Seperti yang dilansir BBC Indonesia (1/12) kasus HIV/AIDS di
Indonesia secara kumulatif mencapai 120 ribu orang sejak 1997 sampai
September 2012 dan penyebarannya semakin meluas di 33 provinsi dan 341
kabupaten/kota. Menteri Kesehatan Nafsiyah Mboi mengatakan, peningkatan
terjadi karena kurangnya pemakaian kondom di kelompok yang berisiko
seperti pelacur.
Menkes Nafsiyah Mboi sendiri pada Selasa (23/10/2012) mengakui perilaku seks bebas menjadi penyebab penyakit HIV di tanah air. Menurutnya, penularan AIDS tertinggi melalui seks bebas dengan angka 71 persen dari total orang hidup dengan AIDS (OHDA). Lalu 18,7 persen terkena dari jarum suntik narkoba, dan sisanya penularan ibu ke bayinya. Perilaku hubungan seksual sesama jenis juga sebagai pemicu awal menambahnya angka penderita AIDS, termasuk waria bisa menularkan kepada pasangannya.
Meski telah terbukti gaya hidup liberal dan hedonis adalah pangkal dari penyebaran virus HIV/AIDS, kelompok liberal masih saja menyangkal kenyataan ini. Bagi mereka, pencegahan HIV/AIDS bukan dengan menghapuskan gaya hidup serba bebas, apalagi melarang perzinaan dan prostitusi. Kelompok liberal tidak menyoal seks bebas (freesex) dengan alasan HAM. Menurut mereka, yang penting aman (safesex). Dan itu artinya adalah kondomisasi. Padahal kondom sendiri hingga saat ini diragukan keamanannya.
Melihat pola penanggulangan HIV/AIDS yang ada, kita patut pesimis negeri ini akan terbebas dari ancaman HIV/AIDS. Padahal program kondomisasi sebenarnya sudah berjalan baik secara terbuka maupun diam-diam. Milyaran rupiah sudah dihabiskan. Menurut menkes, saat ini saja untuk membiayai pengobatan pengidap HIV/AIDS perlu 65 juta dolar AS. Jika tak ada upaya pencegahan, biaya pengobatan akan membengkak menjadi 202 juta dolar AS pada 2020. Tapi itu ibarat membuang garam ke laut, semua usaha itu tidak secara signifikan menekan angka penderita HIV/AIDS di negeri ini.
Kegagalan itu wajar saja. Sebab mesin penyebaran HIV/AIDS yaitu seks bebas dan narkoba tidak dipangkas sejak akarnya. Pelacuran justru di lokalisasi dan di luar lokaliasi pun tetap marak. Pornografi, pornoaksi, dan sensualitas terus dipasarkan. Dan ditambah lagi, gaya hidup bebas terus dikampanyekan. Kejahatan dan penyimpangan seksual seperti homoseksual dan pelacuran malah berusaha dilindungi dengan alasan HAM.
Ancaman HIV/AIDS hanya bisa diatasi dengan menerapkan syariah Islam. Pada dasarnya, upaya penanggulangan penyakit menular ditempuh dengan beberapa hal: akar penyebab dan penyebarannya dipangkas, penyebarannya dihentikan/dibatasi, penderitanya diobati/disembuhkan, masyarakat dibina ketakwaan mereka dan diedukasi secara memadai.
Syariah Islam memangkas akar penyebaran HIV/AIDS yaitu seks bebas dan narkoba. Mengonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal. Penggunanya dikenai sanksi disamping harus diobati/direhabilitasi. Sementara produsen dan pengedarnya harus dijatuhi sanksi berupa sanksi ( ta’zir) yang berat, bisa berupa hukuman mati, sebab telah membahayakan dan merusak masyarakat.
Sementara seks bebas atau perzinaan juga haram dan merupakan dosa besar dan perbuatan keji. Berdasarkan Alquran (QS an-Nur [24]: 2) pelakunya jika belum menikah (ghayr muhshan) dijilid 100 kali. Sementara jika pelaku zina itu sudah menikah (muhshan) maka sanksinya adalah dirajam hingga mati, seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap Ma’iz dan al-Ghamidiyah. Untuk memberikan efek jera, pelaksanaan semua hukuman itu harus dilakukan secara terbuka disaksikan oleh khalayak.
Syariah Islam juga dengan tegas mengharamkan segala bentuk pornografi dan pornoaksi, dan pelakunya dikenai sanksi ta’zir. Produsen dan pengedarnya dikenai sanksi yang berat, sebab tersebarnya pornografi dan pornoaksi akan membahayakan dan merusak masyarakat.
Sementara bagi penderitanya, syariah Islam mewajibkan negara untuk menyediakan pengobatan yang optimal bagi mereka –juga bagi seluruh rakyat—secara gratis. Negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan peluang bagi setiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai kemampuannya. Sehingga tidak ada yang ‘terpaksa’ melacur dengan alasan ekonomi.
Di luar semua itu, solusi itu disempurnakan dengan menciptakan kehidupan sosial yang sehat berlandaskan akidah dan syariat Islam. Umat akan dibina untuk meninggalkan segala bentuk kemaksiatan atas dasar kesadaran dan dorongan iman dan ketakwaan. Pintu amar makruf nahi mungkar pun dibuka lebar, bahkan hal tu merupakan kewajiban semua Muslim, termasuk untuk mengoreksi penguasa jika lalai melakukan semua itu.
