Perempuan Berkalung Sorban
“Belum pernah selama saya ini menonton film, berapa puluh tahun lamanya, berapa ratus judul banyaknya, kalau dihitung-hitung sejak masa kanak-kanak dulu, belum pernah saya merasa dihina dan dilecehkan seperti sesudah menonton film Hanung ini. Hanung, kau keterlaluan”
Itulah curahan hati Sastrawan Taufik Ismail ketika menanggapi Film Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo. Film itu mengisahkan sistem pesantren yang dirasa mengekang perempuan. Tampilan Kyai pun dibuat Hanung begitu menyeramkan, seakan kisah teladan dakwah para Ulama di Indonesia berguguran. Wajar seorang Budayawan berkelas seperti Taufik Ismail begitu kaget. Budaya, yang menjadi bidangnya, kini jadi wasilah untuk menyudutkan umat Islam.
Sikap Taufik Ismail ini didukung oleh sineas senior lainnya, Misbach Yusa Biran. Misbach menyebut film garapan Hanung Bramantyo tersebut sebagai propaganda buruk terhadap pesantren.”Saya tidak bisa menahan diri,” tulis Misbach. ”Inti cerita Perempuan Berkalung Sorban ini menurut saya sangat merugikan Islam dan merupakan propaganda buruk tentang pesantren.”
Misbach menuliskan dalam film ini pesantren digambarkan sebagai tempat pendidikan yang sumpek dengan pemikirannya sangat terbelakang. ”Dewasa ini pesantren kecil di pedesaan terpencilpun rasanya sudah tidak ada yang begitu buruk pemahamannya,” katanya.
Bahkan di film ini, kata Misbach, kiai lulusan Mesir begitu digambarkan seperti seorang yang dungu karena tidak membenarkan orang membaca selain Al Qur’an. ”Sehingga seolah-olah perguruan tinggi Islam di Mesir juga digambarkan sangat terbelakang.”
Cinta Tapi Beda
Di akhir tahun 2012, ‘Film Cinta Tapi Beda’ mengawali petualangan Hanung dalam dunia perfilman. Film ini mengisahkan dua muda-mudi yang berbeda keyakinan. Untuk film ini, Hanung juga menggandeng sutradara Hestu Saputra dan musisi Eross Candra, yang juga pelaku cinta beda agama.
Film itu mengisahkan Cahyo (Reza Nangin), cowok ganteng asal Jogja, bekerja sebagai chef di Jakarta. Ia anak pasangan Fadholi dan Munawaroh, keluarga muslim yang taat beribadah. Cahyo berusaha lepas dari kesedihan setelah ditinggal selingkuh sang kekasih, Mitha.
Sedangkan Diana (Agni Pratistha) merupakan gadis asal Padang, Sumatera Barat, mahasiswi jurusan Seni Tari. Ia tinggal bersama om dan tantenya di Jakarta. keluarga Diana merupakan penganut Katolik taat.
Cahyo dan Diana bertemu di pertunjukan tari kontemporer di Jakarta. Mereka memutuskan berpacaran walaupun berbeda keyakinan. Mereka bahkan serius melanjutkan hubungan hingga jenjang pernikahan.
Diana was-was ketika Cahyo mengajaknya menemui orangtuanya. Ibu Cahyo bisa memahami cinta anaknya, tapi tidak Pak Fadholi. Sampai kapan pun Pak Fadholi tidak akan merestui Cahyo. Bila Cahyo memaksa, Pak Fadholi memilih memutus ikatan tali keluarga. Ternyata tidak mudah bagi Cahyo dan Diana menjalani cinta beda keyakinan.
Ibu Diana juga keberatan dengan pilihan putrinya. Kakak-kakak Diana, termasuk om dan tantenya, telah meninggalkan keyakinan mereka. Ibu Diana memaksa Diana mengikuti kehendaknya. Itu sebabnya, Diana akhirnya memilih kembali ke Padang dan menerima perjodohan dengan dokter Oka, lelaki pilihan ibunya dan seiman. Ia coba tutup hatinya untuk Cahyo.
Film ini tentu menggiring pembaca untuk membenarkan pernikahan beda agama. Padahal ini adalah perkara sensitif dalam Islam karena sudah menyangkut akidah.
Hanung pun kemudian juga harus menghadapi protes dari umat Islam Minangkabau. Keluarga Mahasiswa Minang Jaya (KMM Jaya) mendesak Hanung Bramantyo meminta maaf kepada masyarakat Minangkabau sekaligus menghentikan penayangan film tersebut di bisokop-bioskop.
“Kami pengurus pengurus pusat Keluarga Mahasiswa Minangkabau Jaya (KMM JAYA) sangat terusik (terhina) dengan film ini,” kata pengurus pusat KMM Jaya Muhammad Rozi.
Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Payakumbuh Indra Zahur Datuak Rajo Simarajo dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Payakumbuh Haji Mismardi, juga terang-terangan, meminta film ”Cinta Tapi Beda”, dari peredaran. ”Jangan sampai ada yang beredar atau diputar lagi, apalagi di Payakumbuh,” kata mereka.
Menurut Indra Zahur dan Mismardi, film Cinta Tapi Beda, sangat tidak sesuai dengan ajaran adat Minang. ”Sejak leluhur kita mengajarkan nilai-nilai kehidupan, beragama, berkorong berkampung, nilai-nilai Islam tetap melekat dalam ajaran adat Minang. Artinya, orang Minang itu adalah kaum muslim dan muslimah, pemeluk Islam.
”Kalau ia tak beragama Islam, itu bukan orang Minang. Kami takut, film ini akan merusak sendi-sendi adat dan budaya masyarakat Minang dalam berkehidupan sehari-hari yang sangat menjaga hubungan antar sesama. Kami mencurigai, ada keinginan terselubung dari orang-orang yang ikut mendukung film tersebut ditayangkan. Misalnya, ingin menghancurkan adat dan budaya masyarakat Minang,” kata Indra Zahur dan Buya Mismardi. (Pz/Islampos/blog.resistnews.web.id)