+ResistNews Blog - Secara akal sehat tidak mungkin ongkos sebesar itu akan diambil dari kocek pribadi.
Tak ada satu pun calon presiden yang saat ini bermunculan di pentas politik nasional memiliki dana trilyunan. Dana mereka hanya milyaran saja. Ini bisa dilihat dari beberapa daftar kekayaan mereka yang diserahkan kepada negara.
Karena itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia Donny Tjahja Rimbawan meyakini tak ada satu pun pasangan capres-cawapres yang sanggup membiayai kampanyenya sendiri.
Bahkan, penghasilan seorang presiden pun tak sanggup untuk menutup ongkos sebesar itu. Sebagai contoh, penghasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono per tahunnya (data 2011) hanya sekitar Rp 1,1 milyar. Itu berarti dalam satu masa jabatan, penghasilan seorang presiden hanya sekitar Rp 5,5 milyar.
Maka, menurutnya, pasangan capres-cawapres itu berpotensi besar menerima ’dana siluman’ dari para konglomerat yang belum tentu ikhlas dalam membantu.
Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier pun sependapat. Menurutnya, secara akal sehat tidak mungkin ongkos sebesar itu akan diambil dari kocek pribadi. “Kalau sedang menjabat kemungkinan dia sudah mengumpulkan saat dia menjabat. Kalau pemain baru, akan ada sponsor untuk memodali dengan kesepakatan tertentu. Dan bisa juga dari asing biar negeri ini dijajah,” tandasnya.
Ketua Lajnah Siyasiyah/Politik HTI Yahya Abdurrahman mengatakan, pemilik modal memiliki andil besar di balik capres. “Perlu diperhatikan, tidak ada makan siang gratis. Jadi semua biaya itu ibarat investasi yang harus impas ditambah keuntungan,” tandasnya.
Kompensasi
Biaya politik yang besar itu menuntut kompensasi dan membawa konsekuensi. Kompensasi itu maksudnya adalah kompensasi kepada pemilik modal yang memberikan modal.
Menurut Yahya, Itu bisa terjadi minimal melalui dua hal. Pertama dengan memberikan proyek. Proyek diusulkan dan diatur supaya didapatkan oleh pemilik modal itu. Jika proyek itu besar sesuai UU harus melalui lelang tender, dan untuk memastikan biasanya lelang itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga tampak seolah transparan, tapi sebenarnya pemenang tender sudah diketahui sejak awal.
Cara kedua, lanjutnya, adalah dengan kebijakan dan peraturan yang menguntungkan pemilik modal. Menurut Direktur Pamong Institute Wahyudi Almaroky, seorang presiden tak akan bisa bergerak leluasa menjalankan tugasnya karena ada pihak lain yang harus dipertimbangkannya karena utang budi masa lalu saat kampanye. “Dia tersandera,” tandasnya.
Kompensasi itu, lanjutnya, akan lebih bahaya jika yang menyandera itu pihak asing yang masuk melalui para kapitalis yang jadi sponsor politik. “Ini bukan hanya menyebabkan kebijakan yang pro kapitalis bahkan bisa melahirkan kebijakan yang pro asing dengan menggadaikan harga diri bangsa bahkan mencekik rakyat sendiri,” jelasnya.
Contohnya, pemberian fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak dibayari negara, pembebasan bea, dan sebagainya. Atau dibentuk peraturan dan UU yang memberi jalan pemodal termasuk asing. Contoh, UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Pengadaan Tanah, UU Minerba dan sebagainya. Akibat dari hal itu, berbagai sumber daya dan kekayaan alam dikangkangi oleh swasta dan asing.
Konsekuensi
Sedangkan konsekuensi, maksudnya adalah bagaimana modal yang dikeluarkan itu bisa kembali disertai keuntungan. Konsekuensinya ada dua, korupsi dan penghasilan untuk pejabat makin besar. Ongkos politik sebesar Rp 3 trilyun atau Rp 3.000 milyar dapat ditutupi tiap bulan dengan pendapatan Rp 50 milyar. Tidak mungkin itu didapat secara resmi kecuali dengan korupsi.
Jalan lainnya adalah dengan meningkatkan penghasilan penguasa dan pejabat. Tunjangan, fasilitas, dll dibuat makin besar kendati gaji tetap kecil. “Para penguasa akhirnya tidak lagi berperan sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan,” kata Yahya.
Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik itu, lanjutnya, selain korupsi, adalah kolusi, manipulasi, dan sejenisnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan.
Modus
Mengalirnya dana dari pihak lain kepada capres, tim sukses, dan partai pengusungnya, selama ini tidak pernah transparan. Tidak ada yang tahu pasti. Semua dilakukan dengan sangat rapi sehingga tidak mungkin terlacak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencium, aliran dana ke partai tidak akan masuk langsung ke kas partai. Mereka akan mengunakan kasir-kasir, atau elite-elite di partai yang punya pengaruh besar. Ketika partai ingin membuat kegiatan mereka inilah yang mencari dana untuk partai. Uangnya dari konsolidasi dari kekuasaan yang mereka miliki di pemerintahan maupun di parlemen. “Pengalaman ICW pun melihat yang paling banyak menjadi kas partai adalah pengusaha-pengusaha,” kata peneliti ICW Ade Irawan.
Rapinya perjalanan uang ini, kata Ade, karena ada ancaman sanksi. Jika partai terbukti menerima aliran uang dari hasil korupsi, berdasarkan UU PPPU parti bisa dibubarkan. “Itu sebabnya aliran dana tidak masuk ke kas Partai. Tapi dipegang oleh orang-orang yang berperan penting tadi. Kasir-kasir yang bukan bendahara resmi partai,” jelasnya.
Mereka itu, lanjutnya, biasanya yang mempunyai peran besar di partai. “Banyak partai dikendalikan oleh yang memiliki uang,” jelasnya.
Walhasil, para cukong itu tetap aman meskipun mengendalikan sang presiden dengan uangnya.
Iklan Politik
Anda tentu sudah tak asing dengan orang-orang yang berambisi menjadi presiden. Setiap hari mereka nongol di layar kaca. Bukan sebagai berita, tapi sebagai iklan politik. Menjajakan diri.
Sudah jamak di era informasi saat ini, iklan televisi menjadi bagian yang menyedot dana paling besar dalam ongkos pencapresan. Banyak pihak menyebut alokasinya di atas 50 persen.
Seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta pernah meneliti hal itu pada 2009. Iklan di televisi swasta nasional saat itu yang ditayangkan pada jam-jam prime time di program unggulan, tarifnya antara Rp 6 juta – Rp 10 juta satu kali tayang durasi 30 detik. Ya, cuma 30 detik. Jika tayangan satu menit, berarti mencapai Rp 12 juta – Rp 20 juta rupiah.
Jika rata-rata biaya beriklan secara masif di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar. Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan seorang figur yang wajahnya selalu ada di jam-jam prime time, yang dalam sehari bisa muncul 5-10 kali.
Tentu tarif iklan televisi saat ini tidak sama dengan tahun 2009. Pasti lebih mahal. Maka tidak aneh jika butuh dana trilyunan untuk menggaet hati rakyat. Siapa yang untung? [hizbut-tahrir.or.id/ +ResistNews Blog ]