blog.resistnews.web.id - Ketua Halal Watch Rachmat O Halawa meminta kaum muslimin mewaspadai
penggunaan kuas bulu babi dalam makanan. Ia juga mengingatkan umat Islam
agar mewaspadai penggunaan angciu dan rhum. Demikian disampaikannya
dalam Bincang Halal (Bilal) di Masjid Al Furqon Srengseng, Kembangan,
Jakarta Barat, Ahad (21/7).
"Ibu-ibu, waspadalah, jangan sampai merusak Idul Fitri dengan kue-kue kering yang ternyata diolesi kuning telur dengan menggunakan kuas dari bulu babi," demikian Rachmat O Halawa mengingatkan seratusan jamaah peserta Bincang Halal (Bilal) di Masjid Al Furqon Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat, Ahad (21/7).
Menurut Ketua Halal Watch itu, kuas pengoles kuning telur atau margarin bisa berasal dari bulu imitasi, bulu kuda, atau bulu babi. "Kuas bulu impor biasanya dari bulu telinga atau bulu tengkuk babi," ungkap Rachmat, sambil memberikan tips untuk membedakan bulu imitasi dan bulu dari binatang dengan cara membakar dan mencium baunya.
Ia mengatakan, jumhur ulama sepakat, seluruh bagian babi adalah najis dan tidak boleh dimanfaatkan untuk konsumsi maupun pemakaian luar tubuh seperti kosmetika, perhiasan, sepatu, dan pakaian. "Kalau tubuh kita tercemar produk yang mengandung babi, maka harus disucikan sebagaimana jika terkena babi secara langsung," imbuh Rachmat.
Pemaparan pembicara membuat banyak ibu tercekat. Mereka tak menyangka, karena selama ini mengaku tak peduli pada asal-usul bulu kuas pengoles kue.
Keterperanjatan kaum ibu tak berhenti di situ. Rachmat juga mengungkapkan khamr dalam bentuk penyedap masakan dan bahan tambahan pangan sudah membudaya, misalnya penggunaan angciu dan rhum.
Angciu, jelas Rachmat, adalah arak merah yang biasa digunakan dalam tumisan, rebusan, maupun gorengan makanan kudapan. "Bahkan cireng (aci goreng) pun saya temukan mengunakan angciu di sebuah kedai terkenal di Cibubur," kata Rachmat yang tinggal di kawasan Cibubur, Jakarta Timur.
Sedang rhum, mengandung alkohol cukup tinggi sehingga baunya cukup tajam, biasa dipakai dalam pembuatan kue sus, brownies, dan lain-lain.
Kandungan bahan najis dan haram semacam itu, sulit bahkan ada yang hampir tidak mungkin dideteksi langsung pada produk akhir oleh konsumen. Kecuali melalui penelitian laboratorium dan penelusuran dokumen produksi. Karena itu, umat Islam wajib mensyukuri kehadiran dan peran Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun, lantaran LPPOM MUI tidak berwenang mewajibkan sertifikasi halal kepada produsen maupun pedagang di Indonesia, maka produk yang baru disertifikasi masihlah sangat minim.
"Sampai saat ini LPPOM MUI baru mensertifikasi sekitar 100 ribu produk dari jutaan produk yang beredar di negara kita," kata Rachmat.
Ia mencontohkan, hasil sosialisasi Wisata Kuliner Halal yang diselenggarakan Halal Watch setiap bulan menunjukkan, rata-rata hanya 1 sampai 2 persen resto yang sudah bersertifikat halal di mal-mal besar di Ibukota. "Yang lainnya tidak otomatis haram, tapi tidak dijamin kehalalannya," tandas Rachmat.
Karena itu, ia mengajak peserta Bilal untuk menjadi agen gerakan penyadaran halal. Caranya, dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Islam, mengetahui titik-titik kritis produk sehari-hari, dan menjadi konsumen yang cerdas serta peduli halal.
Dalam sesi tanya-jawab yang seru, narasumber memberikan wawasan dan tips memilih produk halal. Ia juga memberikan kiat mensosialisasikan pentingnya aspek halal kepada pedagang atau produsen.
