-->

PT Freeport Dimanjakan, Rakyat Dirugikan



[Al-Islam edisi 742, 16 Rabiuts Tsani 1436 H – 6 Februari 2015 M]

Di tengah kisruh KPK-Polri, Pemerintah menandatangani perpanjangan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan PT Freeport. Perpanjangan MoU itu ditandatangani pada Minggu 25 Januari lalu oleh Menteri ESDM, Sudirman Said, bersama Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, R Sukhyar, dengan Presiden Direktur PT Freeport McMorran, James Robert Moffet.

Sudirman menjelaskan, “Kalau MoU yang berakhir 24 Januari 2015 tidak diperpanjang, kami tidak punya landasan untuk renegosiasi (melakukan kesepakatan ulang, red.).” (Okezone.com, 26/1).

PT Freeport si ‘Anak Emas’

UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diundangkan tahun 2009 telah mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun smelter, yaitu fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih mineral. UU tersebut melarang ekspor bijih mineral termasuk emas tanpa diolah dulu di dalam negeri. UU tersebut berlaku efektif lima tahun sejak diundangkan, yakni sejak 12 Januari 2014.

UU Minerba itu juga memberikan sanksi bagi perusahaan tambang yang tidak mau membangun smelter. Salah satu sanksinya adalah penghentian kontrak karya.

PT Freeport hingga UU Minerba itu berlaku efektif belum membangun smelter. Sungguh tidak logis. Perusahaan besar seperti PT Freeport tidak bisa membangun smelter. Padahal waktu yang diberikan sangat panjang, yaitu lima tahun sejak UU Minerba diundangkan. Dari situ jelas, PT Freeport bukan tidak mampu, tetapi tidak mau membangun smelter.

Anehnya, Pemerintah membiarkan saja ulah PT Freeport itu. Pemerintahan Jokowi justru memperpanjang MoU itu enam bulan hingga Juli 2015 dengan poin-poin tambahan. Di antaranya, PT Freeport diminta menjamin kepastian pembangunan smelter dengan menunjukkan lokasinya. Menurut Dirjen Minerba Kementerian ESDM R Sukhyar (Kompas.com, 24/1), PT Freeport bisa membangun industri di Papua, paling gampang adalah membangun industri hilir berbasis tembaga. Menurut dia, opsi ini lebih mudah ketimbang PT Freeport membangun smelter di Papua.

Hanya PT Freeport yang mendapatkan keistimewaan ini. Semua itu membuktikan bahwa Pemerintah begitu meng-‘anak emas’-kan PT Freeport meski harus menyalahi UU.

Pemerintah Tunduk di Bawah Perusahaan Asing

PT Freeport mengklaim bahwa perusahaannya pasti membangun fasilitas smelter. PT Freeport lalu menunjukkan nota kesepahaman dengan PT Petrokimia Gresik, Jawa Timur. Namun, menurut Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, R Sukhyar, nota kesepahaman yang ditandatangani PT Freeport dengan PT Petrokimia Gresik, Kamis siang, tidak menunjukkan komitmen PT Freeport (Kompas.com, 22/1).

Ketidakseriusan PT Freeport itu makin jelas saat dengar pendapat dengan DPR pada 27/1 lalu. Seperti diberitakan Kompas.com (27/1), saat ditanya oleh anggota DPR apakah sudah ada izin usaha, izin industri atau AMDAL dan persiapan terkait basic engineering smelter, Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menjawab bahwa ketiga hal itu belum ada.

Semua itu menunjukkan bahwa PT Freeport tidak serius akan membangun smelter di Gresik. Anehnya, itulah di antaranya yang menjadi dasar perpanjangan MoU.

Tampak jelas, perpanjangan MoU itu membuktikan ketundukan Pemerintah Jokowi di hadapan PT Freeport yang notabene perusahaan asing. Betapa tidak. Menurut UU No. 4/2009, mestinya kontrak PT Freeport dicabut. Faktanya, PT Freeport justru diberi perpanjangan waktu lagi. PT Freeport juga diijinkan tetap mengekspor bijih mineral tanpa diolah dulu di dalam negeri. Padahal perusahaan tambang nasional termasuk BUMN sekalipun dilarang mengekspor bijih mineral tanpa diolah dulu di dalam negeri.

PT Freeport Indonesia (PTFI) sengaja mengulur pembangunan smelter untuk memastikan perpanjangan kontrak. PTFI telah mengajukan permintaan perpanjangan kontrak hingga 2031. Untuk memastikan itu, PTFI “menyandera” soal pembangunan smelter. Kompas.com (26/1) menulis, dari dokumen yang diperoleh, PT Freeport berjanji akan membangun smelter, namun sebagai syaratnya, Pemerintah harus memberikan perpanjangan kontrak hingga 2031. “PTFI akan memulai konstruksi pembangunan smelter ketika kepastian kelanjutan operasi pertambangan sampai dengan 2031 diterima PT Freeport Indonesia.“

Omong-kosong Kemandirian

Pemerintahan Jokowi mengklaim akan mewujudkan “Tri Sakti”. Butir keduanya adalah mandiri atau berdaulat secara ekonomi. Namun faktanya, di hadapan PT Freeport saja Pemerintah tak berdaya. Alhasil, kemandirian atau kedaulatan ekonomi hanyalah omong-kosong.

