Oleh: Henri Shalahuddin
Peneliti senior INSISTS, doktor bidang Pemikiran Islam dari Universiti Malaya Kuala Lumpur
Ndeso!
Kata yang identik melekat pada diri seorang komedian, Tukul Arwana, mendadak fenomenal kembali setelah diucapkan oleh anak orang nomor satu di NKRI.
Sikap masyarakat pun pro-kontra, karena di samping diucapkan oleh anak presiden, kata tersebut dilontarkan untuk konteks yang berbeda. Jelas, ada yang membela, ada yang mencela. Yang membelanya beropini pada tampilannya yang apa adanya, sederhana dan umumnya anak muda yang bebas berekspresi. Tidak aji mumpung, meskipun dia anak presiden, tapi tidak minta-minta proyek ke bapaknya. Demikian kata sebagian mereka yang pro dan membelanya.
Bagi yang mencelanya berpandangan, anak presiden kok gitu! simplistik banget; kurang ningrat; tidak menjaga wibawa bapaknya; mengkampanyekan kontroversi; cenderung berpihak kedalam masalah yang sudah diputuskan oleh pengadilan; memberi stigma sosial & stereotype bagi sekelompok masyarakat yang berseberangan pandangan/keyakinan, dll. Bahkan ada yang mempolisikannya segala.
Saya tidak hendak menceburkan diri kedalam golongan yang pro maupun kontra. Karena saya yakin yang bersangkutan masih sangat belia, masih dalam menapaki pembelajaran hidup, termasuk belajar mengekspresikan apa yang patut dan yang tidak patut sebagai pemuda muslim, anak bangsa, terlebih sebagai anak penguasa. Agama menganjurkan agar yang tua menyayangi yang lebih muda, dan yang muda menghormati yang lebih tua. Termasuk dalam hal nasehat. Jangan sampai nasehat kebenaran tidak diiringi dengan kesabaran dan kasih sayang. Wa tawashau bil haq, wa tawashau bishshobr. Begitu Firman Dzat Yang Maha Benar.
Berkaca dari sejarah
Adalah Abdul Malik, salah satu anak khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. Dikisahkan ketika sang ayah, Umar bin Abdul Aziz baru menjabat sebagai Amirul Mukminin sedang kelelahan setelah mengubur kerabatnya, Khalifah Sulaiman. Kondisi yang capek ini membuat khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin beristirahat sejenak. Lalu anaknya, Abdul Malik, datang dan berkata:
“Wahai ayahku, tidakkah engkau ingin menyelesaikan hak-hak rakyat yang belum engkau selesaikan? Tidakkah engkau ingin menyelesaikan perkara orang-orang yang dizalimi, orang-orang yang diambil haknya yang belum engkau selesaikan?
Lalu sang khalifah menjawab: “Wahai anakku, biarlah aku istirahat sejenak, nanti sehabis zuhur aku akan selesaikan semua perkara itu”.
Si anak pun berkata: “Wahai ayahku! Adakah jaminan bahwa setelah zuhur nanti Allah masih menghidupkanmu? Adakah jaminan bahwa setelah zuhur engkau masih bisa bernafas?
Umar bin Abdul Aziz kemudian mencium kening anaknya dan berkata: “Wahai anakku, engkau adalah laki-laki yang baik! Demi Allah! Aku tidak tahu apakah aku masih bisa bangun dan bernafas setelah zuhur nanti. Lalu ia bangkit dan menunaikan tugasnya sebagai khalifah meskipun dalam keadaan yang sangat letih.
Nasehat anak penguasa untuk bapaknya
Wahai ayahku, tegakkanlah kebenaran walau sesaat dari waktu siang! (ya abi, aqim al-haqq walau sa’atan min nahar)
Apakah engkau yakin bahwa kematian tidak menghampirimu, sementara rakyatmu menunggumu, dan engkau jauh dari mereka? Lalu ia [khalifah] segera bangkit dari kondisinya [istirahat sejenak] dan keluar bertugas untuk hajat rakyatnya. (awa aminta al-maut an ya’tiyaka wa ra’iyyatuka yantazhirunaka wa anta muhtajabun ‘anhum? Fa qoma min sa’atihi wa kharaja ilannas)
Demikianlah sekelumit kisah tentang keluarga yang dianugerahi kekuasaan tetapi dibalut dengan sikap zuhud. Zuhud adalah orang yang memiliki harta dan kuasa, tapi tidak menjadi tawanannya. Inilah beda antara zuhud dan miskin. Maka bukanlah sikap zuhud yang sempurna jika orang belum mempunyai, lalu menjauhi dunia dengan menyibukkan diri sembahyang di kuil. Berzuhud di usia senja mungkin saja, tetapi di kala belia jarang terjadi.
Bangsa Indonesia tengah menanti karakter anak-anak penguasa yang saleh dan zahid, sebagaimana kita semua pun menanti pertumbuhan anak-anak kita yang saleh dan berani mengingatkan khilaf dan salah orang tuanya dengan penuh adab dan cinta. []
Peneliti senior INSISTS, doktor bidang Pemikiran Islam dari Universiti Malaya Kuala Lumpur
Ndeso!
