Pengantar
Sejak
institusi negara Khilafah dihapuskan pada tanggal 28 Rajab 1342 H,
bertepatan dengan 3 Maret 1924, oleh Attaturk—seorang agen loyalis kaum
kafir najis, Inggris—negeri-negeri kaum Muslim yang terbentang luas dari
Maroko di tepi Atlantik hingga Merauke di Nusantara, benar-benar telah
kelihangan tâj al-furûdh (mahkota kekuasaan), yang menjamin pelaksanaan setiap kewajiban kaum Muslim serta pemersatu bangsa dan umat. Sejauh ini, tâj al-furûdh
(Khilafah) belum terwujud kembali. Maka dari itu, setiap negeri dari
negeri-negeri kaum Muslim wajib untuk membaiat seorang khalifah, dan
melaksanakan akad Khilafah. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah
negeri itu adalah negeri yang luas seperti Mesir, Turki, Indonesia atau
negeri yang kecil seperti Yordania, Tunisia, Libanon dan lainnya. Yang
penting negeri itu telah memenuhi syarat. Lalu apa syarat bagi negeri
yang di sana akan ditegakkan kembali Khilafah?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 29, yang berbunyi: “Daerah
atau negeri yang membaiat khalifah dengan baiat in’iqad disyaratkan
mempunyai kekuasaan independen, yang bersandar pada kekuasaan kaum
Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun; dan
keamanan kaum Muslim di daerah itu—baik di dalam maupun di luar
negeri—adalah dengan keamanan Islam saja, bukan dengan keamanan kufur.
Adapun baiat taat yang diambil dari kaum Muslim di negeri-negeri lain
tidak disyaratkan demikian.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 128).
Jadi, negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad)—setelah
tidak adanya satu pun di dunia ini, khususnya di negeri-negeri kaum
Muslim, daerah atau negeri yang merupakan negara Khilafah—sehinga Islam
bisa diterapkan secara kâffah, yakni sempurna dan menyeluruh (kâmil dan syâmil) harus memenuhi dua syarat utama: (1) kekuasaannya independen; (2) keamanannya di tangan Islam.
Kekuasaan Independen
Syarat pertama bagi negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad)
adalah kekuasaan daerah atau negeri itu haruslah independen. Artinya,
kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (otonomi penuh, sulthân[an] dzâtiy[an]),
yang hanya bersandar pada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak
bergantung pada negara kafir manapun, atau tidak di bawah pengaruh orang
(negara) kafir (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm. 25).
Dalil
bahwa kekuasaan daerah atau negeri itu harus independen adalah larangan
kaum kafir menguasai kaum Muslim, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin (QS An-Nisa’ [4] : 141).
Kekuasaan (as-sulthân) secara bahasa bermakna al-quwah (kekuatan), as-saytharah (dominasi) dan an-nufûd (pengaruh). Kalimat sallathahu ‘alayhi, artinya menguasakan atau memberikan otoritas kepada dia. Kalimat tasallatha ‘alayhi, artinya tahakkama (memerin-tah), tamakkana (memiliki kedudukan) dan saythara (mendominasi) (Anis, Al-Mu’jam al-Wasîth, hlm. 443).
Dengan
demikian apabila di suatu daerah atau negeri di antara negeri-negeri
kaum Muslim itu masih berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kaum
kafir, maka tidak layak di daerah atau negeri itu diangkat seorang
khalifah. Sebab, mengangkat khalifah itu tidak lain adalah untuk
menegakkan kekuasaan, sementara daerah atau negeri itu tidak memiliki
kekuasaan yang independen (otonomi penuh, sulthân[an] dzâtiy[an]), artinya kekuasaan di negeri itu masih merupakan kekuasaan kufur. Padahal Khilafah tidak akan tegak dengan kekuasaan kufur (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 127-128).
Keamanan Islam
Syarat kedua bagi negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad) adalah keamanan daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam. Kata al-amân (keamanan) artinya adalah al-hifzz (proteksi atau perlindungan). Misalnya, firman Allah SWT:
وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ
Demi kota ini yang aman (QS At-Tîn [95]: 3).