Jika Pemerintah serius akan mewujudkan kemandirian itu, mestinya Presiden Jokowi memiliki sikap dasar yang jelas soal pengelolaan sumberdaya alam (SDA), yakni bahwa SDA negeri ini adalah milik seluruh rakyat, tidak boleh dikuasai oleh sebagian individu apalagi pihak asing. Seluruh SDA negeri ini wajib langsung dikelola oleh negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing. Seluruh hasil SDA itu lalu dikembalikan kepada rakyat.

Jika benar Pemerintah serius ingin mewujudkan kemandirian negeri, sekaranglah saat yang tepat membuktikan itu. Pemerintah mestinya bersikap tegas menghentikan dan mencabut kontrak karya PT Freeport. Apalagi terbukti PT Freeport telah melanggar UU Minerba yang salah satu sanksinya adalah dicabut kontrak karyanya. Pemerintah mestinya segera mengambil-alih pengelolaan tambang PT Freeport di Papua. Dengan begitu, pengerukan kekayaan alam oleh PT Freeport dan aliran kekayaan demi kesejahteraan asing bisa dihentikan dan kekayaan besar itu bisa diselamatkan. Selanjutnya kekayaan alam itu bisa dikelola langsung oleh negara. Dengan begitu, negara bukan hanya mendapat pemasukan dalam bentuk royalti, pajak, pembagian deviden dan pungutan lainnya. Akan tetapi, seluruh hasil pengelolaan tambang itu seratus persen akan masuk ke kas negara. Seluruh hasilnya itu bisa digunakan sepenuhnya demi kemaslahatan seluruh rakyat.

Hal yang sama wajib diberlakukan atas semua kekayaan alam di negeri ini. Jika Pemerintah berani bersikap tegas seperti itu terhadap PT Freeport maka sikap serupa akan lebih mudah dilakukan terhadap yang lain.

Kelola SDA Sesuai Syariah

Syariah Islam sudah memberikan aturan dan panduan yang jelas dalam pengelolaan SDA. Dengan itu daulat atas negeri dan kemandirian otomatis terwujud. Kekayaan alam akan benar-benar menjadi berkah yang menyejahterakan seluruh rakyat.

Islam telah menetapkan kekayaan alam, di antaranya barang tambang yang melimpah, sebagai milik seluruh rakyat. Kekayaan alam itu tidak boleh diberikan atau dikuasakan kepada individu apalagi pihak asing. Abyadh bin Hamal al-Muzany ra. menuturkan:

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَاَل رَجُلٌ: أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ.

Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikan tambang itu. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepada dia? Sesungguhnya engkau telah memberi dia sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Lalu ia (perawi) berkata: Kemudian Rasulullah saw. pun menarik kembali tambang itu dari dia (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Pengelolaan kekayaan alam yang melimpah itu harus dilakukan oleh negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya dikembalikan untuk rakyat. Jika dalam pengelolaan itu harus melibatkan swasta, maka statusnya hanya sebagai pihak yang dipekerjakan dengan upah tertentu, bukan sebagai pemegang konsesi atau kontrak karya.

Karena itu dalam kasus PT Freeport dan lainnya yang terlanjur menguasai kekayaan alam negeri ini, yang mesti dilakukan bukan merundingkan ulang kontrak atau memperpanjang ijinnya. Negara justru harus mengambil-alih sekaligus mengelola kekayaan alam itu secara langsung dan seluruh hasilnya untuk rakyat. Hanya dengan pengelolaan sesuai aturan syariah seperti itulah, kekayaan alam itu akan benar-benar menjadi berkah buat negeri ini dan penduduknya.

Lebih dari itu, dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh, keberkahan akan benar-benar melimpahi negeri ini dan penduduknya dari segala arah. Allah SWT telah menjanjikan hal itu.

)وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنا عَلَيْهِمْ بَرَكاتٍ مِنَ السَّماءِ وَاْلأَرْضِ …(

Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf [7]: 96).


Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan ungkapan “lafatahna” untuk menunjukkan bahwa sebenarnya amat mudah bagi Allah SWT menurunkan keberkahan-Nya; ibarat tinggal membuka pintu, keberkahan itu akan langsung menggelontor deras. Syaratnya, penduduk negeri harus beriman dan bertakwa. Wujudnya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total di bawah sistem yang telah diberikan oleh Islam, yaitu Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []



Komentar al-Islam:

Sudah beberapa hari ini Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Tim Independen, Dewan Pertimbangan Presiden, mantan Presiden RI BJ Habibie hingga pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membahas konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI. Namun, hingga saat ini pula Presiden belum menentukan sikap. Apa yang ditunggu Presiden Jokowi saat ini? (Kompas.com, 3/2).
  1. Nunggu wangsit atau nunggu arahan “King Maker”?
  2. “Yang jelas sekarang PDIP bersama Jokowi dan Jokowi masih petugas partai, kader PDIP,” kata politikus PDIP Puan Maharani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/2/2015).
  3. Inilah bukti ilusi demokrasi: pemimpin pilihan rakyat ternyata sering tak mempedulikan aspirasi rakyat.
[hizbut-tahrir.or.id/ +ResistNews Blog ]