Oleh: Farhan Akbar Muttaqi,Jurnalis, Divisi Penerangan Kajian Islam Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
“Saya kan kuliah di jurusan jurnalistik, kalau Saya ikut organisasi politik semacam ini, itu melanggar kode etik. Saya kan harus memiliki sikap yang netral”. Demikianlahstatement yang pernah diberikan seorang kawan tatkala diajak untuk bergabung dalam sebuah proyek besar untuk menegakkan Syariat Islam dalam naungan Khilafah di Indonesia.
Dalam kepalanya, nampak bahwa netralitas dalam dunia jurnalistik adalah sebuah kewajiban. Tak bisa diganggu gugat. Sangat sakral dan sulit ditawar. Ibarat kata, bila para buruh pabrik identik dengan disiplinnya, ilmuwan identik dengan keluasan pengetahuannya, maka jurnalis identik dengan netralitasnya. Begitulah persepsi yang dibangun. Dengan pandangan semacam itu, kawan Saya akhirnya tak segan menolak bergabung dalam pergerakan politik dengan misi mulia tersebut.
Hal yang dilakukannya memang sejalan dengan kode etik jurnalistik yang telah disepakati. Bahwasannya, dalam pasal satu disebutkan bahwa setiap wartawan harus bersikap independen. Dalam penjabarannya, yang dimaksud independen adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Tak hanya itu, media massa –cetak maupun elektronik- sebagai payung yang menaungi para jurnalispun dituntut untuk berlaku demikian. Media dalam konteks Negara Demokrasi, hadir salah satunya sebagai wadah yang berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat yang memiliki hak untuk memperoleh kebebasan berpendapat secara merata. Setiap golongan, mesti diberi porsi yang seimbang dalam upayanya menyalurkan aspirasi ke ruang publik.
Kapitalisasi Media
Sebagai sebuah Ideologi, Kapitalisme tentu memiliki cara pandang dalam mengatur keberadaan media massa. Negara, dalam konteks Ideologi Kapitalisme yang mengusung nilai kebebasan, tak punya hak untuk membatasi secara tegas lalu-lintas dan persaingan yang berkecamuk dalam dunia media massa. Hingga akhirnya, berbagai bentuk media lahir atas nama industri yang pola persaingannya tak berbeda dengan perusahaan pada umumnya. Di dalamnya ada pasar bebas yang secara alamiah mendapuk para pemilik modal terbesar untuk menjadi penguasanya.
Terlebih, ketika tren yang muncul, bahwa agar cepat besar, setiap bentuk media massa penting untuk melemparkan kepemilikannya ke dalam pasar modal (go public). Kondisi semacam ini, akhirnya membuat redaksi yang bergulat dalam ranah media tanpa segan melacurkan netralitas dan kesungguhannya untuk menyerap aspirasi rakyat, dan menggantinya dengan kepentingan Kapitalis, sang pemilik modal. Hingga sekalipun Para Kapitalis tersebut tak berpengalaman dalam dunia media massa, kekuatannya berdaya untuk memaksa praktisi media bersikap pragmatis.
Dengan modal yang besar, media yang telah go public, mengalahkan berbagai media lain yang minim modal. Mereka berkembang menjadi media mainstream dengan oplah yang sangat besar, dan dibaca banyak orang. Hingga dalam pergulatan opini publik, jangkauan dan pengaruhnya dapat terasa lebih besar. Sementara itu, media lain cenderung kecil daya jangkaunya. Kebanyakan bahkan hanya diakses oleh kalangan terbatas dengan oplah yang juga kalah jauh dibanding media mainstream.
Sementara itu, bagi para Kapitalis sendiri, kepemilikan media massa jelas memiliki daya tarik yang tinggi untuk dimiliki. Setidaknya, dua kepentingan utama yang dapat diraih;
Pertama; Ekonomi. Tak dapat dipungkiri, media massa adalah sarana efektif untuk memperkuat bisnis Kapitalis. Diantaranya, melalui media, Kapitalis dapat memperbaiki citra diri dan bisnisnya. Hal ini pernah dibuktikan oleh Keluarga Rockefeller di Amerika Serikat yang sempat jatuh citranya karena perusahaan minyak miliknya tercium boroknya oleh publik. Peristiwa itu membuat Keluarga tersebut memahami urgensitas media, dan mulai merambah dengan memasukan modal ke dalam berbagai media massa ternama di Amerika Serikat. Seketika, kendali atas modal mampu membuat citranya menjadi lebih baik. Otomatis, bisnis yang dijalankanpun dapat bergulir kembali dengan lancar (Adamson, 2003).
Selain itu, media seringkali menjadi sarana efektif untuk mengiklankan berbagai produk. Dengan daya jangkau dan pengaruh yang kuat, bagi para Kapitalis yang memiliki jejaring usaha yang menggurita, keberadaan media massa dapat menjadi sarana efektif untuk mengiklankan produk usahanya secara mudah dan masif. Karena dalam banyak kasus, mereka tak selalu bergerak di bidang media saja. Melainkan, dalam ranah usaha lainnya.
Selain tentu, di luar dua keuntungan yang disampaikan di muka, bisnis media itu sendiri memiliki potensi yang bisa sangat menguntungkan. Konon, menurut seorang praktisi media asal Jawa Barat, sebuah raksasa harian nasional memilikiprofit yang sangat besar dari iklan yang masuk. Sehingga bilapun harian tersebut setiap harinya diberikan secara gratis, perusahaan tetap mendapatkan profit yang besar. Ini belum lagi bila Kita bicara Media elektronik, profit yang didapatkan lewat iklan sangatlah besar nilainya.
Maka dari itu, dengan berbagai timbangan yang diukur berdasarkan neraca untung-rugi, tentu saja bisnis yang satu ini tak bisa dilewatkan begitu saja.
Kedua, Politik. Untuk menggambarkan kekuatan media dalam ranah politik, Abraham Lincoln (Fredericks,2004) pernah berseloroh, bahwa kekuatan opini umum lebih hebat dibandingkan hukum. “Sentimen publik adalah segalanya. Dengan dukungan sentimen publik, tak satupun upaya yang gagal. Sebaliknya tanpa hal itu tak ada satupun yang berhasil. Orang yang membentuk opini lebih berkuasa daripada orang yang membuat hukum”
Tentu saja, dengan demikian, bila politik didefinsikan sesuai dengan apa yang dinyatakan Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani sebagai pengaturan urusan masyarakat, maka para Kapitalis dalam Negara Demokrasi idealnya dapat memainkan fungsi politik melalui kuasa atas media. Melalui media, mereka dapat mengarahkan opini untuk mengendalikan cara hidup publik agar selaras dengan kepentingannya. Dalam artian, tetap meyakini dan berjalan sesuai dengan Ideologi Kapitalisme yang dianutnya. Hingga mereka mampu membuat masyarakat kehilangan kesadaran akan sebuah hakikat, bahwa Para Kapitalis dan Ideologinya itulah yang sejatinya menjadi trouble maker yang telah melanggar banyak hukum yang berlaku.
Lebih dari itu, untuk mengokohkan hegemoninya, sebagian Kapitalis berkepentingan untuk duduk langsung dalam kursi kekuasaan. Dalam konteks ini, untuk membangun figuritas yang kuat, kepemilikan media adalah sarana yang tak dapat disepelekan. Terlepas sejauh mana media memberikan efek untuk meraih simpati dan dukungan publik, hal yang pasti adalah bahwa media dapat membuatnya tiba-tiba menjadi tokoh yang dikenal. Dalam kontestasi politik di Indonesia pasca reformasi, hal ini banyak disadari. Karenanya, kini beberapa orang tokoh politik, dikenal pula sebagai pemilik media massa. Sebutlah Dahlan Iskan dengan jaringan Jawa Pos Grup, Harry Tanoesodibjo dengan MNC Group, Surya Paloh dengan Media Indonesia dan Metro TV, Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTV, dan yang lainnya.