Kota di sini maksudnya adalah Makkah. Kata al-amîn bermakna al-amân (keamanan), yakni Allah memproteksi atau melindunginya dari dalam; atau kata al-amîn bermakna al-ma’mûn, yakni diproteksi atau dilindungi dari berbagai bencana (Az-Zamakhsyarai, Tafsir al-Kasysyâf, IV/268).
Jadi,
syarat bahwa keamanan daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan
Islam, bukan keamanan kufur, artinya bahwa perlindungan daerah atau
negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan
perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang
dipandang sebagai kekuatan Islam—saja (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm. 25).
Dalil bahwa keamanan negeri itu harus dengan keamanan Islam saja adalah dalil dârul kufur (negara kufur) dan Dârul Islam (Negara Islam). Sebab, mengangkat khalifah itu tidak lain adalah menjadikan sebuah negara menjadi Dârul Islam (negara Islam). Sebuah negara tidak akan menjadi Dârul Islam
(Negara Islam) hanya semata-mata menegakkan pemerintahan Islam,
melainkan keamanannya juga harus dengan keamanan Islam, bukan keamanan
kufur (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 129).
Apa itu Dârul Islam (Negara Islam)?
دَارُ
الإِسْلاَمِ هِيَ الدَّارُ الَّتِى تَجْرِى عَلَيْهَا أَحْكَامُ
الإِسْلاَمِ، وَ يَأْمَنُ مَنْ فِيْهَا بِأَمَانِ الْمُسْلِمِيْنَ سَوَاءٌ
أَكَانُوْا مُسْلِمِيْنَ أَمْ ذِمِّيِّيْنَ
Dârul
Islam (negara Islam) adalah negara yang padanya diterapkan hukum-hukum
Islam, dan keamanan orang (rakyat) yang ada di dalamnya dengan keamanan
kaum Muslim, baik mereka itu kaum Muslim maupun kafir dzimmi (Khallaf, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 71).
Dengan demikian untuk menilai apakah negara itu Negara Islam atau negara kufur, harus diperhatikan dua hal: Pertama: penerapan hukum Islam. Kedua: keamanannya dengan keamanan kaum Muslim, yakni dengan kekuasaan dan kekuatan kaum Muslim. Apabila kedua elemen ini sudah terpenuhi pada sebuah negara, maka negara itu merupakan Negara Islam (Haikal, Al-Jihâd wal Qitâl fi as-Siyâsah asy-Syar’iyah, I/666).
Itulah dua syarat utama bagi negeri yang akan melakukan akad Khilafah dan mengangkat seorang khalifah (baiat in’iqad).
Apabila kedua syarat ini telah terpenuhi oleh sebuah daerah atau
negeri, maka daerah atau negeri itu layak bagi tegaknya kembali
Khilafah. Sebaliknya, apabila syarat itu tidak ada, atau salah satunya
saja yang tidak ada, maka daerah atau negeri itu tidak layak bagi
tegaknya kembali Khilafah. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menolak
kekuasaan yang akan diberikan oleh kaum kafir Quraisy melalui utusannya
Utbah bin Rabi’ah.
Dalam
hal ini, Prof. Dr Muhammad Rawwas Qol’ahji mengemukakan analisis
politiknya terkait penolakan Rasulullah saw. tersebut serta menjawab
pernyataan seseorang yang mengatakan, “Muhammad diutus untuk
menyampaikan risalah dan mendirikan negara yang dapat menerapkan
ideologi risalah ini, serta mempercepat sampainya kepada
tujuan-tujuannya. Kalau begitu, mengapa ketika beliau ditawari kekuasaan
dan kepemimpinan oleh kaum Quraisy beliau tidak mau menerimanya?”
Jawabnya, poin politis terpenting terkait dengan tujuan penolakan Rasulullah saw. terhadap tawaran tersebut adalah: Pertama,
negara manapun tidak akan tegak di atas dukungan rakyat yang baru saja
dimulai, sebab tidak akan kokoh dan kuat negara yang hanya didirikan
oleh sekelompok orang. Mengingat dukungan ketika itu belum memenuhi
syarat untuk mendirikan negara yang diinginkan oleh Rasulullah saw, maka
beliu pun menolak tawaran tersebut.
