Teks Sambutan Wakil Presiden RI pada Peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2012
Sambutan Wakil Presiden RI pada Peringatan Hari Lahirnya Pancasila
Jakarta, 1 Juni 2012
Assalamualaikum wr. wb.
Suatu kebahagiaan dan kehormatan bagi saya memenuhi undangan dari
MPR-RI untuk hadir dan memberikan sambutan pada peringatan Hari Lahirnya
Pancasila tahun ini.
Hari ini, kita berkumpul, bertemu untuk
mengukuhkan silaturahmi. Pertemuan seperti ini adalah kesempatan untuk
menengok kembali sejarah. Tidak hanya itu. Pertemuan ini juga dapat
kita gunakan untuk mengevaluasi keadaan kita sekarang. Dengan
berkumpul ini kita juga dapat menyegarkan kembali semangat kita
membangun masa depan bangsa.
Hadirin yang saya hormati.
Kurang-lebih tiga tahun yang lalu, saya berkesempatan berkunjung untuk
pertama kalinya ke Ende, Flores, sebuah tempat yang ternyata amat
penting dalam sejarah perjuangan nasional. Di sinilah Bung Karno
diasingkan oleh pemerintah kolonial dari tahun 1934-1938.
Dalam masa pengasingan itu, Bung Karno tinggal di sebuah rumah kecil
bersama Ibu Inggit. Tidak jauh dari rumah itu, ada sebuah sudut di
pantai dengan sebatang pohon sukun yang rindang.
Delapan
puluh tahun yang lalu, di sanalah Bung Karno sering duduk di sore hari,
menghadap ke laut, merenung, membaca buku, dan menulis. Menurut para
saksi, di rumah kecil dan di bawah pohon sukun itulah Bung Karno
berpikir mencari jalan ke arah Indonesia yang merdeka. Merdeka dari
penjajahan, merdeka dari keterbelakangan. Indonesia yang merdeka dalam
berpikir, bekerja dan bersuara.
Saya sungguh merasa tergugah
oleh situs bersejarah itu. Makin saya sadari bahwa pemikiran Bung Karno,
yang di tahun 1945 dirumuskan dengan nama 'Pancasila', adalah pemikiran
yang tidak ditiru dari buku manapun dan bukan dikarang dari
awang-awang. Pemikiran itu lahir dari pengalaman sejarah.
Sejarah memberi Bung Karno dan para pendahulu kita pengalaman hidup
pahit di bawah kekuasaan kolonial yang menindas. Akan tetapi sejarah
juga menunjukkan betapa kuatnya daya tahan rakyat Indonesia, daya tahan
rakyat yang bersatu, seperti yang disaksikan Bung Karno sendiri di
Flores.
Di Flores, rakyat hidup rukun di dalam perbedaan
daerah, bahasa dan agama. Di Flores juga Bung Karno bahkan berteman
dengan rohaniawan Katolik dari Belanda yang tinggal di Ende yang,
setelah bertukar pikiran dengan Bung Karno, mendukung cita-cita
kemerdekaan Indonesia.
Dari pengalaman itulah, Bung Karno
semakin yakin kepada apa yang menjadi cita-citanya sejak tahun 1920-an,
yang juga menjadi cita-cita semua pejuang pergerakan. Cita-cita yang
sekarang kita warisi dan kita teruskan. Yaitu, cita-cita untuk sebuah
Indonesia yang kuat, yang dijalin dari perbedaan agama, etnis, suku, dan
daerah. Sebuah jalinan yang tidak didominasi oleh salah satu unsurnya.
Sebuah jalinan yang dirajut bersama-sama.
Sampai sekarang,
alhamdulillah, Indonesia yang seperti itu masih bertahan. Mudah-mudahan,
ia tidak akan lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Dan terbukti
pula, Indonesia yang seperti itu yang mampu mengatasi pelbagai krisis
politik dan krisis ekonomi di masa lampau.
