-->

Nahi Munkar, Harga Mati!

Sejatinya, inti dari ajaran Islam adalah mengajak kepada setiap kebaikan dan mencegah dari seluruh kemunkaran. Karena itu, dalam syariat Islam, perintah amar makruf nahi munkar menjadi wajib bagi setiap umat ini. Bahkan barometer kebaikan umat ini sangat bergantung pada komitmen mereka dalam menjalankan kewajiban tersebut. Allah ta’ala berfirman:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)

Namun demikian, hingga hari ini perintah tersebut terkesan masih sering diabaikan oleh sebagian kelompok dari umat ini. Ada yang mengatasnamakan toleransi, akhirnya mereka cuek dengan kemunkaran yang terjadi. Sebagian yang lain beranggapan nahi munkar adalah hak penguasa saja, lantas mereka berleha-leha terhadap perintah tersebut. Bahkan yang cukup disayangkan, sebagian mereka malah asyik melempar tuduhan-tudahan keji di saat umat Islam mengamalkan kewajiban ini.

“Mengubah kemunkaran dengan tangan itu sama saja menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Karena sangat mungkin perbuatan itu bisa menyebabkan mereka ditangkap dan dipenjara oleh penguasa.” Demikian salah satu alasan klasik yang sering digunakan untuk berkilah, bahkan digunakan untuk melegitimasi aksi para penegak amar makruf nahi munkar. Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah ayat berikut ini:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (Al-Baqarah: 195)

Adanya resiko itu pasti tapi bukan untuk mencelakan diri

Menjawab kerancuan berpikir mereka dalam memahami ayat di atas, kita bisa merujuk langsung bagaimana tafsiran sahabat Abu Ayyub Al-Anshari yang cukup memahami tentang latar belakang turunnya ayat tersebut.

Diriwayatkan dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia mengatakan, “Kami berada di sebuah kota di negeri Romawi. Tiba-tiba seorang Muslim berlari sendirian masuk menyerang barisan tentara Romawi. Lalu, tentara Muslim berteriak dan mengatakan, ‘Subhanallah, dia telah mencelakakan dirinya sendiri.’

Lalu, Abu Ayyub berdiri dan mengatakan, “Wahai kaum muslimin, kalian telah keliru memahami ayat ini. Ayat ini sebenarnya turun pada kami kaum Anshar. Setelah Islam menang dan memiliki banyak pendukung, kami berkata di antara kami sesama kaum Anshar tanpa didengar oleh Nabi. ‘Harta kami telah habis dan Allah telah memuliakan Islam. Sudah banyak orang yang menolong Islam. Alangkah baiknya kita kembali mengurus perniagaan hingga dapat mengembalikan kekayaan kita yang hilang.” Lalu, Allah menurunkan ayat ini yang membantah ucapan kami : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)

Jadi, yang membuat kami celaka adalah dengan mengurus perniagaan dan meninggalkan perang’.” (HR Abu Dawud no 2513, Tirmidzi hadits no 2972. Sahih menurut kriteria Shahih al-Bukhari dan Muslim, juga disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan ini telah jelas bahwa mencelakakan diri adalah dengan meninggalkan infak fi sabilillah dan meninggalkan beramal untuk Islam, serta mengutamakan kepentingan keluarga dan harta di atas ketaatan kepada Allah dan jihad fi sabilillah. Pemahaman yang benar-benar bertentangan dengan apa yang mereka pahami. Padahal, Nabi telah bersabda:

“Pemimpin syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang datang kepada penguasa lalu mengingatkan atas kemunkaran dan mengajak kepada kebaikan lalu ia dibunuh.” (HR. Hakim, 2/195. Ia mengatakan, “Sanadnya shahih.” Hadits ini juga tercantum dalam Silsilah hadits Shahihah, hadits no; 374)

Allah SWT berfirman :

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil….” (QS : Ali Imran: 21)

Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa sebagian ulama mengatakan, “Ayat ini adalah dalil bagi praktik amar makruf dan nahi munkar walau bisa berakibat kematian.”

Beliau juga mengatakan, “Kalau takut dipukul atau dibunuh ketika menghilangkan sebuah kemunkaran, hendaknya ia memerhatikan kaidah berikut. Kalau kemunkaran itu diharapkan dapat hilang maka kebanyakan ulama berpendapat boleh menempuh bahaya tersebut. Tetapi, jika diyakini tidak dapat dihilangkan lalu apa manfaat melakukannya? Pendapat saya, jika telah mengikhlaskan niat hendaknya ia tetap mengubah kemunkaran tersebut tanpa harus peduli apa pun risikonya.” (lihat; Ahkamul Qur’an, 1/266-267)

Pendapat Imam Ibnul Arabi di atas ingin menegaskan kepada kita bahwa setiap kemunkaran wajib diingkari, apapun bentuknya dan siapapun yang melakukannya. Adanya resiko dalam menerapkan kewajiban ini adalah suatu hal yang pasti, tidak pantas jika kemudian dijadikan alasan untuk berdalih untuk meninggalkannya. Tentunya, titik tekan Ibnul Arabi di sini bukan untuk bertindak secara serampangan. Lebih kepada penegasan tentang wajibnya amar makruf nahi munkar. Wallahu a’lam bis shawab!

Penulis : Fakhruddin

Editor : Arju

Disadur dari buku “Nahi Munkar Instruksi Ilahi yang Diabaikan, Digugat, dan Diselewengkan” Karya Syaikh Abdul Akhir Al-Ghunaimi, Penerbit Jazera, Solo.