"Pak Busyro bukan Ketua KPK pilihan koalisi karena ada beberapa anggota koalisi yang tidak memilih beliau, minimal kami," ujar anggota Komisi III DPR dari FPG, Nudirman Munir, dalam diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (26/11/2010).
Pernyataan ini adalah buah kekecewaan Golkar yang kalah melawan koalisi setelah ngotot agar pimpinan hingga ketua KPK dipilih secara voting. Partai Golkar juga memprotes ikutnya Bibit dan Chandra dalam pemilihan Ketua KPK.
Nudirman berharap partai koalisi memahami sikap Golkar. Sebab, setgab koalisi memang tidak diharuskan memiliki pandangan yang sama dalam berbagai hal.
"Jangan dibilang kami tidak punya komitmen. Ini persoalan penegakan hukum," imbuh Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR yang tengah diproses di BK DPR karena pelesiran ke Turki ini.
Nudirman menuturkan, partainya meragukan keberanian Busyro mengusut kasus korupsi. Namun, dia masih menyimpan harapan agar pimpinan KPK yang lain dapat mendorong penuntasan kasus korupsi.
"Kalau kita sudah tidak punya harapan gimana, semoga bisa menuntaskan kasus rekening gendut," harap Nudirman.
Sebelumnya, Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi terpecah saat pemilihan pimpinan KPK. Terjadi perdebatan panjang antara anggota Setgab koalisi, PD, Golkar, dan PKS.
Perdebatan panjang di rangkaian pemilihan pimpinan KPK tersebut bermula saat Golkar, PKS, dan PD terlebih dahulu berbeda pendapat dalam rapat Setgab. Golkar dan PKS belum sepakat dengan dorongan PD yang lebih mendukung Busyro Muqoddas (BM) untuk menjadi pimpinan sekaligus ketua KPK daripada Bambang Widjojanto (BW).
"Soal Golkar-PKS, memang pada saat rapat setgab 8 November lalu sudah terjadi perbedaan diametral antara ketua harian setgab yang juga Ketum Golkar dengan Sekretaris setgab dari FPD, Syarif Hasan," ujar Wasekjen PPP, M Romahurmuzy.
Perdebatan pendapat ini kemudian berkepanjangan. Akhirnya perpecahan setgab koalisi nampak sekali dalam proses pemilihan pimpinan KPK. Golkar dan PKS berulangkali ngotot agar dilakukan voting dalam setiap tahap baik pemilihan pimpinan maupun ketika mengerucut pada pemilihan ketua KPK.
"Karenanya, pada saat itu memang tidak bisa dicapai kesepakatan tunggal dan kesepakatan ditunda sampai pemilihan Ketua KPK. Ternyata sampai H-1 kesepakatan itu tidak bisa juga tercapai, maka dipilihlah voting," beber Romi
Sementara itu, Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan Antasari Azhar.
Sejumlah pihak menilai karakter mantan dosen itu kurang 'garang' untuk memimpin komisi antikorupsi. Bagaimana tanggapan Busyro?
"Tidak apa-apa saya dikatakan lembut. Nggak ada masalah," kata Busyro di Gedung Komisi Yudisial.
"Tidak ada korelasi penampilan yang low profile dengan sebuah sikap yang tegas."
Yang jelas, baginya tak ada kompromi untuk koruptor. "Koruptor kompromis apa tidak dengan rakyat? Dia vampir, kan menghisap lehernya rakyat," tegas Busyro.
Kata Busyro, tak perlu ia mengubah karakternya itu. "Kayak bawa topeng saja. Ya begini aja," tambah dia.
Sebelumnya, Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho berpendapat, Busyro harus mengubah gaya kepemimpinannya. Ia harus bekerja cepat di waktu yang mepet, hanya setahun.
"Ubah gaya dari gelandang ke striker [penyerang]," tambah Emerson.
Sementara, Zainal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Anti-korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada berpendapat, kepemimpinan Busyro di KY dipengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi yang membatasi kewenangan KY.
MK memutuskan bahwa KY tidak dapat lagi memeriksa hakim dari tingkat pertama hingga hakim agung. Tugas KY pun hanya untuk menjaga nilai luhur hakim, dan juga hanya menyeleksi calon hakim agung.
Namun, toh Busyro tetap melakukan banyak hal. "Ia masih melakukan tugasnya di tengah keterbatasan, hakim digedor, dihajar, tapi ia terkendala. Sementara di KPK seharusnya ia bisa berbuat banyak, karena KPK sudah lengkap," tambah dia.
Apa saja yang sudah dilakukan Busyro di KY?
KY di kepemimpinan Busyro pernah membuat kontroversi ketika mengusulkan wacana kocok ulang hakim agung.
"Dalam rangka proses pembaruan atau reformasi di peradilan perlu seleksi ulang terhadap hakim agung yang jumlahnya 49 orang. Seleksi ini tentu harus didasarkan kepada kriteria yang jelas, transparan, serta akuntabel," kata Busyro saat itu.
Dalam rangka membersihkan KY juga pernah berencana memeriksa 13 hakim agung, termasuk Ketua Mahmakah Agung saat itu, Bagir Manan. Laporan ini berujung gugatan dan pelaporan terhadap KY ke kepolisian.
Cobaan berat juga dialami KY masa kepemimpinan Busyro. Nama lembaganya sempat tercoreng saat salah satu komisioner, Irawady Joenoes tertangkap tangan oleh KPK saat menerima uang balas jasa dalam menyukseskan penjualan tanah milik Freddy Santoso di Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat -- di mana gedung KY berdiri saat ini. (fn/dt/vs) www.suaramedia.com