-->

Hidup di Bawah Pemerintah Mujahidin dan Syari’at Islam, Pengemis Somalia Menjadi Petani Sukses

+ResistNews Blog - Jurnalis Aljazeera di Somalia, Hamza Muhammad kembali meneruskan reportase eksklusifnya terkait aktivitas Mujahidin al Shabaab di Distrik Shabelle. Kali ini dalam laporan terbarunya, ia mengupas masalah keputusan al Shabaab melaranglembaga-lembaga LSM beroperasi di wilayah-wilayah kekuasaannya.

Keputusan al Shabaab dipandang kontroversial dan ditentang oleh rezim pemerintah bahkan dunia Internasional, dituding akan semakin memperburuk kemiskinan dan kelaparan di Somalia.

Namun tudingan tersebut tak terbukti, Somalia yang miskin kini berganti makmur. Ladang pertanian subur di bawah wilayah yang dikontrol oleh al Shabaab, bukan oleh rezim pemerintah yang korup. Para penduduk pun mendapat getah manis, dan tak sedikit dari mereka menyatakan banyak-banyak syukur dan terima kasih pada Allah yang telah mengutus al Shabaab melindungi rakyat Somalia.

Sebagai catatan, Somalia termasuk dalam sederet daftar negara yang dicap miskin dengan rezim pemerintah paling krorup di dunia.

Lengkapnya bisa kita simak dari laporan eksklusif Hamza Muhammad atau Hamza Afrika, dimuat oleh situs Aljazeera, Senin (10/3/2014). Berikut ini terjemahannya.


Petani-petani Somalia Meraup Untung dari Gerakan Reformasi al Shabaab

Oleh: Jurnalis Aljazeera, Hamzah Muhammad 

Waktu menunjukkan pukul 8 pagi, dan Syaikh Abu Abdullah (Gubernur wilayah Shabelle edt) sibuk melakukan inspeksi atas proyek penggalian kanal irigasi baru di Bulo Mareer, sebuah kota di Provinsi Shabelle bagian Bawah, Somalia.

Para penggali mulai bekerja sejak pukul 6 pagi. Proyek pembangunan kanal tersebut dilakukan di seluruh wilayah provinsi yang digelar sekitar dua setengah tahun yang lalu. Milisi al Shabab yang berafiliasi pada al Qaeda berjuang melawan rezim pemerintah Somalia yang didukung oleh dunia Internasioanl.

Sejauh ini al Shabaab telah menghabiskan dana sekitar dua juta Dolar dalam menggarap proyek pembangunan kanal tersebut, yang juga dikerjakan di bagian selatan dan tengah Somalia, seperti yang dituturkan oleh kelompok tersebut.

Tiga bulan telah berlalu sejak tetes terakhir hujan membasahi Bulo Mareer, namun berkat adanya sejumlah kanal irigasi dan sungai, kota ini menjadi subur dan hijau.

Ladang pertanian jagung memiliki luas hingga tujuh hektar di pinggiran kota sungai tersebut. Hussein Muhammad Ali, umur 66 tahun, masih dalam suasana gembira setelah salah satu kanal mencapai lahan pertaniannya sebulan lalu.

“Saya tidak perlumenunggu hujan lagi,” katanya, seraya memegang tomat yang dipetik dari tanaman di ladangnya.

“Sebelumnya, saya sudah sangat beruntung meski hanya bisa sekali memanen hasil ladang dalam setahun. Namun sekarang aku setidaknya bisa tiga kali panen dalam 12 bulan ke depan.”
Syaikh Abu Abdullah, Gubernur al Shabaab di Provinsi Shabelle (kiri) bersama Hamzah Muhammad, Jurnalis Aljazeera (kanan)
Menendang dan Mengusir LSM

Pada bulan November 2011, al Shabaab melakukan sebuah langkah yang banyak dikritik, yakni melarang organisasi non-pemerintah asing (LSM) dari daerah-daerah yang telah mereka kuasai, dengan tuduhan LSM-LSM tersebut melakukan kegiatan ilegal dan pelanggaran.

“Kami ingin rakyat kami bebas dari cengkraman LSM dan tangan asing. Kami ingin mereka hidup berdiri sendiri dan saling membantu satu sama lain yang bebas dari intervensi luar,” kata Syaikh Abu Abdullah, gubernur Mujahidin al Shabaab untuk Provinsi Shabelle bagian bawah pada Aljazeera.

Shabelle bagian Bawah adalah lumbung pertanian Somalia. Selama bencana kelaparan tahun 2011, yang menewaskan lebih dari 250.000 orang, provinsi ini sangat terpukul. Banyak orang hidup berpindah ke kamp-kamp pengungsian internal di ibukota Somalia, Mogadishu.

Di sisi lain kota itu terdapat ladang pertanian wijen milik Abdi Haji Qarawi, seorang pria berumur 47 tahun yang merupakan ayah dari 18 orang anak-anaknya. Di satu sisi, pertanian wijen seluas 17 hektar itu terdapat tumpukan bentuk segitiga wijen yang sudah menegring akibat terik matahari sore hari.

Sebelum diberlakukannya pelarangan LSM asing dan pembangunan kanal irigasi kota, Qarawi mengatakan bahwa dia adalah seorang “pengemis”.

“Setiap minggu di akhir bulan kami pergi ke kantor-kantor LSM asing untuk mengemis makanan. Kadang mereka akan memberitahu bahwa mereka tidak memiliki makanan. Itu adalah saat-saat kehidupan yang memalukan bagiku,” kata Qarawi.