Dengan semua itu ancaman HIV/AIDS bisa diatasi. Semua itu hanya bisa diwujudkan sempurna jika syariah Islam diterapkan secara total dan utuh. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui institusi Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [] Farid Wadjdi
Menkes Nafsiyah Mboi sendiri pada Selasa (23/10/2012) mengakui perilaku seks bebas menjadi penyebab penyakit HIV di tanah air. Menurutnya, penularan AIDS tertinggi melalui seks bebas dengan angka 71 persen dari total orang hidup dengan AIDS (OHDA). Lalu 18,7 persen terkena dari jarum suntik narkoba, dan sisanya penularan ibu ke bayinya. Perilaku hubungan seksual sesama jenis juga sebagai pemicu awal menambahnya angka penderita AIDS, termasuk waria bisa menularkan kepada pasangannya.
Meski telah terbukti gaya hidup liberal dan hedonis adalah pangkal dari penyebaran virus HIV/AIDS, kelompok liberal masih saja menyangkal kenyataan ini. Bagi mereka, pencegahan HIV/AIDS bukan dengan menghapuskan gaya hidup serba bebas, apalagi melarang perzinaan dan prostitusi. Kelompok liberal tidak menyoal seks bebas (freesex) dengan alasan HAM. Menurut mereka, yang penting aman (safesex). Dan itu artinya adalah kondomisasi. Padahal kondom sendiri hingga saat ini diragukan keamanannya.
Melihat pola penanggulangan HIV/AIDS yang ada, kita patut pesimis negeri ini akan terbebas dari ancaman HIV/AIDS. Padahal program kondomisasi sebenarnya sudah berjalan baik secara terbuka maupun diam-diam. Milyaran rupiah sudah dihabiskan. Menurut menkes, saat ini saja untuk membiayai pengobatan pengidap HIV/AIDS perlu 65 juta dolar AS. Jika tak ada upaya pencegahan, biaya pengobatan akan membengkak menjadi 202 juta dolar AS pada 2020. Tapi itu ibarat membuang garam ke laut, semua usaha itu tidak secara signifikan menekan angka penderita HIV/AIDS di negeri ini.
Kegagalan itu wajar saja. Sebab mesin penyebaran HIV/AIDS yaitu seks bebas dan narkoba tidak dipangkas sejak akarnya. Pelacuran justru di lokalisasi dan di luar lokaliasi pun tetap marak. Pornografi, pornoaksi, dan sensualitas terus dipasarkan. Dan ditambah lagi, gaya hidup bebas terus dikampanyekan. Kejahatan dan penyimpangan seksual seperti homoseksual dan pelacuran malah berusaha dilindungi dengan alasan HAM.
Ancaman HIV/AIDS hanya bisa diatasi dengan menerapkan syariah Islam. Pada dasarnya, upaya penanggulangan penyakit menular ditempuh dengan beberapa hal: akar penyebab dan penyebarannya dipangkas, penyebarannya dihentikan/dibatasi, penderitanya diobati/disembuhkan, masyarakat dibina ketakwaan mereka dan diedukasi secara memadai.
Syariah Islam memangkas akar penyebaran HIV/AIDS yaitu seks bebas dan narkoba. Mengonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal. Penggunanya dikenai sanksi disamping harus diobati/direhabilitasi. Sementara produsen dan pengedarnya harus dijatuhi sanksi berupa sanksi ( ta’zir) yang berat, bisa berupa hukuman mati, sebab telah membahayakan dan merusak masyarakat.
Sementara seks bebas atau perzinaan juga haram dan merupakan dosa besar dan perbuatan keji. Berdasarkan Alquran (QS an-Nur [24]: 2) pelakunya jika belum menikah (ghayr muhshan) dijilid 100 kali. Sementara jika pelaku zina itu sudah menikah (muhshan) maka sanksinya adalah dirajam hingga mati, seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap Ma’iz dan al-Ghamidiyah. Untuk memberikan efek jera, pelaksanaan semua hukuman itu harus dilakukan secara terbuka disaksikan oleh khalayak.
Syariah Islam juga dengan tegas mengharamkan segala bentuk pornografi dan pornoaksi, dan pelakunya dikenai sanksi ta’zir. Produsen dan pengedarnya dikenai sanksi yang berat, sebab tersebarnya pornografi dan pornoaksi akan membahayakan dan merusak masyarakat.
Sementara bagi penderitanya, syariah Islam mewajibkan negara untuk menyediakan pengobatan yang optimal bagi mereka –juga bagi seluruh rakyat—secara gratis. Negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan peluang bagi setiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai kemampuannya. Sehingga tidak ada yang ‘terpaksa’ melacur dengan alasan ekonomi.
Di luar semua itu, solusi itu disempurnakan dengan menciptakan kehidupan sosial yang sehat berlandaskan akidah dan syariat Islam. Umat akan dibina untuk meninggalkan segala bentuk kemaksiatan atas dasar kesadaran dan dorongan iman dan ketakwaan. Pintu amar makruf nahi mungkar pun dibuka lebar, bahkan hal tu merupakan kewajiban semua Muslim, termasuk untuk mengoreksi penguasa jika lalai melakukan semua itu.
Dengan semua itu ancaman HIV/AIDS bisa diatasi. Semua itu hanya bisa diwujudkan sempurna jika syariah Islam diterapkan secara total dan utuh. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui institusi Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [] Farid Wadjdi