Setiap momentum pemilu dihelat, seperti pada tahun 2014 ini, netralitas setiap media sesungguhnya dapat dibuktikan. Mudah untuk diterawang, apakah media tersebut murni menyerap aspirasi rakyat, atau dibuat dengan visi politik yang hanya melanggengkan kepentingan segelintir Kapitalis yang menguasai sahamnya. Dan fakta yang nampak mengenai pemetaan dukungan antar media terhadap Capres tertentu dalam Pemilu kali ini, membuktikan sikap mereka sesungguhnya.
Akhirnya, dalam posisi semacam ini, rakyat hanya berposisi sebagai obyek bisnis dan tumbal kepentingan politik Para Kapitalis yang ingin terus menguasai dunia –termasuk Indonesia- . Netralitas dan sikap menjunjung tinggi aspirasi rakyat hanya menjadi wacana kosong tanpa makna. Rakyat tetap dibuat terpuruk dan berputar dalam masalah yang sama dan utama: Hegemoni Ideologi Kapitalisme.
Optimisme Ideolog Muslim
Ketika media massa mainstream yang dimiliki oleh Para Kapitalis memiliki kuasa lebih untuk mengarahkan opini publik, tentu, pihak-pihak yang memahami bahwa Ideologi Kapitalisme adalah sumber kerusakan dan Ideologi Islam sebagai solusi, tak berarti habis peluangnya. Hal ini karena, sekalipun berpengaruh besar, keberadaan media tersebut bukan satu-satunya faktor yang menentukan opini publik. Bahkan bila boleh jujur, kenyataannya, media massa mainstream yang digunakan sebagai alat untuk mempromosikan Ideologinya kini dayanya mengalami tren minus. Kongkritnya, meskipun dibantu oleh kekuatan Media, Para Kapitalis dan ide yang dibawanya justru tak menuai simpati yang signifikan.
Dalam Pemilu Legislatif yang lalu contohnya, terbukti bahwa kampanye masif yang dilakukan melalui media massa tak begitu efektif dalam meningkatkan suara Partai dengan basis media yang kuat. Bahkan menurut sebagian pengamat, bukannya meraih simpati, upaya politisasi media yang dilakukan oleh mereka malah menimbulkan antipati.
Demikian halnya dengan ide-ide yang lahir dari rahim Ideologi Kapitalisme yang sarat dengan kebebasan. Penolakan terhadapnya justru terjadi semakin marak. Komisi Penyiaran Indonesia semakin sering mendapatkan gugatan atas berbagai tayangan yang identik dengan gaya hidup bebas yang menjadi ajaran para Kapitalis. Hingga untuk mempertahankan ratingnya, tren yang bermunculan berbagai media massa, terutama elektronik memasukan simbol-simbol Islam dalam berbagai programnya. Terlepas dari Islam Sekuler yang diangkat, namun yang pasti nampak bahwa ada kekalahan yang didapat dalam perebutan opini publik yang real di tengah masyarakat. Dimana Islam secara simultan menggeser Kapitalisme dengan berbagai ide derivatnya.
Sebaliknya, tanpa dukungan yang kuat dari berbagai media mainstream, eksistensi dan ide yang dibawa oleh Hizbut Tahrir misalnya, bisa meluas dikenal banyak orang. Bukti kongkritnya adalah idecKhilafah yang sebelum era reformasi masih sangatlah asing. Dalam perkembangannya, sekitar 15 tahun kemudian istilah ini digulirkan, ide Khilafah menjadi perbincangan diberbagai kalangan, usia, dan tempat. Bahkan dari berbagai survey, dukungan terhadap konsep-konsep Politik –termasuk Khilafah- yang dibawa oleh Hizbut Tahrir mengalami tren yang terus meningkat.
Maka dititik ini, Para Pengusung Ideologi Islam yang hendak menegakkan Syariah dan Khilafah mestinya tak usah keder dengan citra buruk yang kadang dilabeli media mainstream atasnya. Mereka hanya perlu fokus dan memaksimalkan upaya yang dapat dijangkaunya. Hingga pada akhirnya, simpati dan dukungan publik berpihak pada berbagai hal yang mereka usung, dan apa yang dicita-citakannya dapat tegak. Cepat atau lambat. Insya Allah []