-->

Keadilan Islam Dalam Keragaman dan Perbedaan

Tindak kekerasan yang melibatkan umat Islam sering oleh kelompok liberal dijadikan alasan untuk menstigma kaum Muslim sebagai entitas yang paling tidak bisa toleran dengan penganut keyakinan lain. Stigma ini sejatinya untuk membenarkan pandangan sesat kaum liberal yang menyatakan bahwa munculnya kekerasan di dunia Islam disebabkan adanya “truth claim” dan “fanatisme”. Menurut mereka, selama umat Islam masih berpegang teguh pada truth claim dan sikap fanatic terhadap agamanya, maka budaya kekerasan akan terus melekat pada diri kaum Muslim. Untuk itu, agar umat Islam bisa bersikap toleran terhadap penganut keyakinan lain, truth claim dan fanatisme harus dihapuskan dengan cara “menyakini kebenaran agama lain” dan memaknai istilah-istilah keagamaan yang berpotensi melahirkan radikalisme—seperti Islam, kafir, jihad, taghut, serta amar makruf nahi mungkar—dengan makna baru yang lebih toleran (sejalan dengan pluralisme-liberalisme). Dengan cara inilah, menurut mereka, kekerasan di Dunia Islam bisa dihilangkan.
Pandangan seperti di atas jelas-jelas keliru dan menyesatkan. Alasannya, ide penghapusan truth claim dan toleransi tanpa batas lahir dari paham sekulerisme-liberalisme dan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Setiap keyakinan dan gagasan yang tegak di atas akidah selain Islam terkategori keyakinan dan gagasan kufur yang wajib diingkari. Selain itu, gagasan tersebut bertentangan dengan nash-nash qath’i yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah SWT hanyalah Islam. Selain Islam adalah kekufuran dan kesesatan.
Islam memandang keragaman agama, keyakinan, suku, ras dan bahasa sebagai perkara yang alami dan lumrah. Islam tidak berusaha menghapus keragaman tersebut dengan cara memaksa semua orang untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka. Islam dengan tegas melarang seorang Muslim memaksa orang kafir memeluk agama Islam. Islam hadir untuk mengatur keragaman (pluralitas) yang ada di tengah-tengah masyarakat agar terbina kerukunan dan sikap saling menghargai satu dengan yang lain. Tidak hanya itu, Islam pun menyeru manusia meninggalkan keyakinan dan sistem hidup kufur, menuju agama Islam yang lurus.
Berkaitan dengan toleransi, Islam menggariskan sejumlah ketentuan sebagai berikut:
1.     Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme dan semua paham yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kekufuran. Begitu pula agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, kebathinan, dan lain sebagainya; semuanya adalah kekufuran. Siapa saja yang menyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan, tidak ragu lagi, ia adalah kafir. Jika pelakunya seorang Muslim, maka ia telah murtad dari agama Islam. Tidak ada toleransi dalam perkara semacam ini.
2.     Tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariah. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah toleran terhadap keyakinan yang bertentangan pokok-pokok akidah Islam seperti: ateisme, politeisme, Al-Quran tidak lengkap, adanya nabi dan rasul baru setelah wafatnya Nabi saw, pengingkaran terhadap Hari Akhir dan semua hal yang berkaitan dengan Hari Akhir, dan lain-lain. Adapun dalam persoalan hukum syariah contohnya adalah menolak kewajiban shalat, zakat, puasa, jilbab bagi Muslimah, dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’i.
3.     Islam tidak melarang kaum Muslim untuk berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara mubah seperti jual-beli, kerjasama bisnis, dan lain sebagainya. Larangan berinteraksi dengan orang kafir terbatas pada perkara yang dilarang oleh syariah, seperti menikahi wanita musyrik –kecuali ahlul kitab, menikahkan wanita Muslimah dengan orang kafir, perwalian, dan lain sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.