Bincang Halal diselenggarakan oleh LAZIS Dewan Dakwah bekerjasama dengan Halal Watch dan Milis Halal-Baik-Enak. Selain mensucikan harta dengan zakat dan infak, LAZIS Dewan Dakwah melalui Bilal ini juga mengajak masyarakat menjaga kesucian produk yang dikonsumsinya.
Perbedaan Pendapat
Polemik tentang keharaman penggunaan bulu babi ternyata tidak difatwakan semua ulama. Menurut Situs Islam Rumaysho.com, beberapa ulama seperti mazhab Malikiyah dan Ibnu Taimiyah menyelisihi pendapat jumhur ulama.
Ibnu Taimiyah misalnya berkata dalam Majmu’ Al Fatawa, 21: 617-619, “Pendapat terkuat, setiap bulu itu suci termasuk bulu anjing, babi, dan selainnya, berbeda halnya dengan air liur. Oleh karenanya bulu anjing yang basah jika terkena baju seseorang, maka tidak ada kewajiban apa-apa. Sebagaimana hal ini yang jadi pegangan mayoritas ulama dalam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua pendapatnya. Dikatakan demikian karena hukum asal sesuatu adalah suci. Tidak boleh dikatakan najis atau haram sampai ada dalil. Bulu sama sekali tidaklah terpengaruh dengan bekas-bekas najis, maka sangat sulit jika bulu tersebut jadi najis. Setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraanya pun sama dalam masalah bulu dengan yang dibicarakan pada bulu anjing. Namun yang lebih tepat bahwa bulu hewan najis itu suci."
Sementara ulama Malikiyah berdalil, bulu adalah sesuatu yang tidak memiliki kehidupan. Najis hanyalah berpengaruh pada bagian tubuh yang bisa berkembang seperti daging, beda halnya dengan bulu atau juga kuku. Asalnya, bulu dari bangkai tetap suci karena bulu tidak bisa merasa atau tidak bisa menderita sakit sehingga tidak bisa dihukumi najis ketika mati. (Lihat pembahasan di atas dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 20: 35 dan 26: 102).
Sedangkan Syaikh Sholih Al Munajjid berpendapat dalam Fatwa Al Islam Sual wal Jawab No. 175729, "tidak mengapa menggunakan kuas dari bulu babi. Tidak ada masalah jika kuas tersebut dalam keadaan basah lalu menyentuh atau mengoles yang lain. Akan tetapi, menghindarinya itu lebih baik supaya keluar dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam." [muslimdaily.com/blog.resistnews.web.id]
"Ibu-ibu, waspadalah, jangan sampai merusak Idul Fitri dengan kue-kue kering yang ternyata diolesi kuning telur dengan menggunakan kuas dari bulu babi," demikian Rachmat O Halawa mengingatkan seratusan jamaah peserta Bincang Halal (Bilal) di Masjid Al Furqon Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat, Ahad (21/7).
Menurut Ketua Halal Watch itu, kuas pengoles kuning telur atau margarin bisa berasal dari bulu imitasi, bulu kuda, atau bulu babi. "Kuas bulu impor biasanya dari bulu telinga atau bulu tengkuk babi," ungkap Rachmat, sambil memberikan tips untuk membedakan bulu imitasi dan bulu dari binatang dengan cara membakar dan mencium baunya.
Ia mengatakan, jumhur ulama sepakat, seluruh bagian babi adalah najis dan tidak boleh dimanfaatkan untuk konsumsi maupun pemakaian luar tubuh seperti kosmetika, perhiasan, sepatu, dan pakaian. "Kalau tubuh kita tercemar produk yang mengandung babi, maka harus disucikan sebagaimana jika terkena babi secara langsung," imbuh Rachmat.
Pemaparan pembicara membuat banyak ibu tercekat. Mereka tak menyangka, karena selama ini mengaku tak peduli pada asal-usul bulu kuas pengoles kue.
Keterperanjatan kaum ibu tak berhenti di situ. Rachmat juga mengungkapkan khamr dalam bentuk penyedap masakan dan bahan tambahan pangan sudah membudaya, misalnya penggunaan angciu dan rhum.
Angciu, jelas Rachmat, adalah arak merah yang biasa digunakan dalam tumisan, rebusan, maupun gorengan makanan kudapan. "Bahkan cireng (aci goreng) pun saya temukan mengunakan angciu di sebuah kedai terkenal di Cibubur," kata Rachmat yang tinggal di kawasan Cibubur, Jakarta Timur.
