[Al-Islam edisi 790, 11 Rabiul Akhir 1437 H – 22 Januari 2016 M]
Pada Kamis 14 Januari 2016 sekitar jam 10.40 telah terjadi serangkaian ledakan dan tembakan di Menara Cakrawala dan Pos Polisi di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Peristiwa yang lantas disebut ‘Bom Thamrin’ ini telah mengakibatkan delapan orang tewas. Empat di antara yang tewas dipastikan oleh kepolisian sebagai pelaku. ‘Bom Thamrin’ itu juga menyebabkan lebih dari 20 orang mengalami luka berat dan ringan.
Berkaitan dengan peristiwa ‘Bom Thamrin’ itu, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama: Serangan dan peledakan bom itu merupakan tindakan yang harus dikecam dengan keras. Tindakan itu merupakan tindakan zalim. Tindakan teror semacam itu merupakan perbuatan tercela yang jelas-jelas menyalahi syariah Islam. syariah Islam dengan tegas melarang siapapun dengan motif apapun untuk bunuh diri, membunuh orang lain tanpa haq, merusak milik pribadi dan fasilitas milik umum, apalagi tindakan itu menimbulkan korban dan ketakutan yang meluas.
Kedua: Hendaknya semua pihak, khususnya Kepolisian dan media massa, tidak menduga-duga serta begitu mudah dan cepat mengaitkan bom itu dengan kelompok, gerakan atau pun organisasi Islam. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Bisa saja peledakan itu melibatkan negara tertentu untuk mengacaukan masyarakat dan negeri ini. Mereka melakukan itu demi kepentingan ekonomi dan politik mereka sambil menyudutkan Islam, syariah Islam, Khilafah Islamiyah, organisasi Islam dan kegiatan dakwahnya serta melakukan rekayasa sistematis dan provokasi keji untuk terus menyudutkan negeri ini sebagai sarang terorisme.
Ketiga: Peristiwa itu dijadikan sebagai suntikan energi baru untuk makin memperluas program perang melawan terorisme. Penangkapan-penangkapan dan program perang melawan terorisme ke depan tampaknya akan makin meningkat. ‘Bom Thamrin’ lalu dijadikan sebagai pembenarnya. Hal itu harus diperhatikan dan diwaspadai, jangan sampai justru makin menambah runyam masalah. Berbagai penangkapan seperti yang terungkap selama ini tak jarang dilakukan secara semena-mena dan zalim, kerap disertai tindakan kekerasan dan perlakuan menghinakan. Hal itu justru berpotensi menimbulkan antipati bahkan dendam. Ujung-ujungnya berpotensi menjadi bara api yang suatu saat bisa saja meletuskan kembali tindakan balas dendam kepada aparat Kepolisian. Sebagian pihak mengungkap, unsur balas dendam itu ada dalam Peristiwa Thamrin. Salah seorang pelaku pernah mengungkapkan kebencian dan dendam terhadap aparat Kepolisian atas tindakan semena-mena, kekerasan dan penyiksaan yang dia alami ketika dulu ditangkap dan diproses.
Keempat: Peristiwa ‘Bom Thamrin’ dengan sigap dijadikan alasan pembenar untuk mempercepat revisi (perubahan) atas UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme. Salah satu yang akan diubah adalah tentang kewenangan penindakan untuk salah satu lembaga. Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, UU Terorisme perlu direvisi untuk memberi ruang kepada aparat penegak hukum untuk melakukan proses hukum terhadap siapa saja yang berpotensi melakukan aksi terorisme. Kapolri mengklaim, pendataan sekaligus pemetaan kelompok radikal Indonesia cukup baik. Aparat memantau pergerakan dan perkembangan jaringan dan orang-perorang. Namun, karena keterbatasan UU, Polisi tidak bisa menangkap, menahan atau melakukan interogasi. Polisi harus menunggu target melakukan suatu tindakan yang mengarah ke teror.
Polri berharap revisi UU itu ke arah optimalisasi pencegahan tindak pidana terorisme. “Kami ingin yang diubah itu sisi pre-emptive serta preventif,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan, Selasa (19/1/2016). “Ada wewenang khusus Polri untuk mereka yang baru menyatakan diri bergabung ke kelompok radikal, pidato menghasut, dan lain sejenisnya, bisa langsung ditindak,” kata dia (Kompas.com, 19/1).
Kepala BIN juga meminta agar BIN diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terkait penanggulangan masalah terorisme.
Presiden Jokowi lalu mengundang pimpinan lembaga tinggi negara ke Istana Negara di antaranya pimpinan MPR, DPR, DPD, MK, MA, KY dan BPK. Hasilnya seperti disampaikan oleh Ketua MPR, Zulkifli Hasan (Detiknews.com, 19/1), hampir semua peserta diskusi sepaham untuk merevisi. Revisi juga akan mencakup peran serta perangkat di daerah dan masyarakat, masa penahanan yang 1×24 jam dirasa kurang, perluasan perencanaan untuk bisa menindak pada tahap rencana dan runding permufakatan jahat, dan hukuman yang perlu diperberat.
Rencana revisi UU itu harus diperhatikan dengan seksama oleh masyarakat. Jangan sampai rencana revisi UU justru nantinya melahirkan kembali rezim otoriter. Jika intelijen diberi wewenang melakukan penangkapan, berdasarkan penilaian intelijen sendiri, sangat mungkin akan terjadi kembali seperti masa Orde Baru, atau bahkan lebih buruk. Jika revisi membenarkan penangkapan dan penindakan atas niat atau bahkan mengarah pada kriminalisasi ide dan pemikiran, dan keputusannya diserahkan kepada aparat, maka bisa akan lahir kembali rezim otoriter ala Orde Baru atau bahkan lebih buruk.
