

Berbeda dengan sistem yang berlaku saat ini, dasar undang-undang yang dipakai adalah Demokrasi, pemegang kekuasaan tertinggi di dalam pemerintahan adalah rakyat. Ketetapan Allah ta’ala bisa saja dibatalkan jika suara mayoritas rakyat tidak menyetujui. Meskipun demikian, mereka tidak peduli dengan hal itu. Bagi mereka, semua hal itu adalah karena hawa nafsu. Tidak jadi soal, kecuali jika mereka sudah menghalalkan (istihlal) sistem tersebut. Hal tersebut adalah urusan hati, tidak ada yang tahu kecuali pelakunya.

Perbedaan pandangan ini pun berujung pada perdebatan yang terus meruncing, hingga pada akhirnya, demi menjaga sikap kehati-hatian dalam ber-aqidah, timbul sebuah pertanyaan. Pertanyaannya adalah kapan berhukum dengan selain hukum Allah dapat membatalkan keimanan (kufur akbar)? Menjawab perntanyaan ini, para ulama ahlus sunnah telah menetapkan beberapa hal yang menyebabkan seseorang yang berhukum dengan selain hukum Allah dapat membatalkan keimanannya. Diantaranya adalah:

1. Siapa saja yang membuat hukum, selain dari hukum yang telah diturunkan Allah

Meyakini ke-Esaan Allah dalam penetapan hukum (tasyri’) merupakan kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi keimanan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah. Artinya, jika kita meyakini bahwa Allah ta’ala adalah yang Maha Esa dalam hal menciptakan, memberi rizqi, menghidupkan dan mematikan, maka kita juga harus yakin bahwa Allah juga Maha Esa dalam hal tasyri’ (membuat undang-undang), tahlil (menghalalkan) dan tahrim (mengharamkan). Dengan demikian, perkara agama tak lain hanyalah apa yang disyariatkan oleh Allah ta’ala semata.

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Al An’am :57)

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raaf: 54)

Kemudian dalam ayat lain, Allah ta’ala menyebutkan bahwa siapa saja yang merampas hak tasyri’—yaitu hak dalam menghalalkan atau mengharamkan—maka dia telah berbuat kesyirikan. Allah ta’ala berfirman,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy Syura : 21)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, ”Maksudnya mereka tidak mengikuti apa yang disyariatkan Allah kepadamu yang berupa dien yang lurus, namun mengikuti apa yang disyariatkan oleh setan-setan mereka dari kalangan jin dan manusia.”[3]

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Mereka para pembuat undang-undang (badan legislatif) tanpa izin Allah membuat hukum-hukum thaghut itu tak lain dikarenakan mereka meyakini bahwa hukum-hukum thaghut (undang-undang positif) lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi manusia. Ini adalah kemurtadan dari Islam bahkan mengakui sesuatu dari hukum-hukum tersebut sekalipun dalam masalah paling kecil sekalipun, maknanya telah tidak ridha dengan hukum Allah (Al-Qur’an) dan hukum Rasul-Nya (As-Sunah), ini merupakan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari millah (agama).”[4]

Selain itu, pembuatan undang-undang juga bermakna membolehkan seseorang keluar dari syariat yang diturunkan Allah, padahal siapa pun yang membolehkan seseorang keluar dari syariat Allah maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.[5]

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah :49)

2. Mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah atau mengingkari kebaikan dan kesempurnaannya

Allah ta’ala telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk memutuskan hukum sesuai dengan tuntunan-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an. Kewajiban tersebut merupakan ushuulul iimaan (pokok keimanan), ia menjadi bukti keimanan seseorang terhadap ke-Esaan Allah ta’ala. Terdapat banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan tentang kewajiban tersebut. Diantara dalil-dalil tersebut, Allah ta’ala berfirman,

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ 65)

Dengan demikian seseorang yang mengingkari kewajiban tersebut maka keimanan yang ada dalam hatinya bisa batal. Allah ta’ala berfirman,”Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas berkata, “Siapa saja yang mengingkari sesuatu yang telah diturunkan Allah berarti telah kafir.”[6] Tafsiran ini juga dipilih oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya.”[7]

Syaikh As-Syanqithi berkata, “Siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah untuk menandingi para rasul dan membatalkan hukum-hukum Allah maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya mengeluarkannya dari millah (Islam).”[8]

3. Lebih mengutamakan hukum thaghut di atas hukum Allah, walaupun hanya dalam sebagian aspek kehidupan

Setelah berhasil menguasai pemerintahan Islam, Bangsa Tartar menyusun sebuah dasar hukum yang disebut dengan Ilyasiq. Agar menjadi panduan bersama dalam bernegara, hukum tersebut disusun dari berbagai macam ajaran agama yang ada dalam kekuasaan mereka, mulai dari Islam, Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. Mereka mewajibkan kaum muslimin untuk menerimanya serta memaksa mereka agar meninggalkan hukum Allah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?.” (QS. Al Maidah: 50).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menyebutkan permisalan hukum jahiliyah dengan hukum Ilyasiq. Beliau berkata, ”Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (sudah pasti ketentuan hukumnya) yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariat Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah Bangsa Tartar memberlakukan hukum yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan.”

Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut dengan Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundag-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Kristen, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi UUD yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan UUD ini di atas berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit.”[9]

Imam Ibnu Abil Izz mengatakan, “Jika meyakini bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu tidak wajib dan ia boleh memilih (antara memakai hukum Allah atau tidak) atau meremehkan hal itu sekalipun ia meyakini bahwa itu hukum Allah, maka ia telah kufur akbar.”[10]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan sikap ini sebagai salah satu pembatal keislaman. Beliau menyatakan, “Siapa saja yang meyakini selain petunjuk Rasulullah lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum selainnya lebih baik dari hukum beliau, seperti orang yang mengutamakan hukum para thaghut atas hukum beliau, maka orang ini kafir…”[11]

Pernyataan ini juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam fatwanya, beliau berkata, “Siapa yang meyakini ada hukum selain hukum Rasulullah lebih baik, lebih sempurna, lebih mencakup apa yang dibutuhkan oleh manusia baik secara mutlak atau dalam sebagian masalah yang baru terjadi (aktual) yang timbul dari perkembangan zaman tak diragukan lagi ia telah kafir karena mendahulukan hukum makhluk yang tak lebih dari sampah pemikiran belaka…”[12]

4. Menyamakan hukum Allah dengan hukum manusia atau meyakini bahwa keduanya sejajar.

Para ulama sepakat tentang kafirnya orang yang menyamakan hukum Allah dengan hukum manusia (hukum positif), atau menganggapnya memiliki kedudukan yang sama. Allah ta’ala berfirman,

“(Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum ) Alloh bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” ( QS. Al Maidah : 50 ).

“Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 22)

Menganggap kesejajaran antara hukum Allah dengan hukum positif merupakan sikap menghujat Allah, menganggap Allah tidak sempurna dan menghujat keagungan-Nya, sekaligus sikap ekstrem dalam memperlakukan hukum buatan manusia. Ini merupakan sebuah kesyirikan, karena sikap itu sama saja menjadikan sekutu bagi Allah. Padahal Allah ta’ala telah menegaskan, “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl :74)

5. Siapa saja yang membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah

Menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal merupakan perbuatan kufur. Dalam istilah para ulama disebut dengan kufur istihlal (menghalalkan), yaitu membolehkan sesuatu yang telah disepakati keharamannya. Para ulama sepakat bahwa keimanan seseorang akan batal ketika membolehkan sesuatu yang telah jelas keharamannya.[13] Allah ta’ala berfirman,

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Yunus: 59-60)

Ibnu Taimiyah berkata, “Seseorang ketika menghalalkan sesuatu yang telah ada ijma’ atas keharamannya, atau mengharamkan sesuatu yang ada ijma’ atas kehalalannya, atau mengganti syariat yang telah disepakati, maka ia kafir murtad menurut kesepakatan ahli fiqih. Dalam hal inilah turun firman Allah ta’ala, ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.’ (QS. Al Maidah : 44) yakni; yang menghalalkan berhukum dengan selain yang Allah turunkan.” (Al Fatawa, 3/267)

Ibnu Qayyim berkata, “Jika meyakini bahwa memutuskan perkara dengan hukum Allah hukumnya tidak wajib dan ia boleh memilih (mau memakai hukum Allah atau hukum positif), sekalipun ia meyakini hukum Allah maka ini adalah kufur akbar.”[14]

Demikian beberapa poin yang menyebabkan seseorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah akan terjerumus dalam kufur akbar. Semuanya bermula dari jiwa yang tidak tunduk terhadap syariat Allah. Ini sangat bertolak belakang dengan prinsip seorang muslim, yaitu selalu tunduk dan patuh atas seluruh syariat Allah. Sementara orang kafir dan munafik akan selalu mencari celah untuk meninggalkan hukum Allah. Wa’iyadzubillah, semoga kita terhindar dari sifat-sifat tersebut. Amiin! (Fahru/dakta/ +ResistNews Blog ).