Namun di salah satu sisi Jerman, pemantauan besar-besaran dilakukan terhadap Masjid dan café-café Muslim bukan hanya sekedar menyulut perdebatan masyarakat. Ini adalah kebijakan dari kepolisian selama bertahun-tahun, dan terus menyulut kegeraman komunitas Muslim yang menolak tindakan terorisme merupakan bagian dari agama mereka.
Di Lower Saxony, sebuah negara bagian di barat laut Jerman, umat Muslim yang menghadiri sholat Jumat tak dapat memasuki Masjid tanpa pemeriksaan ketat polisi. Siapa saja yang masuk maupun keluar Masjid harus menunjukkan tanda pengenal mereka. Tak jarang pula anggota kepolisian menggeledah barang bawaan mereka, memberi pertanyaan-pertanyaan, atau menyeret mereka yang tidak menunjukkan pengenal ke pos polisi. Bahkan di salah satu kota, kepolisian memberikan stempel kepada Muslim setelah selesai diperiksa.
Dengan motif pemeriksaan yang tidak jelas, kepolisian tidak melakukan pemeriksaan spesifik mengenai sesesorang, namun umat Muslim secara keseluruhan.
Beberapa orang dituding melakukan tindakan mencurigakan sehingga harus dibawa ke kantor polisi.
“Kepolisian mengatakan mereka berusaha melindungi kami dari para teroris,” kata Avni Altiner, ketua badan Organisasi Muslim. “Namun pada kenyataannya kami tak merasa terlindungi. Mereka bahkan membuat kami merasa bahwa kamilah teroris yang mereka maksud.”
Umat Muslim marah akan pemeriksaan ilegal yang dilakukan pada Agustus tahun lalu, sehingga membawa masalah tersebut semakin meluas hingga tercium media. Lalu pada Desember 2009, Partai Hijau mengajukan proposal kepada parlemen agar melegalkan pemeriksaan tersebut.
“Umat Muslim telah kami tempatkan dalam kecurigaan umum di sini,” kata perwakilan Partai Hijau, Filiz Polat, salah satu tokoh utama pendukung proposal itu. Polat juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang menentang bahwa pemeriksaan itu merupakan tindakan diskriminasi terhadap agama, merusak usaha para Muslim untuk membaur dengan masyarakat Jerman karena adanya kecurigaan radikalisasi dalam kalangan Muslim, meski tanpa bukti maupun informasi.
Dalam enam bulan pelaksanaan proposal yang diajukan Partai Hijau, mereka hanya menahan orang-orang dengan visa kadaluarsa dan pelanggaran lalu lintas, namun tak ada satupun yang berhubungan dengan terorisme.
Desember lalu, sebuah pelatihan untuk para imam di Jerman diharapkan mampu membantu komunitas Muslim membaur dengan masyarakat luas.
Lima belas imam memulai kursus minggu ini sebagai bagian dari “Imam untuk Integrasi”, sebuah program berdurasi empat bulan yang didesain untuk membuat mereka fasih dalam bahasa dan budaya Jerman.
Kebanyakan imam Jerman tumbuh dan menerima pelatihan agama di luar Jerman, seringkali di Turki. Kantor urusan agama Turki secara reguler mengirim ahli teologi ke lebih dari 800 Masjid yang berafiliasi dengan DITIB (Diyanet Işleri Türk-Islam Birliği, organisasi Islam terbesar di Jerman) , namun hanya beberapa yang dilengkapi dengan keahlian berbahasa Jerman.
“Imam untuk Integrasi” adalah sebuah inisiatif bersama yang diorganisir oleh Institut Goethe, Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF), serta Asosiasi Jamaah Muslim Turki di Jerman, DITIB.
“Imam dapat memainkan sebuah peran yang penting dan mendukung integrasi, sebagai pembangun jembatan dan mediator di antara pendatang dan masyarakat mayoritas,” ujar presiden kantor migrasi Albert Schmid. (al/ie/sm) www.suaramedia.com