4.     Ketentuan-ketentuan di atas tentu tidak menafikan kewajiban kaum Muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariah. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk terhadap kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu diperlakukan sebagaimana kaum Muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islamiyah sama dengan kaum Muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Siapa saja yang berusaha menciderainya, baik Muslim maupun kafir, akan mendapatkan sanksi. Adapun terhadap kafir harbi, maka hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang Muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun dengan kafir harbi fi’lan, semacam Amerika Serikat, Israel, dan lain sebagainya.
Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi. Adapun dalam kaitannya dengan tindak kekerasan, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.     Tindakan kekerasan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela atau harus dihindari, asalkan sebab dan syaratnya telah dipenuhi. Tindakan kekerasan seperti jihad, pemukulan edukatif, qishash, dan lain sebagainya, dilakukan secara selektif, tidak sembarangan dan asal-asalan. Misalnya, ketika negeri Islam diinvasi tentara-tentara kafir, kaum Muslim diperintahkan mengangkat senjata mengusir mereka. Begitu pula tatkala penguasa (Khalifah) telah menampakkan kekufuran nyata, seperti mengubah sendi-sendi Islam, menerapkan hukum kufur, dan lain sebagainya, maka kaum Muslim diperintahkan menggulingkan khalifah dan mengangkat senjata melawan mereka jika mampu dan tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Ketika seorang istri melakukan pembangkangan, seorang suami dibenarkan untuk memukul dia dengan pukulan yang bersifat edukatif, bukan untuk menyakiti atau menganiaya. Dalam keadaan seperti ini, seorang Muslim dibenarkan melakukan tindakan kekerasan.
2.     Dalam konteks penyebaran dakwah Islam, Islam mengedepankan dialog argumentatif, dan menjauhi sejauh-jauhnya tindakan kekerasan. Jihad dan qital adalah instrumen yang digunakan untuk melenyapkan halangan dakwah Islam, tetapi bukan metode untuk “mengislamkan seseorang”. Islam tidak memaksa penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam agama Islam, kecuali orang-orang musyrik di Jazirah Arab. Khusus untuk musyrik Arab, mereka hanya diberi dua pilihan, yakni masuk Islam atau diperangi (jika masih berdiam diri di Jazirah Arab). Yang diminta dari penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan adalah ketundukan pada kekuasaan Islam. Adapun untuk mengislamkan seseorang, Islam menggu-nakan cara maw’izhah hasanah, hikmah dan dialog argumentatif. Selain itu, penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan rasa aman merupakan da’wah bil hal yang menjadikan orang-orang kafir tertawan hatinya untuk masuk ke dalam agama Islam.
3.     Islam menentang semua bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada alasan syar’i. Bahkan Islam telah menetapkan sanksi yang sangat keras bagi siapa saja yang berusaha menciderai jiwa dan harta seseorang, baik Muslim maupun non-Muslim.
4.     Khalifah atau wakilnya saja yang secara syar’i berhak dan absah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, seperti hukuman mati bagi orang yang murtad (hudud), jinayat, dan ta’zir. Selain Khalifah dan wakilnya dilarang menjatuhkan sanksi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran,
Sikap Khalifah dan Umat Islam Terhadap Kemungkaran
Seorang Muslim, baik penguasa maupun rakyat, tidak diperkenankan toleran terhadap kekufuran dan kemaksiatan, apapun bentuknya. Kekufuran dan kemaksiatan harus dilenyapkan. Hanya saja, Islam tidak memaksa orang-orang kafir untuk masuk ke dalam agama Islam. Adapun seorang Muslim yang melakukan tindak kemaksiatan, maka ia akan mendapatkan sanksi sejalan dengan ketetapan syariah. Penjatuhan sanksi bagi pelanggar dengan potong tangan, perang, rajam, dan sebagainya, merupakan perkara lumrah yang diakui dalam perspektif Islam. Pengingkaran orang-orang kafir terhadap hukum-hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan jihad, hudud, jinayat, dan sebagainya tidak berarti sama sekali.
