+ResistNews Blog - Rencana Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme dianggap sebagai legal frame yang sudah lama direncanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Soal momentum saja kapan RUU Terorisme akan dimasukkan dalam program legislasi. Dan jika goal bisa dipastikan tindakan pemerintah akan lebih represif lagi kepada elemen-elemen yang dianggap ada benang merahnya dengan terorisme versi rezim status quo," ungkap Pengamat Kontra Terorisme Harits Abu Ulya kepadaOkezone, Sabtu (11/4/2015).
Dia menambahkan dengan UU Terorisme yang ada saja, banyak melahirkan tragedi kedzaliman terhadap umat Islam. Apalagi kalau mereka punya payung legal untuk bertindak lebih dari itu.
Menurutnya, di luar soal masa penahanan, hukuman, keuangan maka konten revisi yang akan dimasukkan juga terkait pemidanaan terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme, seperti perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan, masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan masalah rehabilitasi.
"Ini jelas sekali ke depan demikian mudah pemerintah bisa mengkriminalisasi para ulama dan juru dakwah hanya karena ditafsirkan mereka menyampaikan pemikiran kontra mainstream, atau dianggap menginspirasi orang melakukan tindakan kekerasan," tegasnya.
Harits mengaku, revisi tersebut juga dengan mudah kembali disasarkan kepada media Islam yang kontennya ditafsirkan secara subyektif oleh pemerintah dalam hal ini BNPT, sebagai pamantik kekerasan.
"Dan jika RUU Terorisme goal, maka glorifikasi kekerasan dikaitkan dengan terorisme dengan mudah disematkan kepada individu atau kelompok-kelompok gerakan Islam. Umat Islam, para intelektual dan tokohnya harus ikut mencermati langkah legislasi yang diinisiasi oleh pemerintah (BNPT) dan terkesan akan diaminkan oleh DPR tersebut.Bagi yang melek politik," papar Direktur CIIA itu.
Langkah revisi ini, lanjut Harits, cukup menjadi "early warning" bagi dinamika dakwah dan kekuatan politik Umat Islam ke depan di Indonesia. [okz/ +ResistNews Blog ]