Oleh Luthfi Hidayat
Di saat kaum muslimin mendapat serangan atas isu terorisme, kaum muslimin juga begitu masif mendapat serangan dari pihak-pihak yang secara sadar maupun tidak, membela kepentingan LGBT.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, munculya fenomena lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menjadi pekerjaan Indonesia sebagai bangsa. “Masyarakat hendaknya tidak menyalahkan dan menyudutkan pelaku LGBT, mereka adalah korban yang perlu bantuan. Persoalan ini perlu dilihat dari berbagai perspektif, baik dari sisi agama, sosial, medis, maupun HAM.” ujar dia dalam Rapat Komite III DPD, Senayan, Selasa (26/1).
Senada dengan Menteri Agama, Menristek Dikti Mohamad Nasir juga menyatakan; “Pelarangan saya terhadap LGBT masuk ke kampus harus difahami secara objektif. Kampus terbuka lebar untuk segala kajian, edukasi yang bertujuan untuk membangun kerangka keilmuan. Bukan berarti saya melarang segala kegiatan yang ada kaitannya dengan LGBT. Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak menggangu kondusifitas akademik,” jelas Nasir dalam akun twitter @mensristekdikti, Senin (25/01/2016).”.
Peryataan kedua menteri ini memiliki pijakan filosofi dan sudut pandang yang salah.
Secara genetik, Fenomena LGBT tidak terbukti secara ilmiah merupakan fenomena dari faktor gen. Kode gen “Xq28” yang selama ini ditengarai sebagai gen pembawa kecenderungan fenotepe homoseksual, tidak terbukti mendasari sifat dari homoseksual.
Pada 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih banyak. Rice dan tim memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat penanda di daerah kromosom.
Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tidak memperlihatkan kesamaan penanda di gen Xq28 kecuali secara kebetulan.
Para peneliti tersebut menyatakan bahwa segala kemungkinan adanya gen di Xq28 yang berpengaruh besar secara genetik terhadap timbulnya homoseksualitas dapat ditiadakan. Sehingga hasil penelitian mereka tidak mendukung adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.
Penelitian juga dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, di tahun 1998-1999. Hasil riset juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Penelitian Rice dan Sanders tersebut makin meruntuhkan teori “Gen Gay”.
Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” yang juga penulis buku “Exploding the Gene Myth” mengatakan: “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada berbagai komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat.
Secara sudut pandang hubugan sosial kemasyarakatan, justru persoalan LGBT ini muncul dari sudut pandang yang salah dalam melihat “naluri seksual”.
Syekh Taqiyuddin an Nabhaniy –rahimahullah—dalam Kitab An Nizham al Ijtima’i menguraikan, bahwa Barat (Eropa dan Amerika) maupun Sosialis melihat aspek hubungan antara pria dan wanita semata-mata dari sudut pandang jinsiyah (seksualitas), bukan pandangan dalam rangka melestarikan keturunan. Nikah bagi pandangan seperti ini tidaklah penting. Yang penting bagaimana dan dengan apa cara memenuhi naluri seksual tersebut.
Sehingga dengan sengaja pula di Barat diciptakan fakta-fakta yang terindera dan pemikiran-pemikiran yang mendandung hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata untuk mencari pemuasan.
Cara-cara pemuasan ini bebas dalam pandangan mereka. Tidak ada mengenal mana yang boleh dan mana yang tidak. Tidak ada istilah halal dan haram. Sehingga fakta lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Barat dan Timur. Sebagai cara dalam memenuhi hasrat seksual mereka.
Sementara dalam pandangan Agama Islam, adanya naluri seksual yang ada pada manusia merupakan pandangan untuk melestarikan keturunan manusia. Bukan pandangan yang bersifat seksual semata. Sekalipun Islam mengakui bahwa pemuasan hasrat seksual perupakan perkara yang pasti, tetapi bukan hasrat seksual itu sendiri yang mengendalikan pemuasannya.