Sedang rhum, mengandung alkohol cukup tinggi sehingga baunya cukup tajam, biasa dipakai dalam pembuatan kue sus, brownies, dan lain-lain.
Kandungan bahan najis dan haram semacam itu, sulit bahkan ada yang hampir tidak mungkin dideteksi langsung pada produk akhir oleh konsumen. Kecuali melalui penelitian laboratorium dan penelusuran dokumen produksi. Karena itu, umat Islam wajib mensyukuri kehadiran dan peran Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun, lantaran LPPOM MUI tidak berwenang mewajibkan sertifikasi halal kepada produsen maupun pedagang di Indonesia, maka produk yang baru disertifikasi masihlah sangat minim.
"Sampai saat ini LPPOM MUI baru mensertifikasi sekitar 100 ribu produk dari jutaan produk yang beredar di negara kita," kata Rachmat.
Ia mencontohkan, hasil sosialisasi Wisata Kuliner Halal yang diselenggarakan Halal Watch setiap bulan menunjukkan, rata-rata hanya 1 sampai 2 persen resto yang sudah bersertifikat halal di mal-mal besar di Ibukota. "Yang lainnya tidak otomatis haram, tapi tidak dijamin kehalalannya," tandas Rachmat.
Karena itu, ia mengajak peserta Bilal untuk menjadi agen gerakan penyadaran halal. Caranya, dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Islam, mengetahui titik-titik kritis produk sehari-hari, dan menjadi konsumen yang cerdas serta peduli halal.
Dalam sesi tanya-jawab yang seru, narasumber memberikan wawasan dan tips memilih produk halal. Ia juga memberikan kiat mensosialisasikan pentingnya aspek halal kepada pedagang atau produsen.
Bincang Halal diselenggarakan oleh LAZIS Dewan Dakwah bekerjasama dengan Halal Watch dan Milis Halal-Baik-Enak. Selain mensucikan harta dengan zakat dan infak, LAZIS Dewan Dakwah melalui Bilal ini juga mengajak masyarakat menjaga kesucian produk yang dikonsumsinya.
Perbedaan Pendapat
Polemik tentang keharaman penggunaan bulu babi ternyata tidak difatwakan semua ulama. Menurut Situs Islam Rumaysho.com, beberapa ulama seperti mazhab Malikiyah dan Ibnu Taimiyah menyelisihi pendapat jumhur ulama.
Ibnu Taimiyah misalnya berkata dalam Majmu’ Al Fatawa, 21: 617-619, “Pendapat terkuat, setiap bulu itu suci termasuk bulu anjing, babi, dan selainnya, berbeda halnya dengan air liur. Oleh karenanya bulu anjing yang basah jika terkena baju seseorang, maka tidak ada kewajiban apa-apa. Sebagaimana hal ini yang jadi pegangan mayoritas ulama dalam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua pendapatnya. Dikatakan demikian karena hukum asal sesuatu adalah suci. Tidak boleh dikatakan najis atau haram sampai ada dalil. Bulu sama sekali tidaklah terpengaruh dengan bekas-bekas najis, maka sangat sulit jika bulu tersebut jadi najis. Setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraanya pun sama dalam masalah bulu dengan yang dibicarakan pada bulu anjing. Namun yang lebih tepat bahwa bulu hewan najis itu suci."
Sementara ulama Malikiyah berdalil, bulu adalah sesuatu yang tidak memiliki kehidupan. Najis hanyalah berpengaruh pada bagian tubuh yang bisa berkembang seperti daging, beda halnya dengan bulu atau juga kuku. Asalnya, bulu dari bangkai tetap suci karena bulu tidak bisa merasa atau tidak bisa menderita sakit sehingga tidak bisa dihukumi najis ketika mati. (Lihat pembahasan di atas dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 20: 35 dan 26: 102).
Sedangkan Syaikh Sholih Al Munajjid berpendapat dalam Fatwa Al Islam Sual wal Jawab No. 175729, "tidak mengapa menggunakan kuas dari bulu babi. Tidak ada masalah jika kuas tersebut dalam keadaan basah lalu menyentuh atau mengoles yang lain. Akan tetapi, menghindarinya itu lebih baik supaya keluar dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam." [muslimdaily.com/blog.resistnews.web.id]
