"Implikasi yang paling besar (jika tak segera dilimpahkan) adalah memalukan presiden, karena dianggap tidak mampu memegang kendali. Dan kedua, besar kemungkinan deadlock penanganan kasus simulator ini," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar, usai mengisi diskusi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/10/2012).
Menurutnya, sebetulnya tanpa pidato presiden, Undang-undang KPK sudah memungkinkan sebagai landasan agar Polri melimpahkan penanganan kasus simulator SIM ini kepada KPK. Maka soal teknis pelimpahan, sebetulnya jika ada inisiatif baik dari Polri untuk segera melimpahkan, tentu tak akan jadi kendala.
"Mekanisme teknis ya terpaksa memang harus dibuat, tetapi pasal 50 ayat 3 di UU KPK sebetulnya sangat memungkinkan digunakan sebagai landasan (untuk pelimpahan kasus ini). Secara artian ada landasannya, tinggal kemudian disiapkan teknisnya. Tapi orang tidak akan berdebat panjang soal teknis," ujarnya.
Ia menuturkan, yang dikhawatirkan berlarutnya dalam pelimpahan kasus ini jika Polri lagi-lagi kembali pada KUHP bukan UU KPK apalagi istruksi SBY yang disampaikan dalam pidatonya, Senin (8/10) lalu.
"Nah, yang kita khawatirkan kalau polisi melihatnya ke KUHP, emang berbeda aturannya. Sebenarnya ini instruksi yang jelas dari Presiden, tinggal pelaksanaannya. Lagi-lagi ini jika ingin menyelelesaikan problem bukan memperpanjang," tegasnya.
"Ini menjadi seperti saya sampaikan, Presiden selalu gagal mengimplementasikan pernyataannya," kritiknya.