Bagaimana
sebetulnya duduk persoalan yang sebenarnya? Betulkah pertumbuhan
ekonomi bisa menyelesaikan persoalan ekonomi? Mampukah, hanya dengan
konsep pertumbuhan, rakyat bisa disejahterakan oleh sistem ekonomi
Kapitalisme? Lalu bagaimana Islam memandang pertumbuhan ekonomi?
Bagaimana pula konsep Islam dalam mensejahterakan rakyat? Di mana pula
posisi negara dalam mensejahterakan rakyat? Itulah di antara persoalan
yang dijawab oleh Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz HM
Ismail Yusanto melalui wawancara dengan Redaksi di bawah ini.
Ustadz, salah satu isu ekonomi yang dianggap penting dalam Kapitalisme adalah isu pertumbuhan. Bagaimana Islam memandang isu ini?
Sesungguhnya
pertumbuhan bukanlah sebuah isu istimewa, karena persoalan pertumbuhan
dalam ekonomi adalah perkara biasa. Maksudnya, ketika ekonomi berjalan
normal, seiring dengan pertambahan penduduk, tentu kegiatan ekonomi juga
akan makin meningkat (tumbuh). Hanya saja, bagaimana isu pertumbuhan
itu dipandang, ini yang berbeda antara Islam dan Kapitalisme.
Dalam
sistem kapitalis, ekonomi suatu negara dikatakan tumbuh jika terjadi
peningkatan nilai total barang dan jasa yang diproduksi, termasuk jumlah
uang yang beredar di sektor non-riil. Tidak diperhatikan apakah
pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan
ekonomi rill seperti pengerjaan proyek pembangunan, jual-beli barang dan
jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil atau sektor keuangan seperti
perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dan lainnya yang cenderung
menghasilkan pertumbuhan semu. Paul Krugman, pemenang Hadiah Nobel tahun
2000, menyebut pertumbuhan semacam itu sebagai bubble economy (ekonomi balon) yang, sebagaimana terlihat secara faktual, cenderung tidak stabil.
Dalam Islam, sektor finansial tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pertumbuhan oleh karena sektor ini memang tidak ada. Pertumbuhan
ekonomi dalam sistem Islam, meski mungkin tidak sespektakuler dalam
sistem ekonomi kapitalis, adalah pertumbuhan yang nyata dan stabil
karena memang benar-benar berasal dari sektor kegiatan ekonomi yang
nyata.
Ketika sistem ekonomi Islam diterapkan, bagaimana Islam bisa menjamin pertumbuhan ekonomi itu?
Ekonomi
sebuah negara akan terus tumbuh bila syarat atau keadaan untuk tumbuh
dipenuhi, dan keadaan yang menghambat pertumbuhan dihilangkan. Dalam
Islam, pertumbuhan ekonomi didorong di antaranya dengan memastikan bahwa
uang terus beredar. Caranya, dengan melarang penimbunan emas (yang
berarti melarang penimbunan uang, karena uang dalam Islam adalah dinar
emas); melarang pembungaan uang (transaksi ribawi) dan judi (transasksi
spekulasi). Penimbunan emas (uang) akan menghambat laju putaran uang (velocity of money),
yang pada akhirnya akan mengurangi laju kegiatan ekonomi. Uang adalah
lokomotif penggerak kegiatan ekonomi. Karena itu, uang harus terus
beredar. Tidak boleh ditimbun dan tidak boleh diperlakukan secara salah
seperti dijadikan komoditas dengan ditarik bunganya dan
kegiatan lain (seperti judi dan kegiatan spekulasi) sedemikian sehingga
membuat uang hanya bertemu dengan uang, bukan dengan barang dan jasa.
Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam menutup sama sekali berkembangnya
sektor non-riil seperti yang dipraktikkan dalam sistem ekonomi
kapitalis saat ini.
Selain
itu, Islam juga mendorong orang untuk bekerja dan berusaha (berniaga).
Islam sangat memuliakan orang yang mau bekerja dan mencari nafkah. Nabi
saw. pernah mencium tangan kasar seorang sahabat karena bekerja keras.
Nabi saw. juga menyatakan bahwa dari perniagaan terbuka banyak pintu
rezeki. Di sisi lain, negara dalam Islam selain aktif sebagai pelaku
ekonomi, juga giat memberikan kemudahan dan fasilitas agar orang bisa
bekerja dan berniaga. Dengan cara itu, kegiatan ekonomi akan meningkat
sehingga ekonomi akan terus tumbuh.
Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak ada artinya jika perekonomian tidak stabil karena pertumbuhan itu bisa saja ambruk lagi. Bagaimana Ustadz melihat stabilitas perekonomian saat ini baik secara nasional maupun global?