Oleh karena itu, Islam memandang adanya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada suatu komunitas sebagai perkara yang dapat mendatangkan bahaya. Demikian pula Islam memandang bahwa fakta-fakta yang dapat membangkitkan nafsu seksual, akan menyebabkan kerusakan.
Sehingga dalam pandangan Islam, fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah merupakan penyakit masyarakat. Dan penyakit masyarakat ini menular.
Pernyataan Menristek bahwa “Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak menggangu kondusifitas akademik,” adalah pernyataan yang bathil dan tidak memiliki argumentasi ilmiah yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat.
Fenomena LGBT ini memang akan semakin hancur ketika kita fahami dari sudut pandang HAM Barat. Dan HAM inilah yang menjadi “pupuk segar” menyeruaknya fenomena LGBT.
Pernyataan kedua Menteri di atas secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya muncul dari konsep Hak Asasi Manusia dalam pandangan Barat.
HAM Barat sendiri secara filosofi memiliki kerusakan. HAM yang dijajakan ke masyarakat muslim, seringkali sekedar legitimasi atas ide kebabasan agar dapat melakukan apa saja tanpa aturan. Dengan argumentasi HAM orang bisa melakukan hubungan seksual dengan siapa pun, kapan pun dan dengan apa pun.
Dengan alasan HAM seseorang bisa bisa melakukan hubungan seksual dengan binatang. Sehingga secara jelas, bahwa HAM inilah yang pada hakikatnya menghantarkan dunia Barat pada peradaban yang lebih rendah daripada binatang. Firman Allah SWT.
(وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ)
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Al A’raf 179)
Sehingga apa pun alasannya, derasnya arus opini LGBT ini adalah merupakan perang terhadap peradaban Islam yang mulia. Kaum muslimin harus menghadapi peperangan ini dengan segenap kemampuan pemikiran, kecerdasan, dan bashirah yang cemerlang. []
Di saat kaum muslimin mendapat serangan atas isu terorisme, kaum muslimin juga begitu masif mendapat serangan dari pihak-pihak yang secara sadar maupun tidak, membela kepentingan LGBT.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, munculya fenomena lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menjadi pekerjaan Indonesia sebagai bangsa. “Masyarakat hendaknya tidak menyalahkan dan menyudutkan pelaku LGBT, mereka adalah korban yang perlu bantuan. Persoalan ini perlu dilihat dari berbagai perspektif, baik dari sisi agama, sosial, medis, maupun HAM.” ujar dia dalam Rapat Komite III DPD, Senayan, Selasa (26/1).
Senada dengan Menteri Agama, Menristek Dikti Mohamad Nasir juga menyatakan; “Pelarangan saya terhadap LGBT masuk ke kampus harus difahami secara objektif. Kampus terbuka lebar untuk segala kajian, edukasi yang bertujuan untuk membangun kerangka keilmuan. Bukan berarti saya melarang segala kegiatan yang ada kaitannya dengan LGBT. Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak menggangu kondusifitas akademik,” jelas Nasir dalam akun twitter @mensristekdikti, Senin (25/01/2016).”.
Peryataan kedua menteri ini memiliki pijakan filosofi dan sudut pandang yang salah.
Secara genetik, Fenomena LGBT tidak terbukti secara ilmiah merupakan fenomena dari faktor gen. Kode gen “Xq28” yang selama ini ditengarai sebagai gen pembawa kecenderungan fenotepe homoseksual, tidak terbukti mendasari sifat dari homoseksual.
Pada 1999, Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih banyak. Rice dan tim memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat penanda di daerah kromosom.
Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tidak memperlihatkan kesamaan penanda di gen Xq28 kecuali secara kebetulan.
Para peneliti tersebut menyatakan bahwa segala kemungkinan adanya gen di Xq28 yang berpengaruh besar secara genetik terhadap timbulnya homoseksualitas dapat ditiadakan. Sehingga hasil penelitian mereka tidak mendukung adanya kaitan gen Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.
