“Jadi memang kalau dipakai syariat Islam, insya Allah masalah korupsi dapat diselesaikan. Dalam syariat Islam ini korupsi termasuk hukum ta’zir, yaitu ta’zir itu hukumannya sesuai besaran korupsi, kalau kecil dapat kurungan, dihukum kerja paksa, atau hukum cambuk. Kalau besar dapat dihukum penjara yang cukup lama, tapi kalau terlalu besar bisa saja hukuman mati atau penjara seumur hidup di pulau terpencil” kata Ustadz Al Khaththath kepada arrahmah.com, seusai acara “Hukum Hudud dan Korupsi,” di Jakarta, Sabtu, (23/6).
Adapun sikap skeptis sebagian masyarakat yang menilai syari’at Islam tidak akan menyelesaikan persoalan korupsi, dengan menjadikan penerapan Syari’at Islam di Aceh sebagai contohnya yang dinilai hanya menghukum masyarakat bawah. Ustadz Khaththath menilai penerapan syari’at islam di Aceh memang belum bisa dijadikan ukuran, sebab belum diterapkan secara sempurna.
“Di Aceh itu kan hanya dua Qonun (Undang-Undang) saja, jadi tidak menyeluruh. Ya kalau tidak menyeluruh ibarat anda punya mobil BMW jika tidak ada ban yang tidak bisa jalan. Jadi, di Aceh kalau syari’at Islam hanya sebatas dua atau tiga qonun, ya gimana jadinya?” ucapnya.
Termasuk keraguan sebagian masyarakat dengan komitmen pemerintah dalam menerapkan sebuah hukum, menurutnya di dalam sistem Islam hal tersebut diselesaikan melalui mekanisme control sosial yang akan mengawal komitmen pemerintahan.
“ Kalau pemerintahnya tidak konsisten menjalankan syari’at atau mau melenceng, di Islam itu ada amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan, bisa diperangi jika pemerintahannya melakukan kufron bawwahan (kekafiran yang nyata),” tandas Ustadz Khaththath. (bilal/arrahmah.com)