Kedua,
negara membutuhkan aparat manusia yang benar-benar percaya dan ikhlas
dalam menjalankan tugasnya. Ketika kekuasaan itu ditawarkan kepada
Rasulullah saw, beliau belum menyiapkan aparat yang memadai yang mampu
memberikan kepuasan ketika ditugasi mengurusi administrasi dan hal-hal
yang terkait langsung dengan tugas-tugas negara. Sebab, tidak mungkin
suatu negara tegak dengan bantuan orang-orang yang sama sekali tidak
percaya, apalagi ikhlas dalam bertugas.
Ketiga,
negara yang tegak di tengah-tengah musuhnya akan benar-benar menjadi
negara yang tidak berdaya untuk memperluas kekuasaannya, selain berisiko
sekali, sebab mereka akan selalu memata-matainya. Untuk itu, selama
Rasulullah saw. masih belum mampu pada periode ini untuk memperluas
kekuasaannya di tengah-tengah kaum Quraisy, maka langkah terbaik bagi
beliau adalah menunda dulu berdirinya negara sampai beliau benar-benar
mampu.
Keempat,
negara yang diinginkan oleh Rasulullah saw. adalah negara yang beliau
bangun sendiri bersama generasi-generasi Islam, bukan negara ciptaan
musuh-musuh Islam. Kepemimpinan yang diinginkan beliau adalah
kepemimpinan yang diberikan oleh kaum Muslim, yang kaum Muslim
benar-benar berkuasa dengan kepemimpinan itu. Jadi, beliau tidak
menginginkan kepemimpinan yang dengan kepemimpinan itu justru beliau
hanya menjadi buruh (boneka) bagi musuh-musuh Allah, serta memusuhi
ideologi yang beliau embannya. Sebab, negara yang demikian ini tidak
mungkin mampu menjalankan kedaulatannya dengan sempurna, dan menjalankan
ideologinya sesuai yang diinginkan. Maka dari itu, demi semua itulah
Rasulullah saw. menolak kekuasaan yang ditawarkan kaum musyrik Quraisy
kepada beliau (Qol’ahji, Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw, hlm. 67-68).
Artinya,
penolakan Rasulullah saw. terhadap tawaran kekuasaan dari kaum Quraisy
ketika itu adalah karena tidak terpenuhinya syarat utama untuk
mendirikan Negara Islam, baik dari segi kekuasaan maupun keamanannya.
Baiat Taat Bagi Negeri-Negeri yang Lain
Apabila
suatu daerah atau negeri telah memenuhi syarat utama tersebut, maka
khilafah benar-benar telah terwujud dengan terlaksananya baiat oleh
penduduk negeri itu kepada Khalifah. Orang yang dibaiat dengan baiat in’iqad
sesuai dengan ketentuan syariah itu menjadi khalifah yang sah, dan
selanjutnya tidak boleh membaiat khalifah lain. Apabila ada negeri lain
yang membaiat khalifah lain setelah itu, maka baiatnya batal dan tidak
sah. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخَرَ مِنْهُمَا
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang lain (terakhir) dari keduanya (HR Muslim).
Jika Khilafah telah tegak di suatu negeri, dan khalifah telah terwujud, maka wajib bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk bergabung di bawah panji Khilafah dan membaiat khalifah tersebut sebagai baiat taat. Sebab, jika tidak, maka semuanya berdosa di sisi Allah SWT (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 26).
WalLâhu a’lam bish-shawâb.
Daftar Bacaan
Anis, Dr. Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasîth, (tanpa penerbit), tanpa tahun.
Haikal, Dr. Muhammad Khair, Al-Jihâd wal Qitâl fi as-Siyâsah asy-Syar’iyah (Beirut: Darul Bayariq), Cetakan II, 1996.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah) (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Khallaf, Abadul Wahab, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah), Cetakan V, 1993.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Rodhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamah Dawlah al-Khilafah al-Islamiyah, (Departemen Pendidikan Tinggi dan Kajian Keilmuan Universitas Islam Baghdad), 2006.
Qol’ahji, Prof. Dr. Muhammad Rawwas, Sirah Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw, (Bogor: Al Azhar Press) Cetakan V, 2011.
Az-Zamakhsyarai, Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Tafsir al-Kasysyâf, (Beirut: Darul Fikr), tanpa tahun.