Krisis
ekonomi yang saat ini tengah melanda negara-negara Eropa, juga yang
pada tahun 2008 melanda AS dan pada tahun 1997 menimpa Indonesia,
sesungguhnya bukan hal yang aneh. Pasalnya, keadaan ekonomi dalam sistem
kapitalis memang tidak pernah sungguh-sungguh stabil. Menurut Dr. Abdul
Muhsin Thahir Sulaiman dalam kitab ‘Ilaj al-Musykilah al-Iqtishadiyah bi al-Islam
(Menyelesaikan Problema Ekonomi dengan Islam) pertumbuhan ekonomi
kapitalis itu bersifat siklik. Maksudnya, ketika ekonomi dalam sistem
kapitalis tumbuh, ia tumbuh menuju puncak untuk kemudian jatuh. Mengapa? Karena pertumbuhan ekonomi yang ditopang
oleh sektor finansial (di Indonesia bahkan mencapai 80%) ternyata
sangat rawan gejolak, dan sangat berbahaya bagi keadaan ekonomi sebuah
negara secara keseluruhan. Ketika bubble (gelembung) itu
meledak, sektor moneter ambruk, maka ekonomi negara juga ambruk. Keadaan
semacam ini ternyata selalu berulang. Menurut kajian Ikatan Sarjana
Ekonomi Islam Indonesia (ISEII), selama 100 tahun terakhir di dunia terjadi 20 kali krisis.
Selain itu, dalam era globalisasi sekarang ini, ketika ekonomi telah terintegrasi secara global, maka krisis
di sebuah negara dampaknya juga akan menyebar secara global.
Sebaliknya, sebuah negara yang semula tampak sehat bisa tiba-tiba
limbung karena terkena dampak krisis ekonomi negara lain. Lihatlah,
bagaimana hancurnya sektor perbankan di Thailand yang terlalu agresif
membiayai sektor properti akhirnya memicu krisis di Indonesia pada 1997
lalu. Begitu juga krisis 2008 yang melanda AS dampaknya merambah hingga
ke Eropa dan Asia. Krisis yang saat ini tengah melanda Zona Euro pun
sudah mulai membawa dampak kepada AS, juga kawasan Asia seperti Jepang,
Cina dan Indonesia dengan menurunnya volume ekspor.
Lalu apakah sistem ekonomi Islam sendiri bisa menjamin kestabilan ekonomi?
Kita
harus yakin bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dalam sistem
Islam akan berjalan stabil. Pasalnya, semua keadaan yang membuat ekonomi
tidak stabil, yakni penggunaan uang kertas (fiat money) dan
praktik ekonomi ribawi dan spekulasi (judi) seperti bursa saham, bursa
komoditas berjangka dan lainnya, yang dilakukan dalam sistem ekonomi
kapitalis itu telah dihilangkan.
Penggunaan
mata uang dinar dan dirham akan membuat sistem ekonomi Islam tahan
terhadap inflasi dan gejolak nilai tukar uang karena ketika harga
barang-barang dan mata uang asing naik, harga emas juga ikut naik.
Artinya, gejolak itu tidak akan membawa efek berantai. Tidak seperti keadaan
ekonomi sekarang, termasuk Indonesia, yang masih menggunakan mata uang
kertas dan nilainya masih terikat dengan mata uang asing (biasanya US
dollar), keadaan moneter tidak pernah stabil.
Kalaupun dalam sistem ekonomi Islam terdapat sektor keuangan, sektor itu pasti berhubungan langsung dengan kegiatan sektor rill melalui akad-akad seperti mudharabah dan musyarakah (kerjasama usaha) atau murabahah (jual-beli) dan yang sejenisnya.
Lalu bagaimana sistem ekonomi Islam bisa menciptakan kesejahteraan ekonomi?
Untuk
mencapai kesejahteraan untuk seluruh rakyat, sistem ekonomi Islam
sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Dalam pandangan sistem
ekonomi Islam, buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah
yang membuat timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Dengan
garis kemiskinan yang dibuat oleh World Bank, 2 USD perorang perhari,
ada lebih dari 100 juta orang miskin di Indonesia. Pertanyaannya,
mengapa mereka menjadi miskin? Apakah tidak ada uang di tengah
masyarakat? Tentu saja ada, namun uang yang beredar lebih dari Rp 240
triliun itu tidak sampai kepada mereka. Untuk mendapatkan Rp 10.000
sehari saja banyak rakyat Indonesia yang kesusahan. Jadi, benarlah bahwa
akar masalahnya terletak pada buruknya distribusi. Ketika Uganda dan
Ethiopia dilanda kemiskinan, pada saat yang sama kedua negara itu
menjadi pengekspor sayur dan buah-buahan.
Ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang menyatakan bahwa problem ekonomi adalah kelangkaan (scarcity)
akibat, menurut mereka, tidak berimbangnya antara kebutuhan dan alat
pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya mereka fokus pada
aspek produksi dan pertumbuhan ekonomi. Soal distribusi, mereka
menyerahkannya pada mekanisme pasar. Karena itulah peran negara dalam
mendistribusikan kekayaan sangatlah terbatas. Akibatnya, kesenjangan
kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya menguasai sebagian
besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sedikit
sisa-sisa kekayaan.
Sebaliknya, dalam ekonomi Islam, distribusi
kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang
terdiri dari sekumpulan ketentuan syariah yang menjamin pemenuhan barang
dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri
dari mekanisme ekonomi (aktivitas ekonomi yang bersifat produktif) dan
mekanisme non-ekonomi (aktivitas non-produktif, misalnya dengan jalan
pemberian zakat, hibah, sedekah, dan lain-lainnya). Distribusi
non-ekonomi mencakup pula sejumlah larangan, antara lain
tindak korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang
ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya
atau pejabat saja.
Bagaimana Islam menjamin kesejahteraan merata secara adil sehingga bisa dinikmati oleh setiap individu rakyat, tidak sebagaimana dalam Kapitalisme?
Secara teoretis sistem Kapitalisme dengan Laizess Faire-nya
memberikan kebebasan pada individu dalam mengembangkan modal dan
meminimalkan peran negara. Jadi, peran swasta lebih dominan dalam
pengelolaan perekonomian. Dengan itu, diyakini bahwa kegiatan ekonomi
akan berkembang. Bila kegiatan ekonomi di tengah masyarakat berjalan
dengan baik, akan ada tangan yang tidak kelihatan (the Invisible Hand) yang akan mengatur distribusi kekayaan dengan sebaik-baiknya dimana resultante-nya adalah kemakmuran bersama. Pada kenyataannya, the Invisible Hand
itu tidak pernah benar-benar ada. Yang ada, yang kaya semakin kaya,
yang miskin semakin miskin. Akibatnya, terjadilah ketimpangan dan
ketidakadilan.
Ketidakadilan itulah yang sekarang ini terus diprotes oleh gerakan Occupy Wallstreet di AS dan menyebar ke negara kapitalis lain di seluruh dunia. Perhatikan, dalam protes itu selalu ada poster besar berbunyi, “Capitalism is not working”, “We are 99%”. Maksudnya, Kapitalisme itu nyatanya hanya berpihak pada orang kaya. Capitalism is simply of 1%, by 1%, for 1% (dari, oleh dan untuk 1%).
Dalam
Islam, keadaan seperti itu dijamin tidak bakal terjadi. Negara berperan
besar dalam distribusi kekayaan agar berjalan baik dan rakyat terpenuhi
kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah), baik kebutuhan dasar
individu (sandang, pangan dan papan), maupun kebutuhan dasar masyarakat
(keamanan, kesehatan dan pendidikan). Kebutuhan pokok individu dilakukan
dengan cara memastikan penerapan hukum nafkah (ahkam an-nafaqat).
Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah
negara berperan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Adapun
terkait kebutuhan dasar masyarakat, negara berperan secara langsung
dengan menyediakannya secara cuma-cuma.
Adakah bukti-bukti bahwa sistem Islam memang mensejahterakan?
Fakta
sejarah yang membentang selama lebih dari 1400 tahun adalah bukti nyata
kemampuan Islam untuk mensejahterakan rakyatnya, baik Muslim maupun
non-Muslim. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hanya 3 tiga
tahun (99-102 H/818-820 M) sebagaimana ditulis oleh Ibnu Abdil Hakam
dalam Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, kesejahteraan juga dirasakan oleh seluruh rakyat. Hal ini tergambar dari ucapan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, “Saat
hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar
bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu
berkecukupan.”
Dalam
hal pendidikan, Rasulullah saw. pernah menetapkan kebijakan terhadap
tawanan Perang Badar: tawanan bakal dibebaskan setelah mengajar baca
tulis 10 orang penduduk Madinah. Langkah itu diikuti oleh para khalifah
dan penguasa berikutnya. Di Baghdad dibangun Universitas
al-Mustanshiriyah. Khalifah Hakam bin Abdurraham an-Nashir juga
mendirikan Universitas Cordova yang saat itu menampung mahasiswa dari
penjuru dunia, termasuk dari Barat. Universitas-universitas itu telah
mencetak para ilmuwan yang pengaruhnya mendunia hingga kini.
Kemampuan Islam mensejahterakan rakyatnya diakui pula oleh penulis non-Muslim yang jujur. Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, menulis: Para
khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang
luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah
itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang
memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam
wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat
(dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka
menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera,
filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia
Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima
abad.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
