Oleh: Salim Al-Amri
Raja Abdullah dari Arab Saudi telah memerintahkan pembentukan sebuah komite untuk menyiapkan daftar warga negara Saudi yang berjuang di luar negeri atau mendukung kelompok ‘ekstrimis’, baik secara finansial maupun secara moral.
Kebijakan yang diumumkan pada Senin, (3/02) itu termasuk pada mereka yang mendukung organisasi terlarang, dari mulai kelompok Ikhwanul Muslimin hingga Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS), yang cukup menonjol dalam pertempuran di Irak dan Suriah.
Seperti dilansir dari laman EA WorldView, bagi mereka yang terbukti bersalah bisa dihukum 3 sampai 20 tahun penjara.
Perintah Raja Abdullah ini dikeluarkan setelah gencarnya publisitas oleh media pro-pemerintah selama beberapa pekan tentang warga Saudi yang berjuang di luar negeri. Perdebatan semakin meningkat setelah presenter MBC, TV pro-pemerintah, menyebutkan nama dan mencela ulama yang mendorong pemuda Saudi untuk pergi berjihad ke Suriah.
Syaikh Salman Al-Audah, salah seorang ulama yang memiliki 4,3 juta pengikut di Twitter membantah telah berpartisipasi dalam hasutan apapun dan menantang presenter MBC untuk membuktikan tuduhan tersebut.
MBC TV juga mempertanyakan kegiatan salah seorang ulama Suriah di Saudi, Syaikh Adnan al-Ar’ur. Ulama salafi yang berasal dari Hama, Suriah dan kerap muncul dalam saluran anti-Syiah. Beliau sudah menonjol dalam debat televisi antara Sunni dan Syiah sebelum dimulainya pemberontakan Suriah pada Maret 2011.
Al-Ar’ur menjawab bahwa ia tidak pernah meminta warga Saudi untuk berperang di Suriah, namun ia menyerukan orang-orang untuk menyumbangkan hartanya dan mendoakan kemenangan bagi revolusi.
Setelah siaran tanggal 19 Januari, banyak komentator melihat hal itu sebagai awal dari kampanye rezim Saudi melawan ulama yang tidak mau mengikuti posisi pemerintah terhadap isu-isu lokal dan regional. Mereka mencatat MBC Group dimiliki oleh Waleed Al Ibrahim, saudara ipar almarhum Raja Fahd.
Kekhawatiran Saudi
Kontroversi semakin menyeruak saat membahas bantuan miliaran dolar yang diberikan oleh rezim Saudi untuk militer di Mesir setelah Kudeta Juli 2013, dan simpati dari beberapa ulama untuk ISIS di Irak dan Suriah .
Dalam episode lain pekan berikutnya, presenter MBC TV mengundang tiga ulama yang menentang partisipasi pemuda Saudi dalam konflik Suriah. Kementerian Urusan Islam Saudi kemudian mengirim memoradum kepada para imam-imam masjid di Saudi yang memerintahkan mereka untuk tidak berbicara tentang jihad dalam Khutbah Jum’at. Para ulama resmi di lembaga-lembaga seperti Dewan Ulama Senior Saudi telah menerbitkan fatwa yang melarang warga Saudi berjihad di Suriah.
Perintah Raja Abdullah dan kampanye resmi rezim Saudi tampaknya memiliki tujuan ganda. Bagi rezim, mereka berusaha untuk mengekang ancaman ISIS, tidak hanya sebagai kekuatan militer tetapi sebagai pemimpin takut adanya klaim dari Negara Islam saingan.
Bagi Raja Abdullah, rasa takut hilangnya keutamaan di dunia Islam Sunni juga menjadi alasan di balik dukungan rezim Saudi pada Jenderal Abdel Fatteh al-Sisi sebagai pemimpin de facto paska kudeta di Mesir.
Lebih dekat ke tanah air, rezim sekarang melihat “keamanan nasional” dalam konteks warga Saudi yang mungkin kembali dari konflik Suriah akan menantang sistem, sebagaimana beberapa pemberontakan yang berbuah menjadi perang sipil, seperti di Afghanistan dan Irak.
