+ResistNews Blog - Mujahidin Anshar Syari’ah Libya yang beberapa waktu lalu dituding menyerang Dubes AS di Benghazi dan menewaskan konsulatnya dalam aksi protes film penghina Nabi “The Innocent of Muslim”, mengeluarkan statemen terbarunya bahwa keamanan negara yang semakin kacau akan membaik jika Syariah Islam ditegakkan.
“Stabilitas dan keamanan tergantung pada penerapan Syariah Islam,” kata Anshar Syari’ah Libya, menjelaskan pendiriannya di tengah-tengah “pertengkaran politik” di negara tersebut, seperti yang dikutip dari Al Mezmaah pada Rabu (13/11/2013).
Pada saat yang sama, Anshar Syari’ah juga menyatakan tidak mengakui lembaga-lembaga negara, termasuk aparat keamanan, menunjuk mereka telah murtad dan menjadi bagian dari rezim Thoghut.
“Senjata kami tidak akan diarahkan pada umat Muslim dan anak-anak,” lanjutnya.
Selama beberapa bulan terakhir di Libya, kondisi keamanan semakin memburuk, namun Anshar Syariah berhasil mengambil kesempatan emas dari kurangnya kontrol negara dengan membangun ikatan komunal lokal, memperkuat kemampuannya untuk memperluas operasi dakwah di banyak lokasi di luar kota Benghazi.
Sebelumnya, Anshar Syariah Libya menjadi pihak yang tertuduh atas insiden penyerangan Kedubes Amerika sebagai aksi protes atas film penghina Nabi “The Innocent of Muslim”. Dalam kejadian tersebut, Duta Besar Amerika untuk Libya terbunuh akibat tembakan roket.
Pasca peristiwa itu, media Barat menggembor-gemborkan kabar bahwa masyarakat Benghazi melalukan aksi protes besar-besaran terhadap Anshar Syariah, dan mendepak mereka keluar dari kota itu. Namun faktanya, kini popularitas Anshar Syari’ah semakin meningkat. Namanya yang semula adalah Kataib atau Brigade Anshar Syariah pun di rubah, cukup menjadi Anshar Syariah Libya. Menandai bahwa gerakannya kini tak lagi hanya berfokus pada perlawanan bersenjata, tapi juga di ranah dakwah.
Meskipun laporan media awalnya mengabarkan bahwa Anshar Syariah telah meninggalkan Benghazi, namun dalam kenyataannya, mereka hanya meninggalkan basis di dalam kota, dan tidak meninggalkan kota itu sendiri.
Tidak seperti Anshar Syariah di Tunisia, yang telah menjadi gerakan nasional sejak awal berdirinya, Anshar Syariah Libya semula hanya terorganisir dan beroperasi di Benghazi. Didirikan pertama kali pada Februari 2012, dengan dipimpin oleh Muhammad al Zahawi, yang sebelumnya dipenjara oleh rezim Muammar al-Qaddafi di penjara terkenal Abu Salim.
Meski dipimpin oleh seorang residivis, dalam beberapa bulan terakhir Anshar Syari’ah Libya telah berhasil memperluas jangkauannya hingga di luar kota Benghazi melalui dakwah, koordinasi dengan para pemimpin dan pebisnis lokal, dan program-progam positif lainnya. Kota demi toka mereka taklukkan, dari kota Sirte dan merembet ke kota-kota yang lain hingga wilayah pedesaan.
Sejak pertengahan Oktober 2012, Anshar Syari’ah Libya secara bertahap melakukan banyak jenis layanan sosial dan kegiatan dakwah. Kegiatan ini meliputi ceramah agama rutin bagi para pemuda, kerja bakti memperbaiki dan membersihkan jalan, patroli ronda malam di pinggiran Benghazi, menyita narkoba dan alkohol, menyediakan domba sembelihan bagi keluarga-keluarga miskin pada Idul Fitri, mengirimkan bantuan ke Suriah dan Gaza, mengadakan kompetisi Al Qur’an untuk anak-anak, perawatan rumah warga yang miskin, membersihkan sekolah, pengumpulan sampah, dan perbaikan jembatan, antara lain.
Lain-lain di luarnya, Anshar Syari’ah telah mampu memberikan pelayanan nyata kepada masyarakat. Mereka telah membuka sebuah klinik medis untuk wanita dan anak-anak, sebuah Islamic Center khusus bagi wanita, sebuah Unit Gawat Darurat, serta sekolah agama bernama Markaz al Imam al Bukhari Lil ‘Ulum al Syariah. Selain itu, mereka bahkan sudah memiliki Unit Mobil Pemadam Kebakaran sendiri.


Seperti semua pemerintah Thoghut pada lazimnya, rezim Libya tak memberikan ucapan terima kasih. Justru menampakkan rasa ketidaksukaan pada gerakan penegak Syariah Islam ini. Popularitas Anshar Syariah Libya semakin meningkat, sementara martabat pemerintah telah jatuh terjerembab.
Rezim menuding mereka sebagai ekstremis dan teroris, menginginkan Libya menjadi semacam Somalia baru.
” Ada orang yang ingin menimbulkan kekacauan di negara ini untuk mencegah perkembangan, mereka ingin memerintah Libya dengan cara mereka sendiri dan membuatnya seperti Somalia ,” kata Perdana Menteri Libya Ali Zeidan. [dbs/shotussalam.com/ +ResistNews Blog ]