Penelitian juga dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, di tahun 1998-1999. Hasil riset juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas. Penelitian Rice dan Sanders tersebut makin meruntuhkan teori “Gen Gay”.
Ruth Hubbard, seorang pengurus “The Council for Responsible Genetics” yang juga penulis buku “Exploding the Gene Myth” mengatakan: “Pencarian sebuah gen gay bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada berbagai komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat.
Secara sudut pandang hubugan sosial kemasyarakatan, justru persoalan LGBT ini muncul dari sudut pandang yang salah dalam melihat “naluri seksual”.
Syekh Taqiyuddin an Nabhaniy –rahimahullah—dalam Kitab An Nizham al Ijtima’i menguraikan, bahwa Barat (Eropa dan Amerika) maupun Sosialis melihat aspek hubungan antara pria dan wanita semata-mata dari sudut pandang jinsiyah (seksualitas), bukan pandangan dalam rangka melestarikan keturunan. Nikah bagi pandangan seperti ini tidaklah penting. Yang penting bagaimana dan dengan apa cara memenuhi naluri seksual tersebut.
Sehingga dengan sengaja pula di Barat diciptakan fakta-fakta yang terindera dan pemikiran-pemikiran yang mendandung hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata untuk mencari pemuasan.
Cara-cara pemuasan ini bebas dalam pandangan mereka. Tidak ada mengenal mana yang boleh dan mana yang tidak. Tidak ada istilah halal dan haram. Sehingga fakta lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Barat dan Timur. Sebagai cara dalam memenuhi hasrat seksual mereka.
Sementara dalam pandangan Agama Islam, adanya naluri seksual yang ada pada manusia merupakan pandangan untuk melestarikan keturunan manusia. Bukan pandangan yang bersifat seksual semata. Sekalipun Islam mengakui bahwa pemuasan hasrat seksual perupakan perkara yang pasti, tetapi bukan hasrat seksual itu sendiri yang mengendalikan pemuasannya.
Oleh karena itu, Islam memandang adanya pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual pada suatu komunitas sebagai perkara yang dapat mendatangkan bahaya. Demikian pula Islam memandang bahwa fakta-fakta yang dapat membangkitkan nafsu seksual, akan menyebabkan kerusakan.
Sehingga dalam pandangan Islam, fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah merupakan penyakit masyarakat. Dan penyakit masyarakat ini menular.
Pernyataan Menristek bahwa “Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak menggangu kondusifitas akademik,” adalah pernyataan yang bathil dan tidak memiliki argumentasi ilmiah yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat.
Fenomena LGBT ini memang akan semakin hancur ketika kita fahami dari sudut pandang HAM Barat. Dan HAM inilah yang menjadi “pupuk segar” menyeruaknya fenomena LGBT.
Pernyataan kedua Menteri di atas secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya muncul dari konsep Hak Asasi Manusia dalam pandangan Barat.
HAM Barat sendiri secara filosofi memiliki kerusakan. HAM yang dijajakan ke masyarakat muslim, seringkali sekedar legitimasi atas ide kebabasan agar dapat melakukan apa saja tanpa aturan. Dengan argumentasi HAM orang bisa melakukan hubungan seksual dengan siapa pun, kapan pun dan dengan apa pun.
Dengan alasan HAM seseorang bisa bisa melakukan hubungan seksual dengan binatang. Sehingga secara jelas, bahwa HAM inilah yang pada hakikatnya menghantarkan dunia Barat pada peradaban yang lebih rendah daripada binatang. Firman Allah SWT.
(وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ)
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Al A’raf 179)
Sehingga apa pun alasannya, derasnya arus opini LGBT ini adalah merupakan perang terhadap peradaban Islam yang mulia. Kaum muslimin harus menghadapi peperangan ini dengan segenap kemampuan pemikiran, kecerdasan, dan bashirah yang cemerlang. []