[kiblat.net/ +ResistNews Blog ]
Kebijakan yang diumumkan pada Senin, (3/02) itu termasuk pada mereka yang mendukung organisasi terlarang, dari mulai kelompok Ikhwanul Muslimin hingga Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS), yang cukup menonjol dalam pertempuran di Irak dan Suriah.
Seperti dilansir dari laman EA WorldView, bagi mereka yang terbukti bersalah bisa dihukum 3 sampai 20 tahun penjara.
Perintah Raja Abdullah ini dikeluarkan setelah gencarnya publisitas oleh media pro-pemerintah selama beberapa pekan tentang warga Saudi yang berjuang di luar negeri. Perdebatan semakin meningkat setelah presenter MBC, TV pro-pemerintah, menyebutkan nama dan mencela ulama yang mendorong pemuda Saudi untuk pergi berjihad ke Suriah.
Syaikh Salman Al-Audah, salah seorang ulama yang memiliki 4,3 juta pengikut di Twitter membantah telah berpartisipasi dalam hasutan apapun dan menantang presenter MBC untuk membuktikan tuduhan tersebut.
MBC TV juga mempertanyakan kegiatan salah seorang ulama Suriah di Saudi, Syaikh Adnan al-Ar’ur. Ulama salafi yang berasal dari Hama, Suriah dan kerap muncul dalam saluran anti-Syiah. Beliau sudah menonjol dalam debat televisi antara Sunni dan Syiah sebelum dimulainya pemberontakan Suriah pada Maret 2011.
Al-Ar’ur menjawab bahwa ia tidak pernah meminta warga Saudi untuk berperang di Suriah, namun ia menyerukan orang-orang untuk menyumbangkan hartanya dan mendoakan kemenangan bagi revolusi.
Setelah siaran tanggal 19 Januari, banyak komentator melihat hal itu sebagai awal dari kampanye rezim Saudi melawan ulama yang tidak mau mengikuti posisi pemerintah terhadap isu-isu lokal dan regional. Mereka mencatat MBC Group dimiliki oleh Waleed Al Ibrahim, saudara ipar almarhum Raja Fahd.
Kekhawatiran Saudi
Kontroversi semakin menyeruak saat membahas bantuan miliaran dolar yang diberikan oleh rezim Saudi untuk militer di Mesir setelah Kudeta Juli 2013, dan simpati dari beberapa ulama untuk ISIS di Irak dan Suriah .
Dalam episode lain pekan berikutnya, presenter MBC TV mengundang tiga ulama yang menentang partisipasi pemuda Saudi dalam konflik Suriah. Kementerian Urusan Islam Saudi kemudian mengirim memoradum kepada para imam-imam masjid di Saudi yang memerintahkan mereka untuk tidak berbicara tentang jihad dalam Khutbah Jum’at. Para ulama resmi di lembaga-lembaga seperti Dewan Ulama Senior Saudi telah menerbitkan fatwa yang melarang warga Saudi berjihad di Suriah.
Perintah Raja Abdullah dan kampanye resmi rezim Saudi tampaknya memiliki tujuan ganda. Bagi rezim, mereka berusaha untuk mengekang ancaman ISIS, tidak hanya sebagai kekuatan militer tetapi sebagai pemimpin takut adanya klaim dari Negara Islam saingan.
Bagi Raja Abdullah, rasa takut hilangnya keutamaan di dunia Islam Sunni juga menjadi alasan di balik dukungan rezim Saudi pada Jenderal Abdel Fatteh al-Sisi sebagai pemimpin de facto paska kudeta di Mesir.
Lebih dekat ke tanah air, rezim sekarang melihat “keamanan nasional” dalam konteks warga Saudi yang mungkin kembali dari konflik Suriah akan menantang sistem, sebagaimana beberapa pemberontakan yang berbuah menjadi perang sipil, seperti di Afghanistan dan Irak.
[kiblat.net/ +ResistNews Blog ]