-->

Benarkah Non-Muslim Tapi Adil, Masuk Syarat Kepemimpinan?

Pemimpin yang adil itu syarat utamanya harus beriman dan taat menjalankan ajaran agama
Oleh: Kholili Hasib
BELUM lama ini, isu tentang memilih pemimpin yang adil diperbincangkan di beberapa media Islam. Menyusul pernyataan Ketua PBNU, Dr Said Agil Siradj di beberapa media, yang menyatakan bahwa memilih pemimpin non-Muslim tapi adil itu lebih baik daripada memilih Muslim tapi tidak adil.
Marilah kita telaah secara jujur dalam pandangan dan prinsip agama Islam.Dalam Islam, adil itu adalah istiqamah dalam menjalankan syariat. al-Jurjani dalam al-Ta’rifat, bahwa ia bermakna menjauhi diri dari dosa-dosa besar; tidak selalu melakukan dosa-dosa kecil; perbuatan yang kebanyakannya benar; meninggalkan perbuatan-perbuatan murahan, seperti kencing dan makan di jalan. Bahkan secara syariat ia merupakan kondisi istiqamah pada yang benar (haq) dengan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci agama (syariat).
Kecuali dalam situasi peperangan. Mengutamakan panglima yang kuat daripada yang taat pada agama tapi fisiknya lemah, itu lebih baik. Karena, dalam peperangan yang dibutuhkan adalah kekuatan fisik panglima dan keahlian dalam strategi perang.
Lawan kata adil, seperti dijelaskan oleh Ahmad as-zawi, adalah  menyimpang atau dzalim. Menyimpang di sini adalah menyalahi ajaran agama. Para sahabat Nabi disebut adil, karena patuhnya mereka secara tulus terhadap ajaran Nabi. Pertanyaannya sekarang, apakan non-Muslim dapat dimasukkan dalam kategori ini? Berikut ini penulis jelaskan secara singkat.
Dalam Islam, kepemimpinan  merupakan salah satu elemen penting. Wajib hukumnya mengangkat satu orang 'amir (pemimpin) yang adil dalam suatu komunitas masyarakat, agar komunitas sosial tersebut mampu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebab penegakan keadilan tidak mungkin dicapai kecuali dengan kekuasaan/otoritas seorang pemimpin yang taat pada ajaran agamanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan, pentingnya mengangkat pemimpin yang adil disebabkan karena tanpa seorang pemimpin tidak akan tercipta ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dengan terealisasinya maslahah tersebut, selanjutnya masyarakat Islam akan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (al-falah fi al-dunya wal akhirah).
Oleh karena itu, kewajiban seorang penguasa  bukan hanya menjaga kebutuhan materi masyarakat, akan tetapi lebih dari itu, memelihara ketentraman sosial dan kebenaran menjalankan agama, agar selalu dalam susana kondusif. Ia melindungi jasmani rakyatnya, juga menguatkan ruhaninya agar sesuai dengan syari’ah.
Karena peran inilah, seorang pemimpin dalam perspektif Islam memegang posisi yang sangat menentukan masa depan rakyat yang dipimpin. Maka, dalam fiqh al-siyasah seorang pemimpin disebut khalifah al-nubuwwah – pengganti Nabi baik dalam urusan dunia, agama atau Negara. Maka sistem yang dipegang seorang pemimpin juga harus kuat. Perpaduan yang ideal antara sistem dan pemimpin akan membawa rakyat pada kehiudupan makmur dan berkualitas.
Dalam kaca mata Islam, kepemimpinan memiliki ciri khas tersendiri. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara, apalagi perkara besar seperti negara. Sebab tidak akan ada gunanya pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin pelaksanaan sistem tersebut. Dalam al-Siyasah al-Syar'iyah Ibnu Taimiyah memberi petunjuk, memilih pemimpin bukan atas dasar golongan dan hubungan kekerabatan. Akan tetapi masyarakat harus mengutamakan profesionalitas dan amanah. Cara yang dipakai pun mesti menggunakan mekanisme benar, jujur dan dapat dipertanggung jawabkan.
Syarat kredibilitas dan amanah seorang pemimpin oleh Imam Al-Ghazaliy dalam al-Tabru al-Masluk fi Nashihati al-Muluk dimaknai sebagai seorang yang berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Imam Al-Mawardi memberi persyaratan lebih lebih rinci. Dijelaskan, bahwa seorang pemimpin haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama, memiliki integritas, kedua, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, ketiga,  sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, kelima, pemberani memiliki keahlian siasat perang, keenam kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat, dan terakhir adalah berasal dari nasab qurays (al-ahkam al-sulthoniyah. hlm 5).