Kata yang identik melekat pada diri seorang komedian, Tukul Arwana, mendadak fenomenal kembali setelah diucapkan oleh anak orang nomor satu di NKRI.
Sikap masyarakat pun pro-kontra, karena di samping diucapkan oleh anak presiden, kata tersebut dilontarkan untuk konteks yang berbeda. Jelas, ada yang membela, ada yang mencela. Yang membelanya beropini pada tampilannya yang apa adanya, sederhana dan umumnya anak muda yang bebas berekspresi. Tidak aji mumpung, meskipun dia anak presiden, tapi tidak minta-minta proyek ke bapaknya. Demikian kata sebagian mereka yang pro dan membelanya.
Bagi yang mencelanya berpandangan, anak presiden kok gitu! simplistik banget; kurang ningrat; tidak menjaga wibawa bapaknya; mengkampanyekan kontroversi; cenderung berpihak kedalam masalah yang sudah diputuskan oleh pengadilan; memberi stigma sosial & stereotype bagi sekelompok masyarakat yang berseberangan pandangan/keyakinan, dll. Bahkan ada yang mempolisikannya segala.
Saya tidak hendak menceburkan diri kedalam golongan yang pro maupun kontra. Karena saya yakin yang bersangkutan masih sangat belia, masih dalam menapaki pembelajaran hidup, termasuk belajar mengekspresikan apa yang patut dan yang tidak patut sebagai pemuda muslim, anak bangsa, terlebih sebagai anak penguasa. Agama menganjurkan agar yang tua menyayangi yang lebih muda, dan yang muda menghormati yang lebih tua. Termasuk dalam hal nasehat. Jangan sampai nasehat kebenaran tidak diiringi dengan kesabaran dan kasih sayang. Wa tawashau bil haq, wa tawashau bishshobr. Begitu Firman Dzat Yang Maha Benar.
Berkaca dari sejarah
Adalah Abdul Malik, salah satu anak khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. Dikisahkan ketika sang ayah, Umar bin Abdul Aziz baru menjabat sebagai Amirul Mukminin sedang kelelahan setelah mengubur kerabatnya, Khalifah Sulaiman. Kondisi yang capek ini membuat khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin beristirahat sejenak. Lalu anaknya, Abdul Malik, datang dan berkata:
“Wahai ayahku, tidakkah engkau ingin menyelesaikan hak-hak rakyat yang belum engkau selesaikan? Tidakkah engkau ingin menyelesaikan perkara orang-orang yang dizalimi, orang-orang yang diambil haknya yang belum engkau selesaikan?
Lalu sang khalifah menjawab: “Wahai anakku, biarlah aku istirahat sejenak, nanti sehabis zuhur aku akan selesaikan semua perkara itu”.
Si anak pun berkata: “Wahai ayahku! Adakah jaminan bahwa setelah zuhur nanti Allah masih menghidupkanmu? Adakah jaminan bahwa setelah zuhur engkau masih bisa bernafas?
Umar bin Abdul Aziz kemudian mencium kening anaknya dan berkata: “Wahai anakku, engkau adalah laki-laki yang baik! Demi Allah! Aku tidak tahu apakah aku masih bisa bangun dan bernafas setelah zuhur nanti. Lalu ia bangkit dan menunaikan tugasnya sebagai khalifah meskipun dalam keadaan yang sangat letih.
Nasehat anak penguasa untuk bapaknya
Wahai ayahku, tegakkanlah kebenaran walau sesaat dari waktu siang! (ya abi, aqim al-haqq walau sa’atan min nahar)
Apakah engkau yakin bahwa kematian tidak menghampirimu, sementara rakyatmu menunggumu, dan engkau jauh dari mereka? Lalu ia [khalifah] segera bangkit dari kondisinya [istirahat sejenak] dan keluar bertugas untuk hajat rakyatnya. (awa aminta al-maut an ya’tiyaka wa ra’iyyatuka yantazhirunaka wa anta muhtajabun ‘anhum? Fa qoma min sa’atihi wa kharaja ilannas)
Demikianlah sekelumit kisah tentang keluarga yang dianugerahi kekuasaan tetapi dibalut dengan sikap zuhud. Zuhud adalah orang yang memiliki harta dan kuasa, tapi tidak menjadi tawanannya. Inilah beda antara zuhud dan miskin. Maka bukanlah sikap zuhud yang sempurna jika orang belum mempunyai, lalu menjauhi dunia dengan menyibukkan diri sembahyang di kuil. Berzuhud di usia senja mungkin saja, tetapi di kala belia jarang terjadi.
Bangsa Indonesia tengah menanti karakter anak-anak penguasa yang saleh dan zahid, sebagaimana kita semua pun menanti pertumbuhan anak-anak kita yang saleh dan berani mengingatkan khilaf dan salah orang tuanya dengan penuh adab dan cinta. []