Kelima: Peristiwa ‘Bom Thamrin’ itu dan semacamnya jangan sampai memalingkan perhatian umat dari berbagai kezaliman yang terjadi akibat rezim sekular kapitalis saat ini. Berbagai kebijakan yang dibuat rezim sekular kapitalis saat ini banyak memberatkan rakyat seperti penghapusan aneka subsidi termasuk subsidi BBM, liberalisasi berbagai sektor, peningkatan besaran dan macam pajak, penumpukan utang, dsb; termasuk perpanjangan ijin ekspor kepada PT Freeport, penyerahan berbagai kekayaan alam kepada swasta apalagi asing, yang sudah dan akan dilakukan. Juga jangan sampai pula menutupi kebobrokan rezim dan sistem kapitalisme saat ini yang sudah terungkap jelas.
Peristiwa ‘Bom Thamrin’ dan teror lainnya juga tidak boleh memalingkan perhatian umat dari pelaku terorisme yang sebenarnya, yaitu koalisi Barat pimpinan amerika. Merekalah yang telah membunuh satu juta orang tewas di Irak dan Afganistan. Mereka menyerang Irak atas alasan palsu senjata pemusnah massal atau untuk menyebarkan demokrasi. Jangan lupa pula kekejaman Yahudi yang membantai lebih 1500 orang Palestina hanya salam semingu invasinya atas Gaza 2014 silam. Demikian pula kejahatan Prancis, Rusia, Inggris dan negara-negara Barat lainnya yang menewaskan banyak warga sipil muslimSuriah; juga tindakan teror oleh negara Barat lainnya terhadap dunia khususnya umat Islam.
Keenam: Segala bentuk pengaitan tindakan teror itu dengan Islam dan perjuangan untuk mewujudkanIslam secara kaffah harus diwaspadai dan ditolak. Tindakan teror itu jelas sama sekali bukan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, justru bisa membahayakan Islam dan kaum muslim. Dalam hal ini, Islam dan kaum muslim justru menjadi “korban”.
Juga harus diwaspadai monsterisasi terhadap Islam, syariah Islam dan Khilafah, termasuk kriminalisasi terhadap para pengemban dakwah yang ingin menerapkan syariah Islam dan menegakkan Kilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Dalam setiap peristiwa yang diklaim sebagai tindak terorisme, ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan peristiwa tersebut untuk menyudutkan Islam dan umatnya. Mereka berupaya membangun opini keliru seakan ajaran Islam yang mulia seperti penegakan syariah Islam yang kaffah, Khilafah dan jihad fi sabilillah, sebagai ide-ide radikal yang menjadi pemicu tindak terorisme. Mereka membangun opini yang terus-menerus bahwa radikalisme adalah pangkal terorisme.
syariah Islamiyah justru Allah SWT tegaskan akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Allah SWT berfirman:
)وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ(
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (TQS al-Abiya’ [21]: 107).
Rahmatan lil ‘alamin itu akan terwujud secara nyata tak lain saat syariah Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Hal itu hanya mungkin diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam, yakni KhilafahRasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Imam Ibn Hazm dalam Al-Muhalla dan Imam al-Qurthubi dalam Tafsîr al-Qurthubi menegaskan bahwa para ulama sepakat akan kewajiban menegakkan Khilafah. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh muslim dan Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ahjuga menegaskan hal yang sama. Bahkan Ibn Taymiyah dalam As-Siyâsah asy-Syar’iyyah (hlm. 161) menyatakan Imamah (Khilafah) sebagai “min a’zhamu wajibati ad-din (kewajiban agama yang paling agung).” Imam Ibn Hajar al-Haytami di dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25) menyebut bahwa para Sahabat menjadikan Khilafah sebagai ahammi al-wâjibât (kewajiban paling penting).”
Wahai Kaum muslim:
Peristiwa ‘Bom Thamrin’, cap negatif terhadap Islam serta upaya monsterisasi dan kriminalisasi syariah,Khilafah dan para pengemban dakwah dan pejuangnya tidak boleh menyurutkan langkah kita untuk memperjuangkan Islam dan syariahnya. Sebaliknya, kita harus tetap teguh, sabar dan istiqamah dalam perjuangan demi mewujudkan kehidupan islami melalui penerapan syariah dan penegakan KhilafahRasyidah ’ala minhaj an-nubuwwah. Kita tak boleh gentar terhadap setiap tantangan, hambatan dan ancaman hingga cita-cita mulia itu benar-benar terwujud. Sebab, itulah jalan keselamatan yang hakiki dan akan mendatangkan berkah buat negeri ini.
)وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ …(
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf [7]: 96).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Mundurnya Maroef Sjamsoeddin, Senin (18/1/2016) diyakini tak akan memengaruhi proses divestasi (penjualan saham) yang saat ini sedang berjalan. Apalagi kini PT Freeport Indonesia telah memiliki Presiden Direktur ad interim, Robert C Schroeder (Kompas.com, 19/1) Penawaran harganya sebesar US$ 1,7 miliar juga dinilai terlalu mahal.
- Mestinya pemerintah tidak terjebak pada masalah divestasi. Bahkan masalah divestasi tidak perlu dibicarakan sama sekali.
- Harusnya hentikan saja kontrak Freeport sekarang. Jika tidak berani, saat berakhir 2021 tak usah diperpanjang. Tinggal diambil alih saja, seperti Blok Mahakam atau Inalum.
[hizbut-tahrir.or.id/ +ResistNews Blog ]