Dua tahun setelahnya, aku (Hamza Muhammad) memutuskan untuk kembali melihat lahan pertaniannya, saat itu akun mendapati Qarawi menjadi seorang pria yang hidup bahagia.

“Semua anak-anakku pergi ke sekolah. Aku sekarang mampu untuk menyekolahkan mereka, bahkan memiliki kelebihan harta,” katanya sambil tersenyum.

Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), jumlah penduduk yang menderita krisis di Somalia kini berada pada titik terendah sejak bencana kelaparan terjadi di Somalia pada tahun 2011.

FAO mencatat curah hujan di atas rata-rata, harga pangan yang rendah dan respon perbaikan kemanusiaan yang terus berkelanjutan.

Dalam sebuah pernyataan, Luca Alinovi kepala FAO di Somalia, mengatakan kepada Aljazeera, “FAO beroperasi di Shabelle bagian Bawah. Dan bekerja melalui berbagai organisasi lokal dan internasional untuk mencapai beberapa komunitas yang paling rentan di Somalia. Saat ini, FAO bekerja di daerah Afgoye, Awdegle dan Wanla Weyne di Shabelle Bawah melalui mitra pelaksana.”

Dia menambahkan bahwa FAO tidak memiliki informasi mengenai apakah al Shabaab bertanggung jawab atas semua perbaikan itu. FAO tidak akan secara eksplisit mengatakan apakah mereka beroperasi di daerah kekuasaan al Shabaab.

LSM Asing Membunuh Setiap Upaya Insentif untuk Memajukan Pertanian

Namun faktanya, para petani di sini (wilayah al Shabaab) melihat pergantian nasib mereka yang berbeda.

“Kami justru baru menemukan bahwa tempat tinggal kami sangat makmur setelah adanya kebijakan al Shabaab untuk melarang LSM asing”, kata Muhammad Syaikh Abdi, ketua Serikat Petani Bulo Mareer.

“LSM selalu membawa makanan ke kota untuk dijual satu minggu sebelum panen. Mereka membeli makanan dari luar negeri dan tidak pernah membeli dari kami, para petani setempat . Mereka membunuh setiap uapa insentif untuk memajukan pertanian. Kami menjadi sandera LSM-LSM asing itu,” imbuhnya.

Para pemilik restoran juga diuntungkan atas diusirnya LSM asing oleh al Shabaab. Mujahidin menawarkan pembebasan pajak dan sewa gratis untuk restoran yang menjual makanan dari hasil produksi pertanian lokal.

Di setiap kota yang dikendalikan oleh Mujahidin al Shabaab di Shabelle Bawah, restoran-restoran makanan yang disebut dengan julukan Wadani Qutul (hidangan nasional) banyak bermunculan dan terbukti populer.

Abdirashid Xaji, umur 38 tahun, menjalankan salah satu restoran tersebut. Testoran miliknya menyajikan makan malam. Saat aku wawancarai, ayah dari 13 orang anak itu sedang sibuk memberi perintah kepada stafnya.

Restorannya adalah yang pertama dibuka, dan kini sekitar empat orang lainnya telah membuka restoran di Bulo Mareer, sebuah kota berpenduduk sekitar 30.000 jiwa.

“Pada hari yang sangat tenang, kami bisa melayani pembeli hingga 150 orang. Pada hari sibuk seperti Jum’at, kami bisa melayani tiga kali dari jumlah tersebut,” katanya.

“Restoran kami sangat populer karena orang-orang sekarang tahu manfaat kesehatan dan biaya ekonomis dari memakan makanan yang diproduksi secara lokal. Dokter juga telah memberitahu mereka banyak hal positif jika memakan makanan lokal.”

Abdullahi Boru, analis keamanan “Horn of Africa”, mengatakan bahwa al Shabab sedang berusaha untuk membunuh dua ekor burung hanya dengan satu batu. Menjamin kebutuhan dasar rakyat yaitu makanan, dan meningkatkan basis pendapatan jangka panjang mereka.

Dengan tidak membebani petani atas lahan mereka, tetapi untuk apa yang berhasil mereka hasilkan, Boru mengatakan al Shabab mendorong lebih banyak orang untuk memajukan pertanian. Yang berarti pendapatan pajak yang lebih dari peningkatan produksi .

Dan dengan menyediakan tempat bebas sewa bagi pemilik restoran yang menyedikan makanan dari hasil pertanian lokal, kelompok ini mempertahankan permintaan untuk makanan lokal dan menjaga pundi-pundi mereka , tambahnya.

Keputusan al Shabaab untuk melarang organisasi bantuan juga dapat membantu meminimalkan risiko terhadap keamanan kelompok bersenjata itu.

“Membuat warga mandiri dengan mengurangi kesempatan bagi bantuan darurat juga menjadi perangkap halus untuk mencegah Intelijen mengumpulkan informasi melalui lembaga LSM bantuan Barat.”

Terlepas dari motif al Shabaab untuk melarang LSM dan melakukan pembangunan kanal irigasi, banyak penduduk setempat menyambut positif perkembangan itu.

“Sebelumnya, aku menggunakan kedua tanganku hidup sebagai pengemis. Sekarang kedua tanganku ini bisa menghasilkan pertanian melimpah yang dijual di pasar ibukota Mogadishu. Allah mengirim al Shabaab pada penduduk Somalia untuk mendepak keluar LSM asing,” kata Qarawi, sang petani wijen. [shoutussalam.com/ +ResistNews Blog ]