ResistNews, Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) mendesak Panglima TNI
Laksamana Agus Suhartono dan KSAU Marsekal Imam Safaat mengusut
kekerasan dan perampasan alat kerja jurnalis yang meliput insiden Fokker
27 yang jatuh di Halim Perdanakusumah. Oknum TNI itu harus diadili.
Desakan ini disampaikan AJI dalam rilis yang diterima detikcom, Sabtu (23/6/2012).
Aksi kekerasan dan perampasan alat kerja ini dialami oleh Kontributor Televisi Berita Satu, Urip Arpan, Jurnalis Kompas TV Dhika dan Fotografer Harian Kompas, Reza, saat akan mengambil gambar reruntuhan pesawat jenis Foker 27 yang jatuh di Komplek Perumahan Rajawali, Halim Perdanakusuma pada Kamis 21 Juni 2012.
Urip Arpan menceritakan peristiwa ini bermula saat ia hendak mengabadikan lokasi pesawat Fokker 27 milik TNI-AU yang jatuh di daerah Halim. Tiba-tiba leher Urip Arpan ditarik oleh oknum provost TNI AU.
Selain itu, kata dia, sang oknum TNI AU itu mengeluarkan kata-kata intimidasi.
"Saya ambil kameranya, apa kasetnya yang dikeluarkan," kata Urip Arpan menirukan ucapan si oknum TNI AU itu.
Urip Arpan menuruti perintah oknum TNI AU. Kaset miliknya akhirnya dirusak.
Tidak terima atas perlakuan itu, Urip Arpan melontarkan protes. Namun demikian, oknum TNI AU beralasan bahwa sesuai peraturan, insiden tersebut tidak boleh diliput.
Urip lalu berusaha mengambil gambar lewat kamera handphone. Lagi-lagi, ia dicegah oleh oknum TNI AU berpangkat mayor. Urip kemudian mengadukan kasusnya kepada pejabat penerangan TNI AU. Namun tidak ada tanggapan.
Peristiwa serupa juga dialami jurnalis Kompas TV Dhika dan fotografer Harian Kompas, Reza.
Menurut AJI, tindakan aparat TNI AU ini merupakan bentuk pelanggaran UU Pers No 40/1999 pasal 4 ayat (2) yang berbunyi terhadap pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.
Pelanggaran pasal ini diancam dengan hukuman penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta, seperti tercantum pada pasal 18 ayat (1) yang berbunyi:
(1)Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Sejak Januari hingga Juni, sedikitnya telah terjadi 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis terus berulang karena mereka tidak paham atas tugas penting yang diemban oleh jurnalis.
AJI Jakarta juga menuntut para pelaku itu diadili sesuai Undang-UndangNomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, demi mendorong kesadaran setiap warga Negara bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum.
Pada Kamis (21/6) detikcom sudah melakukan konfirmasi kepada Kadispen TNI AU, Marsekal Pertama Azman Yunus, soal insiden tersebut. Saat itu Azman menegaskan pihaknya masih melakukan pengecekan.
(aan/ndr)
Desakan ini disampaikan AJI dalam rilis yang diterima detikcom, Sabtu (23/6/2012).
Aksi kekerasan dan perampasan alat kerja ini dialami oleh Kontributor Televisi Berita Satu, Urip Arpan, Jurnalis Kompas TV Dhika dan Fotografer Harian Kompas, Reza, saat akan mengambil gambar reruntuhan pesawat jenis Foker 27 yang jatuh di Komplek Perumahan Rajawali, Halim Perdanakusuma pada Kamis 21 Juni 2012.
Urip Arpan menceritakan peristiwa ini bermula saat ia hendak mengabadikan lokasi pesawat Fokker 27 milik TNI-AU yang jatuh di daerah Halim. Tiba-tiba leher Urip Arpan ditarik oleh oknum provost TNI AU.
Selain itu, kata dia, sang oknum TNI AU itu mengeluarkan kata-kata intimidasi.
"Saya ambil kameranya, apa kasetnya yang dikeluarkan," kata Urip Arpan menirukan ucapan si oknum TNI AU itu.
Urip Arpan menuruti perintah oknum TNI AU. Kaset miliknya akhirnya dirusak.
Tidak terima atas perlakuan itu, Urip Arpan melontarkan protes. Namun demikian, oknum TNI AU beralasan bahwa sesuai peraturan, insiden tersebut tidak boleh diliput.
Urip lalu berusaha mengambil gambar lewat kamera handphone. Lagi-lagi, ia dicegah oleh oknum TNI AU berpangkat mayor. Urip kemudian mengadukan kasusnya kepada pejabat penerangan TNI AU. Namun tidak ada tanggapan.
Peristiwa serupa juga dialami jurnalis Kompas TV Dhika dan fotografer Harian Kompas, Reza.
Menurut AJI, tindakan aparat TNI AU ini merupakan bentuk pelanggaran UU Pers No 40/1999 pasal 4 ayat (2) yang berbunyi terhadap pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.
Pelanggaran pasal ini diancam dengan hukuman penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta, seperti tercantum pada pasal 18 ayat (1) yang berbunyi:
(1)Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Sejak Januari hingga Juni, sedikitnya telah terjadi 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis terus berulang karena mereka tidak paham atas tugas penting yang diemban oleh jurnalis.
AJI Jakarta juga menuntut para pelaku itu diadili sesuai Undang-UndangNomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, demi mendorong kesadaran setiap warga Negara bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum.
Pada Kamis (21/6) detikcom sudah melakukan konfirmasi kepada Kadispen TNI AU, Marsekal Pertama Azman Yunus, soal insiden tersebut. Saat itu Azman menegaskan pihaknya masih melakukan pengecekan.
(aan/ndr)