Bulan Desember
selalu menjadi momentum bagi para pegiat HAM untuk mengkampanyekan
perwujudan HAM atau Hak Asasi Manusia yang lebih baik. Tak terkecuali
bagi pengusung feminisme dan pegiat Jender. Kampanye 16 hari Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) adalah salah satunya, guna
mendorong dihapusnya segala bentuk pelanggaran HAM terhadap perempuan.
Berkaitan dengan perempuan, butir paling mendasar HAM adalah tiadanya
diskriminasi yang didefinisikan sebagai segala bentuk pembedaan dan
segala bentuk kekerasan berdasar jenis kelamin yang bisa mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat/penggunaan HAM dan kebebasan
di segala bidang.
Salah satu program prioritas yang
ditetapkan secara global adalah mengenyahkan semua bentuk aturan yang
bersumber dari agama dan moralitas. Di negeri-negeri Muslim, agama dan
moralitas yang dimaksud tak lain adalah Islam. Jadi, tidak sulit bagi
publik untuk memahami bahwa pendefinisian dan penetapan prioritas ini
sangat sarat ideologi sekularisme dan paham kebebasan.
Pandangan Miring Terhadap Islam
Sejauh ini Islam sebagai agama yang
memiliki seperangkat aturan untuk menata kehidupan dipandang mengekalkan
diskriminasi terhadap perempuan. Praktik pelaksanaan Islam yang tidak
seutuhnya dan kelemahan sebagian orang yang menjalani Islam dijadikan
alasan untuk menyokong stereotype di atas. Beberapa perda yang
disemangati keinginan melindungi perempuan dan diduga merujuk pada
sebagian syariah Islam dipandang harus dihapuskan. Beberapa di antaranya
yang sering disuarakan pengusung feminisme:
• Perda Busana Muslimah: pemaksaan atas tubuh perempuan melalui busana.
• Perda Jam Malam dan Prostitusi: pembatasan hak untuk bekerja dan memperoleh akses ekonomi.
• Aturan yang bersumber dari agama
menempatkan perempuan sebagai makhluk penggoda yang harus ditutupi
badannya dan tidak boleh keluar rumah pada malam hari.
• Sikap tegas terhadap aliran
sesat: diskriminasi soal hak beragama, hanya pendapat mayoritas saja
yang diutamakan, sementara minoritas dianggap sesat.
Padahal bila ada upaya untuk melihat
Islam secara utuh, mendalam dan tidak pejoratif (menghina), maka akan
tampak bahwa Islam telah mengangkat martabat dan kedudukan kaum
perempuan jauh lebih tinggi daripada yang disadari banyak orang saat
ini. Islam adalah satu-satunya konsep kehidupan yang telah mengangkat
kedudukan kaum perempuan dari jurang penindasan yang amat dalam menuju
sebuah kedudukan yang penuh kemuliaan dan kemerdekaan. Kedudukan
perempuan semacam ini bahkan belum pernah dapat diwujudkan oleh
peradaban ‘ modern’Barat seperti saat ini. Islam adalah
tuntunan ideologi yang menyelamatkan perempuan dari ketidakadilan dan
tirani, serta mengeluarkan mereka dari penelantaran dan kegelapan. Islam
membuka gerbang pengeta-huan, kemajuan, ketinggian, kemenangan dan
kebanggaan bagi perempuan di hadapan umat manusia. Islam menjadikan
perempuan sebagai ra-idah, pioneer, pelopor pada semua aspek kehidupan.
Namun, perlu disadari oleh semua pihak
bahwa derajat dan peran utama yang bisa dicapai perempuan akan tampak
nyata ketika Islam diterapkan total di bawah naungan Khilafah Islam.
Bila sebagian syariah Islam diterapkan dalam kondisi sosial politik
demokrasi-kebebasan sebagaimana saat ini, didukung oleh pemberlakuan
sistem ekonomi kapitalistik yang tidak memberikan keadilan maka akan
banyak celah untuk memojokkan; seolah-olah syariah Islam tidak memahami
dinamika masyarakat dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Bila
diberlakukan aturan jam malam, misalnya, maka yang terkena dampaknya
bukan hanya pelaku prostitusi, tetapi juga banyak perempuan bekerja yang
tuntutan kerjanya hingga larut malam. Apalagi sistem pendidikan saat
ini tidak berorientasi untuk membangun pribadi takwa, tetapi
menghasilkan generasi matre. Karena itu pemberlakuan syariat tentang pakaian akan dipandang menghambat kiprah dan akses ekonomi.