Hadirin yang saya
hormati. Kita mengatakan ketahanan bangsa kita itu semua ”berkat
Pancasila”. Memang benar, setiap kali bangsa kita terancam oleh
perpecahan dan permusuhan antar golongan, kita selalu mengingat akan
dasar bersama kehidupan berbangsa dan bertanah air itu. Semangat
Pancasila selalu menjadi penyelamat. Tetapi itu tidak berarti kita
menganggap Pancasila sebagai sesuatu yang sakral. Mensakralkan Pancasila
justru akan menjauhkan Pancasila dari pengalaman hidup kita,
orang-orang biasa, sehari-hari. Sebab Pancasila memang bukan wahyu yang
turun dari langit.
Ketika Bung Karno merumuskannya pada
tanggal 1 Juni 1945, sebenarnya beliau merumuskan suatu keharusan yang
lahir dari perkembangan sejarah. Pidato Bung Karno hari itu adalah
kearifan memahami dan menyambut keharusan sejarah itu.
Apakah keharusan sejarah itu?
Sejak awal tahun 1920-an, sangat dirasakan bahwa bangsa kita menjadi
bangsa yang tertindas bangsa lain karena terbelakang dalam pendidikan
dan terpecah-pecah secara sosial, ekonomi dan politik. Itulah sebabnya
pada tahun 1908 sejumlah pemuda melancarkan gerakan pendidikan bangsa,
sekaligus untuk membangkitkan rasa kebangsaan. Itu pula sebabnya pada
tahun 1928, sebuah generasi baru berikrar untuk membangun persatuan
Indonesia.
Semua tekad itulah yang akhirnya memicu perubahan
menuju Indonesia merdeka. Demikian pula, sejak Kemerdekaan di tahun 1945
sampai dengan Reformasi di tahun 1998, para pejuang, terutama generasi
muda, juga telah mengubah sejarah.
Tetapi pengalaman juga
mengajarkan kepada kita satu hal yang sangat penting, yaitu bahwa setiap
perubahan, bahkan yang diniatkan untuk kebaikan dan perbaikan, tidak
pernah berhasil sempurna. Bahkan selalu menimbulkan cacat dan persoalan
baru.
Maka kita tidak perlu menyembunyikan kenyataan, bahwa setelah Reformasi 1998, persoalan-persoalan kita tidak berkurang.
Kita bukan saja menghadapi masalah korupsi yang sudah bertahun-tahun
menjadi kanker dalam tubuh Republik dan baru saja mulai kita perangi
dengan susah payah.
Kita juga masih harus meningkatkan mutu
demokrasi kita. Kita masih tertinggal dalam membangun politik yang
tidak dikuasai uang. Kita masih harus mengukuhkan media yang bebas dari
ancaman kekerasan dan dari kekuasaan modal. Dan tidak kalah penting,
kita masih harus belajar banyak untuk mengelola perbedaan dan konflik
antara sesama kita, yang tidak jarang berbentuk kekerasan dan
pengrusakan.
Terutama tentang yang terakhir saya sebut itu, kita semua harus tergerak untuk mengatasinya.
Bukan hal yang baru, bila sebuah negeri dengan mudah terkoyak-koyak
oleh perang saudara karena alasan kedaerahan, kesukuan atau agama. Dua
puluh tahun yang lalu kita melihat Yugoslavia pecah dan runtuh, dan
menjadi sebuah tragedi yang besar, karena disertai kekejaman terhadap
kaum minoritas, kaum Muslimin Bosnia.
Dan sejarah pun berulang.
Hari-hari ini, kita juga mengikuti laporan tentang konflik yang sengit
dan berdarah di Afrika, di Timur Tengah karena beda suku, daerah dan
agama. Kita mengikuti itu semua dengan perasaan sedih dan cemas.
Apalagi bila kita ingat, di tanah air kita sendiri pertumpahan darah
juga pernah terjadi antar kelompok yang berbeda suku dan agama. Ingat
konflik di Maluku dan Kalimantan beberapa tahun yang lalu.
Hadirin yang saya hormati.
Melihat tragedi yang saya sebutkan tadi, apa yang diucapkan Bung Karno
pada tanggal 1 Juni 1945 bergema kembali hari ini. Bung Karno
mengatakan, dalam perbedaan-perbedaan yang ada pada kita, kita perlu
mencari 'modus' bersama. Dan beliau menemukan bahwa modus itu ada dalam
kebangsaan kita.
Hari ini modus itu telah kita dapatkan. Tetapi itu tidak cukup. Kita perlu selalu merawat dan memperkuatnya.
Saya menyadari -- dan saya yakin bukan hanya saya yang menyadari --
bahwa ikhtiar untuk merawat dan memperkuat kebangsaan kita tidaklah
mudah, bahkan setelah hampir tujuh dasawarsa kita mempunyai Pancasila.
Hari-hari ini, setelah mengalami cacat-cacat pemerintahan yang
sentralistis di masa lalu -- yang kurang mempedulikan aspirasi daerah --
kita melaksanakan desentralisasi. Kita merasa berbahagia dan bangga
bahwa desentralisasi ini berhasil memperkuat sumber-sumber daerah.
Tetapi sungguh menyedihkan apabila kehidupan politik lokal kemudian
ditentukan oleh semangat kedaerahan yang sempit, bahkan semangat
kesukuan, yang tidak jarang dimanfaatkan oleh perbuatan korup, kroniisme
dan nepotisme.
Hari-hari ini, setelah bangsa kita
bertahun-tahun dipaksa untuk hanya mengakui asas tunggal, kita
melaksanakan dengan sungguh-sungguh satu aspek dalam demokrasi yang
memberi peluang luas untuk ekspresi keyakinan yang berbeda-beda. Tetapi
sungguh ironis dan menyedihkan apabila ekspresi keyakinan itu justru
ingin menyingkirkan perbedaan atau kebhinekaan yang sudah lama ada.
Maka sambil mengevaluasi keadaan kita hari ini, sudah saatnya kita
bersama-sama menyusun agenda kebangsaan yang lebih kuat ke masa depan.
Kita beruntung, dan bersyukur, bahwa para pendiri Republik ini,
terutama Bung Karno, telah menyumbangkan sebuah fondasi kebangsaan,
yakni Pancasila.
Fondasi itu memberikan pijakan kuat bagi
kita yang berbeda-beda latar belakang untuk hidup bersama sebagai suatu
bangsa. Fondasi itu sebenarnyalah penopang eksistensi bangsa. Resiko
terbesar terhadap keberlanjutan eksistensi bangsa, menurut hemat saya,
adalah tumbuhnya egoisme sempit.
Setiap bentuk egoisme akan
menyingkirkan orang lain dan merebut hak-hak sesama. Setiap bentuk
egoisme di kehidupan masyarakat akan menimbulkan konflik yang
mendatangkan korban harta dan jiwa.
Oleh karena itu egoisme
itulah yang harus kita tolak -- egoisme agama, egoisme bangsa, egoisme
etnis, egoisme suku, egoisme kekuasaan, egoisme harta. Pengalaman
sejarah, dan juga kebutuhan kita untuk mengawal perjalanan bangsa ke
depan, mengharuskan kita untuk melawan egoisme.
Dunia sedang
menghadapi krisis ekonomi dan politik. Kita tidak selamanya dapat
menghindarkan dampak buruknya ke dalam kehidupan kita, terutama rakyat
yang di bawah. Tetapi saya yakin, apabila kita menghayati dan meresapi
dasar-dasar yang tercantum dalam Pancasila, Insya Allah, kita akan mampu
dan siap untuk menghadapi ancaman itu.
Kita tidak punya banyak pilihan.
Izinkanlah di sini saya mengutip kata-kata Martin Luther King Jr,
seorang pejuang hebat persamaan hak bagi kaumnya. Beliau berkata: 'We
must learn to live together as brothers or perish together as fools.'
Kita harus belajar hidup bersama sebagai saudara, atau kita semua akan
binasa sebagai orang-orang bodoh.
Dengan kutipan itu, saya menutup sambutan saya ini.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
Wakil Presiden RI
Boediono