Beberapa Syarat Kepemimpinan dalam ISlam
Beberapa ulama' memberi kelengkapan syarat. Pertama, yaitu seorang pemimpin mesti mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti jujur, cerdas (memiliki pengaetahuan dan kecakapan dalam memimpin), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi baik dengan semua orang dari berbagai strata sosial, termasuk kepada para stafnya).
Ciri kepemimpinan Rasul ini menurut para ulama' harus dimiliki karena, seorang pemimpin dalam perspektif Islam berposisi sebagai Khalifah al-Nubuwwah.
Kedua, selain itu, potret kehidupan para khalifah terdahulu yang penuh kesadaran dan kesederhanaan menjadi kaca bagi para pemimpin saat ini. Khalifah 'Umar bin Khattab r.a misalnya, setiap malam beliau berkeliling kota Madinah untuk memastikan rakyatnya dalam kondisi aman dan terpenuhi kebutuhan makanannya.
Dalam dinasti 'Umayyah, sosok 'Umar bin 'Abdul Aziz, yang masyhur dengan julukan 'Umar ke-dua karena sifat dan karakternya mewarisi 'Umar bin Khattab r.a, terkenal dengan zuhud dan wara'nya. Padahal, kekhilafahannya pada saat itu mencapai zaman keemasan dan puncak kejayaan. Akan tetapi ia tidak larut  dan lalai menikmati kekayaan negaranya.
Kesederhanaannya itu dibuktikan dengan kesahajaan memegang harta. Harta pribadi dan keluarganya diserahkan seluruhnya ke Baitul Maal. Suatu hari salah satu kerabatnya memberi hadiah buah apel, namun beliau menolak secara halus – meskipun di hari itu ia betul-betul sangat menginginkan untuk mencicipi buah apel. Beliau menolak hadiah tersebut karena khawatir hal itu menjadi risywah (suap), padahal kerabat beliau tidak bermaksud memberi suap.
Secara umum dapat disimpulkan, sosok figur pemimin ideal menurut perspektif Islam adalah; calon pemimpin haruslah seorang Muslim yang konsisten menjalankan perintah agama (isiqamah) dan tidak tiranik/berbuat dzalim – sebagaiman disyaratkan oleh al-Ghazali. Syarat ini oleh Imam al-Mawardi disebut 'adalah.
Seorang kafir juga tidak sah menjadi kepala Negara, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nisa': 141. Jika pemimpin itu seorang Muslim yang istiqamah dan bertakwa, maka dalam menjalankan kepemimpinan ia pasti amanah.
Ketiga, persyaratan selanjutnya adalah merdeka, (bukan budak), karena seorang pemimpin tidak boleh di bawah bayang-bayang kekuasaan orang lain. Dalam konteks sekarang, tidak dalam interfensi bangsa lain apalagi menjadi boneka Negara lain. Karena, jika diinterfensi ia tidak bisa sepenuhnya menjalankan kebijakan sesuai aturan agama.
Jadi, syarat yang paling mendasar seorang pemimpin disebut adil adalah dilihat dari keimannya dan komitmennya menjalankan perintah agama.
Keempat, syarat lainnya adalah tafaqquh fi al-din (memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang baik), sebab menurut al-Mawardi, kepala Negara tidak hanya menguasai ilmu politik tapi juga harus menguasai agama layaknya ulama', dalam istilah lain seorang pemimpin Negara itu harus  "umara' sekaligus ulama'".
Kolaborasi negarawan dan agamawan merupakan keharusan untuk menciptakan suasan aman, damai, dan sejahtera serta berjalan dalam koridor agama. Jika pengetahuan agamanya belum memadai, maka ia harus memiliki penasihat keagamaan, atau wakilnya adalah yang mengerti agama dan taat menjalankan syariat.
Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam perspektif Islam tidak memisahkan secara dikotomis Negara-dan agama, umara dan ulama. Agama dan ulama memberi warna Negara karena pemimpin merupakan sebuah amanat yang diberikan kepada orang yang benar-benar ahli, berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik, menerima kritik membangun dan ditambah berkolaborasi dengan ulama'.
Pemimpin yang adil itu syarat utamanya harus beriman dan taat menjalankan ajaran agama. Di luar itu, tidak bisa disebut pemimpin yang ‘adalah (adil). Tanggung jawab tidak hanya kepada rakyat tetapi juga kepada Allah di akhirat.*
Penulis adalah alumni Program Kaderisasi Ulama’ ISID Gontor