Perlakuan Khilafah atas orang-orang kafir dapat dirinci sebagai berikut;
a.     Mereka tidak dipaksa untuk meninggalkan agama dan keyakinannya. Mereka dibiarkan menyakini dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Khalifah tidak akan memaksa mereka untuk beribadah sesuai dengan peribadahan Islam seperti shalat, nikah, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
b.     Orang-orang kafir yang melakukan tindak pelanggaran seperti perzinaan, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan lain-lain, maka mereka akan mendapatkan sanksi sesuai dengan syariah Islam. Khalifah akan merajam orang kafir yang berzina, memotong tangan orang kafir yang melakukan pencurian, dan sebagainya. Khalifah bisa saja memenjara orang kafir yang melakukan kecurangan, penipuan, dan penggelapan. Dalam konteks seperti ini, mereka diperlakukan sama dengan orang Muslim.
c.     Terhadap kaum zindiq seperti orang menyebarkan ajaran sesat, mengaku dirinya nabi dan rasul, dan mempropagandakan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam—seperti menolak al-Quran dan as-Sunnah, mendewakan Sahabat, ataupun menolak ajaran-ajaran Islam yang qath’i—baik sebagian maupun keseluruhan—maka mereka akan diperangi jika pelakunya adalah orang Muslim. Sebab, mereka telah murtad dari agama Islam dan wajib diperangi. Selain itu, ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam melalui pemikiran-pemikiran yang sesat. Ini adalah perlakuan Khilafah terhadap orang zindiq yang pertama kali melakukan kezindiqan. Jika seseorang sejak kecil mengikuti keyakinan sesat yang diajarkan oleh kedua orangtuanya, maka orang tersebut tidak dianggap murtad dari agama Islam. Status orang tersebut adalah orang kafir, dan akan diperlakukan seperti orang-orang kafir lainnya. Ia tidak boleh diperangi dengan alasan murtad dari agama Islam. Pasalnya, ia sejak kecil telah memeluk keyakinan sesat tersebut sehingga tidak dianggap murtad dari agama Islam. Orang-orang seperti ini dianggap sebagai orang kafir dan diperlakukan sebagai orang kafir. Namun, jika ia mengaku-mengaku dan mempropagandakan dirinya sebagai orang Muslim, mereka dianggap zindiq, dan bisa dihukum mati jika tidak menghentikan perbuatannya. Orang seperti ini dianggap melakukan perbuatan memecah-belah kesatuan umat Islam, dan merusak kesucian akidah Islam.
d.     Khilafah Islam adalah negara yang menjalankan dakwah Islam. Meskipun ia mengakomodasi semua kemajemukan yang ada di wilayahnya, bukan berarti tidak melakukan aktivitas dakwah. Oleh karena itu, Khilafah tidak akan mengizinkan pembangunan tempat-tempat peribadahan non-Muslim, atau memasukkan ajaran-ajaran kufur ke dalam kurikulum pendidikan negara. Khilafah Islam juga tidak akan menyediakan guru-guru non-Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah resmi negara. Semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah, termasuk penyediaan tempat-tempat ibadah, Khilafah Islam tidak akan turut campur, atau memberikan dukungan dan bantuan. Pasalnya, seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam peribadahan orang kafir, termasuk membantu terlaksananya ibadah-ibadah orang kafir. Jika dilakukan, sama artinya telah menolong kekufuran. Tindakan ini dilakukan sebagai wujud dakwah Islam yang diselenggarakan oleh negara. Hanya saja, dalam kedudukannya sebagai warga negara Khilafah Islam, hak dan kewajiban mereka dijamin sepenuhnya oleh negara, tanpa ada pengecualian. Mereka berhak mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.
Demikianlah, Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan yang lebih adil dan toleran dalam batas-batas rasional dan syar’i. Ketentuan Islam menyangkut pluralitas tentu saja jauh unggul dibandingkan apa yang dipropagandakan kelompok plural-liberalis yang sejatinya adalah cecunguk-cecunguk kaum imperialis dan pelanggar HAM nomor wahid.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy; (Penulis adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia)]