Kinshasa (ANTARA News/AFP) - Serangan militer yang didukung-PBB di Republik Demokratik Kongo telah menyebabkan lebih dari 1.000 warga sipil terbunuh tahun ini oleh tentara dan pemberontak Kongo, Human Rights Watch melaporkan.
Kelompok yang bermarkas di di New York itu menyatakan sedikitnya 1.400 warga sipil tewas dari Januari hingga September dan minta PBB bertindak untuk membendung pertumpahan darah itu.
"Tentara militer Kongo dan petempur pemberontak FDLR telah menyerang warga sipil, menuduh mereka menjadi kolaborator, dan menghukum mereka dengan banyak cincangan hingga tewas dengan parang," kata laporan yang dikeluarkan Senin.
Kedua belah pihak juga menembak warga sipil ketika mereka berusaha untuk melarikan diri atau membakar mereka di rumah mereka. Sebagian besar korban adalah perempuan, anak-anak dan orang tua, kata HRW.
Laporan itu, yang disebut "Anda Akan Dihukum: Serangan terhadap Warga Sipil di Kongo Timur", mengatakan penyiksaan dilakukan dalam operasi oleh militer DRC (FARDC) terhadap pemberontak Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR), milisi Hutu yang mengambil bagian dalam pembasmian etnik di Rwanda 1994.
Misi Penjaga Perdamaian PBB, MONUC, membantu serangan anti-pemberontak sejak Maret.
Laporan 183 halaman itu menyebut bukti dari 600 korban, saksi dan anggota keluarga korban.
HRW mndesak PBB untuk membentuk "kelompok pakar perlindungan warga sipil" guna melengkapi tindakan untuk membantu usaha perlindungan orang di bagian timur negara itu yang dirusak-konflik, tempat pemerkosaan juga biasa dan dilakukan oleh semua pihak yang berkonflik.
"Dalam sembilan bulan pertama 2009, PBB mencatat 7.500 lebih kasus kekerasan seksual terhadap wanita dan anak perempuan di North Kivu dan South Kivu di Kongo timur, hampir melebihi jumlah yang tercatat dalam sepanjang tahun itu, dan mungkin mewakili hanya sedikit dari semuanya," kata laporan tersebut.
Anneke Van Woudenberg, periset senior HRW, menyatakan Dewan Keamanan PBB memerlukan pendekatan baru untuk melindungi warga sipil di Kongo timur.
Van Woudenberg menyebutkan bahwa meskipun ada ekspresi kebencian oleh PBB, "pemerkosaan meningkat -- tidak menurun" di wilayah itu.
"Dewan Keamanan sebaiknya mengirim sekelompok pakar ke Kongo untuk memulai rencana perlindungan warga sipil yang serius," tegasnya.(*)
Kelompok yang bermarkas di di New York itu menyatakan sedikitnya 1.400 warga sipil tewas dari Januari hingga September dan minta PBB bertindak untuk membendung pertumpahan darah itu.
"Tentara militer Kongo dan petempur pemberontak FDLR telah menyerang warga sipil, menuduh mereka menjadi kolaborator, dan menghukum mereka dengan banyak cincangan hingga tewas dengan parang," kata laporan yang dikeluarkan Senin.
Kedua belah pihak juga menembak warga sipil ketika mereka berusaha untuk melarikan diri atau membakar mereka di rumah mereka. Sebagian besar korban adalah perempuan, anak-anak dan orang tua, kata HRW.
Laporan itu, yang disebut "Anda Akan Dihukum: Serangan terhadap Warga Sipil di Kongo Timur", mengatakan penyiksaan dilakukan dalam operasi oleh militer DRC (FARDC) terhadap pemberontak Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR), milisi Hutu yang mengambil bagian dalam pembasmian etnik di Rwanda 1994.
Misi Penjaga Perdamaian PBB, MONUC, membantu serangan anti-pemberontak sejak Maret.
Laporan 183 halaman itu menyebut bukti dari 600 korban, saksi dan anggota keluarga korban.
HRW mndesak PBB untuk membentuk "kelompok pakar perlindungan warga sipil" guna melengkapi tindakan untuk membantu usaha perlindungan orang di bagian timur negara itu yang dirusak-konflik, tempat pemerkosaan juga biasa dan dilakukan oleh semua pihak yang berkonflik.
"Dalam sembilan bulan pertama 2009, PBB mencatat 7.500 lebih kasus kekerasan seksual terhadap wanita dan anak perempuan di North Kivu dan South Kivu di Kongo timur, hampir melebihi jumlah yang tercatat dalam sepanjang tahun itu, dan mungkin mewakili hanya sedikit dari semuanya," kata laporan tersebut.
Anneke Van Woudenberg, periset senior HRW, menyatakan Dewan Keamanan PBB memerlukan pendekatan baru untuk melindungi warga sipil di Kongo timur.
Van Woudenberg menyebutkan bahwa meskipun ada ekspresi kebencian oleh PBB, "pemerkosaan meningkat -- tidak menurun" di wilayah itu.
"Dewan Keamanan sebaiknya mengirim sekelompok pakar ke Kongo untuk memulai rencana perlindungan warga sipil yang serius," tegasnya.(*)