Ummul Mukminin, Aisyah ra., suatu saat
pernah mendapatkan hadiah berupa dua kantong harta berisi masing-masing
100 ribu dirham (total berarti 200 ribu dirham). Sebagaimana diketahui,
satu dirham syar’i hari ini setara kira-kira Rp 70 ribu rupiah.
Artinya, Aisyah ra. saat itu mendapatkan uang kira-kira Rp 14 miliar
(200 ribu x Rp 70 ribu). Mendapatkan uang sebanyak itu, Aisyah ra. tidak
lantas bergembira dan bersukacita, lalu menyimpannya atau
menghabiskannya untuk kepentingan dan kesenangan dirinya. Sesaat setelah
menerima hadiah uang itu, ia malah segera membagi-bagikan uang sebanyak
itu kepada fakir miskin. Hanya dalam tempo beberapa jam saja, sejak
pagi hingga sore, uang sebanyak Rp 14 miliar rupiah itu ludes
disedekahkan semuanya. Tak ada satu dirham pun tersisa bagi dirinya.
Padahal hari itu Aisyah ra. sedang berpuasa dan ia tidak tahu kalau hari
itu ia tidak memiliki makanan untuk berbuka kecuali amat sedikit. Saat
uang itu habis dibagikan menjelang magrib, Aisyah ra. berkata kepada
pembantunya, “Coba engkau bawakan makanan untuk saya berbuka.”
Tak lama, pembantunya segera membawakan sepotong roti kering dan sedikit minyak zaitun.
“Adakah makanan yang lebih baik daripada ini?” tanya Aisyah ra.
“Andai tadi engkau menyisakan satu dirham saja, tentu kita dapat membeli sekerat daging,” jawab pembantunya.
“Mengapa engkau baru mengatakan itu
sekarang? Andai saja tadi engkau meminta, tentu saya akan memberi kamu
satu dirham,” kata Aisyah ra. (Al-Kandahlawi, Fadha-il A’mal, hlm. 679).
Demikianlah. Sepeninggal Baginda
Rasulullah saw., dalam posisinya sebagai Ummul Mukminin, Aisyah ra.
sering mendapatkan hadiah seperti ini, di antaranya dari Muawiyyah ra.,
Abdullah bin Umar ra., Zubair ra. dan para Sahabat lainnya. Apalagi saat
itu kaum Muslim sering mendapatkan harta yang banyak (ghanimah)
karena seringnya mereka meraih kemenangan dalam sejumlah peperangan.
Walaupun banyak kaum Muslim saat itu yang memiliki banyak harta, dan
sebagiannya banyak dihadiahkan kepada Ummul Mukminin Aisyah ra., Aisyah
ra. tetap hidup sederhana.
Dalam kisah lain, sebagaimana dituturkan
oleh Urwah ra., Aisyah ra. pernah menyedekahkan harta sebanyak 70 ribu
dirham (kira-kira setara Rp 4,9 miliar), sementara saat itu beliau
mengenakan pakaian yang amat sederhana bahkan bertambal.
Pada saat lain, Aisyah ra. sedang
berpuasa. Selain sepotong roti, pada hari itu tak ada makanan di
rumahnya untuk berbuka. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki miskin. Ia
lalu meminta sedikit makanan kepada Aisyah ra. Aisyah ra. segera
memerintahkan pembantunya untuk memberikan sepotong roti itu kepada
lelaki miskin tersebut. Pembantunya berkata, “Jika kita memberikan roti
ini kepada orang itu, berarti kita tidak memiliki makanan untuk
berbuka.”
“Biar saja,” jawab Aisyah ra. “Berikan saja roti itu kepada dia,” tegasnya lagi (Al-Kandahlawi, Fadha-il A’mal, hlm. 679).
*****
Pembaca yang budiman, apa yang terlintas
di benak kita saat kita membaca kisah nyata di atas? Perasaan apa yang
ada dalam dada kita saat membaca kisah Aisyah ra.—juga kisah-kisah
keteladanan para Sahabat ataupun Shahabiyah yang serupa, yang sesungguhnya bertaburan dalam catatan sirah dan sejarah mereka? Saya akan mencoba menduga-duganya.
Pertama: Yang
ada pasti sikap takjub. Namun, sebatas itu. Setelah itu, kisah semacam
ini akan berlalu begitu saja dari benak dan hati kita tanpa ada pengaruh
sedikit pun ke dalam sikap dan tindakan kita. Infak kita tetap biasa
saja. Sedekah kita tetap seperti semula; hanya sisa-sisa dari
pengeluaran untuk memenuhi keperluan kita sehari-hari.
Kedua: Takjub,
tetapi kemudian juga segera berapologi dan membela diri. “Ya, memang
keimanan kita jauh sekali dengan para Sahabat Nabi saw. Rasa-rasanya
susah kita bisa mencontoh keteladanan mereka.” Barangkali begitu
komentar kita. Setelah itu, infak dan sedekah kita pun tak pernah
meningkat; biasa-bisa saja seperti semula meski mungkin penghasilan kita
terus bertambah. Sebabnya, kita sendiri sudah menegaskan: sulit
mencontoh para Sahabat Nabi saw.
Ketiga: Kita
takjub, lalu merenung. Namun, kita pun kemudian menimbang-nimbang saat
berinfak. Pada akhirnya, mungkin infak dan sedekah kita meningkat
sedikit dari sebelumnya karena kita masih bisa beralasan, “Ya, kalau
disedekahkah semuanya, gimana untuk memenuhi keperluan kita dan
keluarga kita?” Barangkali demikian komentar kita. Kebanyakan kita
masih belum yakin dengan rezeki sebagai ketetapan dari Allah SWT.
Kebanyakan kita pun masih belum yakin dengan balasan yang berlipat
ganda—di dunia dan akhirat—dari amalan sedekah dan infak di jalan Allah
SWT. Pada akhirnya, kisah-kisah tentang dahsyatnya infak dan sedekah
para Sahabat Nabi saw. tetap sesuatu yang kecil pengaruhnya untuk
menguatkan keyakinan sekaligus meledakkan semangat kita untuk melakukan
hal yang sama.
Keempat:
Takjub dan terharu sekaligus. Akal dan kesadaran kita segera tergugah.
Perasaan kita segera bangkit untuk juga melakukan apa yang telah banyak
dilakukan dan dicontohkan oleh para Sahabat Nabi saw. dalam hal infak
dan sedekah mereka. Tak berlama-lama, kita akan segera mengeluarkan
sebagian besar—bukan sebagian kecil—harta dan penghasilan kita untuk
infak di jalan Allah SWT dan sedekah bagi fakir miskin. Tak ada lagi
waktu untuk menimbang-nimbang. Tak ada masanya lagi untuk berpikir
ulang. Dasarnya hanyalah satu keyakinan: Rezeki tak akan berkurang
karena sedekah. Sebaliknya, sedekah pasti membawa berkah, selain akan
dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Pada akhirnya,
kita tak ragu lagi untuk menolong agama Allah SWT ini, juga untuk
berbagi dengan kaum dhuafa; tentu tanpa rasa takut jatuh miskin. Bahkan
hidup sederhana kini menjadi obsesi kita, sebagaimana yang telah secara
gamblang dicontohkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra. di atas, juga para
Sahabat Nabi saw. yang lain, termasuk tentu saja sebagaimana yang
dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. Menjadi kaya tak lagi menjadi
orientasi utama. Menumpuk-numpuk harta tak lagi menjadi obsesi di dalam
dada.
Dari keempat tipikal di atas, kita termasuk yang mana?
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [Arief B. Iskandar]