Suara Baru Perempuan
Menarik untuk mencermati hasil
penelitian Anne Francoise Guttinger DEA, seorang sosiolog Perancis yang
selama tiga tahun terakhir bergaul dan menghadiri berbagai agenda publik
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia. Anne Guttinger mengungkap bahwa hasil
penelitiannya yang berjudul “New Voice of Women in Indonesia”
telah merombak total pandangannya tentang Islam dan kedudukan perempuan
dalam Islam. Selama ini dia—sebagaimana masyarakat Prancis dan negara
Barat lainnya—tidak memiliki referensi lain tentang Islam, kecuali apa
yang terus disuguhkan oleh media Barat dan dikuatkan dengan
pernyataan-pernyataan para tokoh politiknya. Diskursus tentang perempuan
dan kiprahnya di tengah masyarakat hanya bersumber dari kaum feminis.
Yang ada di benak mereka, Islam adalah agama yang diskriminatif terhadap
perempuan. Ajaran-ajarannya membelenggu dan menghalangi kaum perempuan
untuk mendapatkan hak-haknya. Perempuan tidak bebas memilih pakaiannya,
tidak boleh menikah dengan sembarang lelaki yang dia inginkan, tidak
keluar rumah kecuali diizinkan suaminya dan harus terkungkung dengan
tugas kerumahtanggaan. Perbincangan politik dan pemerintahan hanya
dominasi kaum pria. Pendek kata, Islam banyak melakukan pelanggaran HAM
terhadap perempuan. Karena itu media Barat dan kaum feminis mengangkat
opini umum, bila perempuan memiliki kemandirian berpikir dan bersikap
tentulah mereka akan menolak penerapan syariah Islam.
Beberapa tahun berada di Indonesia,
Guttinger penasaran mengapa perempuan Muslimah yang aktif di Hizbut
Tahrir Indonesia justru bersikukuh harus ada penerapan syariah Islam
oleh negara? Bukankah dengan pemberlakuan aturan syariah tersebut makin
mengekalkan ‘pelanggaran HAM’ oleh negara atas nama menjalankan Islam?
Barangkali karena perempuan HTI sudah sedemikian kuat menjadi korban
sistem patriarki. Pada gilirannya, mereka tidak mampu menentukan sikap
dan suaranya sendiri. Namun, mengapa mereka juga begitu aktif berbicara
persoalan politik dalam agenda-agenda dakwahnya? Mereka mengajak kaum
perempuan memiliki kesadaran politik, tanpa meninggalkan peran
domestiknya sebagai umm[un] wa rabbatul bayt?
Dalam logika kaum feminis, apa yang
ditunjukkan oleh Muslimah HTI ini adalah anomali. Namun, Guttinger ingin
mendapatkan sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dia
menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris berbagai booklet yang
dikeluarkan Muslimah HTI. Dia menghadiri berbagai kegiatan Muslimah HTI
selain melakukan wawancara dengan beberapa aktifis Muslimah HTI. Kepada
penulis, dia mengaku menyediakan tiga jam setiap harinya untuk menelaah
literatur Islam yang direkomendasikan Muslimah HTI. Akhirnya, Guttinger
menyimpulkan seba-gaimana dia tulis dalam desertasinya, bahwa Islam sama
sekali tidak mengurangi hak, mendiskriminasi apalagi melanggar HAM kaum
perempuan. Sebaliknya, bila menelaah Islam secara obyektif dan utuh,
agama ini mendorong kaum perempuan memiliki kontribusi yang sama
strategis dengan kaum laki-laki. Islam menjadikan kaum perempuan
berkiprah di ruang publik bukan untuk mengejar kesetaraan dengan
laki-laki, karena sebagian hak dan tanggung jawab perempuan berbeda
dengan kaum laki-laki. Semua itu justru menciptakan harmoni yang
diharapkan dalam kehidupan. Apa yang dilakukan Muslimah HTI bisa
menunjukkannya. Berpakaian menutup aurat tanpa terhalangi
mengekspresikan ide, menyuarakan kebenaran, mampu berbicara politik,
mengkritik pemerintah, mencerdaskan masyarakat dan berjuang untuk
tegaknya syariah.
Penutup
Bila seorang intelektual yang hidup,
mengenyam pendidikan dan dibesarkan dengan segala daya dukung masyarakat
kapitalis Prancis bisa jujur mengungkapkan bahwa Islam memberikan
hak-hak perempuan sama pentingnya dengan tanggung jawab yang harus
diemban, maka setiap Muslim semestinya lebih yakin akan keunggulan Islam
dalam menjawab diskursus peran strategis perempuan di tengah arus deras
pemikiran feminisme. Kelemahan beberapa aturan yang diterapkan saat ini
yang dimaksudkan untuk melindungi perempuan harus dijawab dengan
menggambarkan kemampuan aturan Islam mengatasi persoalan terkait dan
upaya sungguh-sungguh untuk merealisasikan sistem Islam, Khilafah, bukan
malah membebek arus yang dirancang musuh-musuh Islam untuk menjauhkan
kaum Muslim dari pangkuan Islam.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Iffah Ainur Rochmah; Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia]