Rakyat di negeri ini seolah tidak bisa bernafas lega. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak bisa ditawar lagi. Harga mati bagi pemerintah dengan berbagai dalih penyelamatan negara. Bahkan sikap aneh pemerintah yang ingin segera menerapkannya dengan berbagai alasan. Padahal kebijakan itu dijadwalkan 1 April 2012. Kebijakan ini seolah tidak melihat beban rakyat yang berat dan jumlah kemiskinan bertambah. Jika demikian, sebenarnya pemerintah pelayan rakyat atau selain rakyat ? Hal yang perlu dicermati dari kebijakan pemerintah-pembatasan subsidi BBM- adalah liberalisasi migas (minyak dan gas). Liberalisasi ini tidak berdiri sendiri. Ada asing, legalisasi UU, dan didukung Peraturan Presiden (perpres). Sehingga ini adalah sikap bunuh diri politik dan ekonomi. Ujung-ujungnya rakyat jadi korban dan pengabaian kewajiban pemerintah. Tulisan ini membahas dari sudut historis liberalisasi, kebijakan (sistem politik-ekonomi) dan dampaknya.
Historis Liberalisasi Migas
Sumber migas di Indonesia tidak membuat rakyat mandi minyak. Justru migas yang seharusnya menjadi sumber energi rakyat malah dijadikan komoditi dagangan. UU yang ada pun tidak malah mengamankan energi rakyat ini. Akibatnya, kebijakan yang dibuat sering menipu. Maka benar juga rakyat seperti ayam mati di lumbung padi.
Liberalisasi di Indonesia terjadi semenjak orde baru. Hal ini ditandai kedatangan investor asing yang mengeksplorasi Sumber Daya Alam (SDA). Liberalisasi juga dilakukan dalam pertambangan dan pengilangan minyak. Untuk mengamankan investasi di Indonesia, investor asing mengajukan beberapa persyaratan. Misalnya terkait dengan kebijakan yang dilegalisasikan dalam Undang-undang (UU).
Sistem demokrasi yang diemban negeri ini akhirnya banyak menjadikan UU tidak pro-rakyat. Semua disesuaikan dengan kebutuhan yang meminta (asing) dan asalkan menguntungkan pemerintah. Sebut saja UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal Asing, dan lainnya. Ini bentuk pengabaian.
Terkait dengan pembatasan BBM bersubsidi merupakan buah kebijakan dari UU Migas No. 22 tahun 2001. UU tersebut sebagai landasan hukum pembaharuan dan penataan kembali usaha migas. Mengingat UU Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.tidak relevan. Jika demikian UU Migas No. 22 tahun 2001 adalah pangkal liberalisasi migas. Kebijakan itu dikuatkan oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasioanl Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2005 Kementrian ESDM.
Kegagalan Kebijakan
Berikut beberapa kutipan isi UUMigas No. 22 tahun 2001:
“Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan(Pasal 2).
“Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta (Pasal 9).”
Jika pasal tersebut dianalisis maka negara hanya sebagai regulator. Investor asing yang dulu hanya di hulu (eksplorasi) kini bisa di hilir dengan membuka SPBU asing. Keberadaan negara sebagai pemilik dan pengelolah migas pun dikebiri. UU Migas juga menjadikan seluruh kegiatan usaha migas baik hulu maupun hilir semata berdasarkan pada mekanisme pasar. Selain pasal di ataas ternyata pasal-pasal lain akan menjadikan harga BBM sama dengan harga pasar dan sangat menguntungkan asing. Inilah bukti diadopsinya demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme.
UU Migas No. 22 tahun 2001 bukanlah inisiatif pemerintah. Ada asing di baliknya. Representasi asing saat ini diwakili oleh para pemilik modal (pengusaha multinasional), lembaga keuangan dunia (IMF, USAID, World Bank), dan Amerika Serikat sebagai negara kapitalisme. Ketundukan pemerintah kepada asing adalah bukti konkrit ketika mereka menaiki jabatan pemerintahan. Karena dibantu oleh pemilik modal dan cengkraman negara kapitalisme. Inilah benang kusut sistem politik dan cerminan “negara gagal”.
Berikut pengakuan beberapa pihak IMF, World Bank, dan USAID:
“(pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional).Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000):
“(Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja public, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).“Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001):
…(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan);
USAID telah membantu pembuatan draft UU MIgas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi);Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000).
(Pasang surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut.
(Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar] untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal)
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya pemerintah ini disetir oleh asing untuk mengeruk dan menguasai migas di Indonesia. Inilah bukti bahwa sumber migas dijual kepada asing dan rakyat mati di negeri sendiri.
Syahwat membatasi BBM bersubsidi sesungguhnya terpendam selama beberapa tahun yang lalu.Sebagaimana dalam (1) Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuaian harga BBM dengan harga internasional. (2) Road Map Pengurangan Subsidi BBM Kementerian ESDM: Konversi minyak ke gas dan pembatasan subsidi BBM.
Analisis mendalam ini membuktikan bahwa persoalan sesungguhnya di balik pembatasan BBM bersubsidi adalah kebijakan yang menyesatkan. Sudah menyesatkan, salah lagi. Jika ini terus dilanjutkan maka akan menimbulkan multi efek. Kehidupan sosial bertambah kacau, ekonomi bertambah berat, dan kepercayaan rakyat pada pemerintah akan turun. Akibat yang terbesar adalah rakyat akan menentukan hidupnya dengan caranya sendiri yang tidak akan diketahui siapa pun. Bisa jadi kekerasan, revolusi, dan kekejaman yang muncul dari sikap rakyat yang marah akibat kebijakan yang salah.
Sikap Ekonomi Liberal
Ekonomi suatu bangsa tidak berbeda dengan sistem politik yang ada. Begitu pula di Indonesia. Ekonomi yang diambil mengadopsi sistem kapitalisme yang saat ini menuju neo-liberal. Terkait kebijakan pembatasan BBM bersubsidi pemerintah ternyata lebih memilih harga pasar. Sesungguhnya harga pasar tidak terlepas dari para spekulan nakal yang mempermainkan harga. Menjadikan harga BBM mengikuti harga pasar sangat berbahaya karena menimbulkan ketidakpastian dan sangat memukul konsumen menengah ke bawah jika terjadi lonjakan drastis.
Sebagai contoh ketika harga BBM naik maka kebutuhan lainnya pun naik. Ini membuktikan bahwa BBM sebagai ruh roda perekonomian. Padahal pendapatan rakyat juga tidak bertambah. Maka benar pameo yang ada “gaji lokal harga global.”
Peninjauan sisi ekonomi menunjukan bahwa migas adalah sumber daya alam. Serta dapat dijadikan sebagai pemasukan utama kas negara. Hal ini yang seharusnya menjadikan Indonesia bermandikan minyak dan beroleh pendapatan yang besar. Jika pemanfaatan SDA bisa dioptimalkan, maka pemerintah tidak perlu menarik pajak.
Jika selama ini logika yang dijadikan alasan karena memberatkan subsidi pada APBN, maka salah besar. Faktanya pengeluaran justru besar untuk melunasi utang luar negeri. Tidak hanya subsidi BBM yang dihapus, tetapi juga subsidi untuk lainnya. Semisal subsidi pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Jika tidak menyubsidi rakyatnya, maka pemerintah sejatinya bukan pelayan rakyat. Padahal mereka dipilih rakyat.
Apabila Pemerintah tetap bersikukuh mencabut subsidi BBM, sesungguhnya hal itu tidak terlepas dari liberalisasi ekonomi yang merupakan agenda dari Washington Consensus. Ada empat hal yang menjadi agenda utama dari Washington Consensus, salah satunya adalah kebijakan anggaran ketat melalui penghapusan subsidi (Stiglitz, 2002). Tentunya dapat dengan mudah melihat sasaran dari penghapusan subsidi BBM ini, yaitu mempercepat berlakunya mekanisme pasar dalam penentuan harga minyak di Indonesia dan berada di luar kontrol Pemerintah. Bila hal ini terjadi, maka tidak ada lagi proteksi kebutuhan rakyat miskin dalam hal BBM, karena semuanya ditentukan pasar dan Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi.
Selama masih mengambil sistem ekonomi kapitalisme-liberal maka rakyat akan dijadikan tumbal dari kerakusan sistem itu. Sehingga butuh solusi fundamental dan berkeadilan.
Implikasi Kebijakan Salah
Belajar dari beberapa tahun lalu. Awal kenaikan BBM akan berefek domino. Kebijakan itu diikuti dengan kenaikan TDL, PDAM, dan lainnya. Hal ini yang akan menjadikan beban hidup rakyat bertambah berat. Terutama di kalangan ekonomi menegah ke bawah. Jika rencana kenaikan itu benar-benar terealisasi, maka peristiwa beberapa tahun lalu itu akan terjadi.
Apa pun opsi yang diambil pemerintah untuk menaikan harga BBM, tetap akan berpengaruh di seluruh Indonesia. Termasuk di Jawa Timur. Beberapa pihak mengungkapkan :
“Wiranto pada Musyawarah Kerja Daerah I Partai Hanura Jawa Timur, di hotel Bandung Permai Jember menyatakan : Apapun alasannya, kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat yang sengsara” (beritajatim.com, 25 Pebruari 2012)
“General Manajer Pertamina Pemasaran Region V (Jatim, Bali, Nusra), Afandi menyampaikan bahwa masih minimnya permintaan pasar karena perilaku masyarakat di Jatim belum siap memakai BBM non-subsidi” (antarajatim.com, 21 Pebruari 2012)
“Bupati Sumenep A Busyro Karim meminta Pemerintah Pusat mengevaluasi kenaikan harga BBM karena berimplikasi buruk pada rakyat banyak” (antarajatim.com, 24 Februari 2012)”.
“Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, Nela Octaviana, dan Deputi Pemimpin BI Jember Bidang Ekonomi Moneter, Dwi Suslamanto, menyatakan hal yang sama bahwa rencana pemerintah menaikkan harga BBM memicu tingginya inflasi yang berimplikasi naiknya bahan pokok di sejumlah daerah termasuk Jember” (antarajatim, 27 Pebruari 2012)
“Irfan Indrocahyo Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim mencatat angka inflasi di Jawa Timur lebih besar dari di Indonesia (0,05 persen) yakni sebesar 0,25 persen karena dipicu oleh kenaikan 7 kelompok tolak ukur seperti beras hingga daging. Maret akan terjadi inflasi mengingat semakin mencuatnya isu kenaikan BBM bersubsidi karena akan terjadi kepanikan pasar (beritajatim.com, 1 Maret 2012)
“Kenaikan harga BBM akan menyulitkan 500 kelompok nelayan usaha, kata ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan (FMKP) Oki Lukito (antarajatim.com, 24 Februari 2012)”.
“Wakil Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Mojokerto, Mahfud Kurniawan mengatakan bahwa Kenaikan Harga BBM akan meningkatkan warga miskin di Mojokerto lebih dari 200 ribu warga miskin (beritajatim.com, 3 Maret 2012)
Beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa apapun kebihakan yang diambil oleh pusat pasti berdampak untuk daerah. Apalagi di Jawa Timur terdapat pusat perekonomian. Seperti industri, sumber listrik, UKM, dan transportasi. Jawa Timur dapat dijadikan barometer perkembangan ekonomi setelah Jakarta.
Alternatif Solusi
Jika selama ini pemerintah berorientasi pasar, karena menerapkan sistem kapitalisme. Sehingga diperlukan solusi alternatif terkait pengaturan Sumber Daya Alam (SDA). Berbeda dengan kapitalisme yang memandang bahwa SDA bisa dinikmati segelintir orang. Islam memandang bahwa SDA (Energi/Minyak-Gas) adalah milik umat sehingga harus dikelola oleh negara dan seluas-luasnya hasilnya diberikan kembali kepada rakyat. Rakyat bisa menikmatinya dengan gratis atau harga murah.
Selama pemerintah masih menyerahkan pada para kapitalis internasional dan pasar, maka Indonesia bersiap kejatuhan dalam krisis energi. Selanjutnya asing akan semakin rakus untuk mengeruk kekayaan alam. Maka Indonesia akan menjadi negeri yang terjajah dan rakyatnya mati di negeri sendiri. Sungguh ironis.
Oleh karena itu, rakyat harus sadar dan menyelamatkan bangsa ini dengan sistem yang adil. Itulah syariah Islam yang berasal dari Sang Pencipta bumi dan seisinya yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Rasyidah ala minhajin Nubuwah. Wallahu’alam bis showab.[] hizbut-tahrir.or.id
Oleh Hanif (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jawa Timur)