Soal:
Ada sebagian pihak yang mempersoalkan QS. an-Nur: 55 yang berisi janji Allah tentang akan berdirinya kembali Khilafah, dengan menyatakan, bahwa janji tersebut sudah berlalu bagi Nabi saw. dan para Sahabat, sehingga tidak akan terjadi lagi. Benarkah demikian?
Jawab:
Pertama: al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw., berisi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat. Itu artinya, al-Quran, tidak hanya berlaku untuk zaman Nabi dan para sahabat, tetapi hingga akhir zaman. Karena itu, meski ada momentum tertentu yang terjadi pada zaman itu, dan karenanya ayat atau surat tertentu diturunkan, ayat atau surat itu tidak hanya berlaku untuk saat itu, jika maknanya umum. Dari sinilah para ulama kemudian menggariskan kaidah:
Sebagai contoh, ayat li’an (QS an-Nur [24]: 6) yang diturunkan terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarîk bin Sahmâ’.[1] Meski peristiwanya terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah dan istrinya, ayat ini berlaku umum, dan tetap berlaku hingga Hari Kiamat.
Kedua: seruan (khithâb) yang dinyatakan oleh Allah kepada Nabi saw., tidak hanya berlaku untuk beliau, tetapi juga berlaku bagi umatnya, kecuali apa yang ditetapkan sebagai kekhususan bagi Nabi saw.[2] Dalam hal ini, para ulama menyatakan:
Ketiga: mengenai QS an-Nur [24] ayat 55:
Al-‘Allâmah al-Qurthûbî menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. dan para sahabat saat mereka mengeluhkan beratnya perjuangan memerangi musuh hingga nyaris tak pernah meletakkan senjata. Lalu Allah pun menurunkan ayat ini, dan memenangkan Nabi-Nya atas seluruh Jazirah Arab. Mereka pun bisa meletakkan senjata dan hidup aman.[4]
Meski demikian, janji yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam ayat ini tidak hanya untuk Nabi saw. dan para Sahabat, tetapi juga berlaku untuk seluruh umat Muhammad saw. sepeninggal mereka.[5] Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî menyatakan:
Keumuman cakupan janji Allah tersebut tampak dari shîghat yang digunakan di dalam ayat tersebut, antara lain: “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât” (orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian), serta kata ganti (dhamîr) yang berbentuk jamak, “hum” (mereka) yang kembali kepada “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât”. Karena itu, menurut ar-Razi, ayat ini berlaku bagi orang-orang yang mengumpulkan sifat “iman dan amal salih” dalam dirinya.[7] Bahkan dengan tegas Imam al-Baidhâwî menyatakan, bahwa ini merupakan khithâb (seruan) untuk Rasul saw. dan umatnya.[8]
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan, bahwa janji Allah di dalam QS an-Nûr [24]: 55 ini telah dipenuhi oleh Allah SWT dengan memberikan kekuasaan kepada Nabi saw. dan para sahabat memang benar. Namun, tidak berarti menafikan keumuman janji tersebut bagi generasi berikutnya. Buktinya, negara yang diwariskan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu, yaitu Khilafah Islam, telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga negara itu dihancurkan tahun 1924 M.
Demikian juga, setelah janji tersebut dipenuhi oleh Allah SWT kepada generasi sebelum kita, tidak berarti janji tersebut tidak lagi berlaku untuk kita, khususnya setelah negara yang didirikan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu telah tiada. Sebaliknya, janji itu tetap berlaku hingga Hari Kiamat, yang akan diberikan kepada orang yang memenuhi kriteria, “beriman dan beramal salih”, sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Râzî, al-Baidhâwî hingga as-Syaukânî, dan para mufassir lain.
Apalagi jika kita melihat makna ayat di atas, misalnya:
Para mufassir menyatakan, bahwa makna “yumakkinanna lahum dînahum” (Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka) adalah kemenangan Islam atas agama-agama lain. Dalam konteks kemenangan Islam atas Yahudi, Nasrani, Majusi dan Paganisme jelas janji ini telah dipenuhi oleh Allah SWT. Namun, dalam konteks kemenangan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme jelas belum. Padahal isme-isme tersebut termasuk dalam cakupan “dîn” yang dimaksud oleh ayat ini. Ini artinya, janji Allah di dalam ayat tersebut juga meliputi janji memenangkan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme.
Demikian juga makna kalimat berikutnya:
Kondisi orang yang beriman dan beramal shalih saat ini tidak seperti yang dinyatakan dalam ayat tersebut yang bisa hidup aman, tidak diliputi ketakutan dan kecemasan, serta menjalankan agama mereka dengan aman, tidak dipaksa untuk menyekutukan Allah dengan yang lain. Sebaliknya, mereka semuanya hidup di dalam dâr al-kufur, dan dipaksa oleh rezim boneka untuk menjalankan sistem kufur, menyukutukan Allah dalam aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, sanksi hukum, dan sebagainya. Ini juga membuktikan, bahwa janji Allah tersebut tetap berlaku bagi kita.
Yang perlu dicatat, janji Allah untuk memberikan kemenangan dan kedaulatan kepada Islam, keamanan dan kedamaian kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, berupa waw, yang berarti, tartîb (urut). Kalimat “wa layumakkinanna lahum” dan “wa layubaddilannahum” jatuh setelah kalimat “la yastakhlifannahum” (benar-benar Dia akan memberikan kekuasaan [Khilafah] kepada mereka). Ini artinya, bahwa janji kemenangan dan kedaulatan Islam, keamanan dan kedamaian itu terwujud setelah berdirinya Khilafah. Urut-urutannya demikian, yaitu Khilafah berdiri, baru Islam teguh dan menang, kemudian hidup menjadi aman dan damai.
Tarkîb (konstruksi) kalimat ayat tersebut sekaligus menjelaskan kepada kita, bahwa Islam tidak mungkin tegak dan berdaulat, tanpa Khilafah. Demikian juga, tidak mungkin kaum Muslim bisa mengenyam kehidupan yang aman dan damai, kecuali dalam naungan Khilafah.
WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
Ada sebagian pihak yang mempersoalkan QS. an-Nur: 55 yang berisi janji Allah tentang akan berdirinya kembali Khilafah, dengan menyatakan, bahwa janji tersebut sudah berlalu bagi Nabi saw. dan para Sahabat, sehingga tidak akan terjadi lagi. Benarkah demikian?
Jawab:
Pertama: al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw., berisi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat. Itu artinya, al-Quran, tidak hanya berlaku untuk zaman Nabi dan para sahabat, tetapi hingga akhir zaman. Karena itu, meski ada momentum tertentu yang terjadi pada zaman itu, dan karenanya ayat atau surat tertentu diturunkan, ayat atau surat itu tidak hanya berlaku untuk saat itu, jika maknanya umum. Dari sinilah para ulama kemudian menggariskan kaidah:
«اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ»
Yang menjadi patokan makna adalah mengikuti keumuman lafal, bukan berdasarkan sebabnya yang spesifik. Sebagai contoh, ayat li’an (QS an-Nur [24]: 6) yang diturunkan terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina dengan Syarîk bin Sahmâ’.[1] Meski peristiwanya terkait dengan kasus Hilâl bin Umayyah dan istrinya, ayat ini berlaku umum, dan tetap berlaku hingga Hari Kiamat.
Kedua: seruan (khithâb) yang dinyatakan oleh Allah kepada Nabi saw., tidak hanya berlaku untuk beliau, tetapi juga berlaku bagi umatnya, kecuali apa yang ditetapkan sebagai kekhususan bagi Nabi saw.[2] Dalam hal ini, para ulama menyatakan:
«خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأِمَّتِهِ»
Seruan untuk Rasul saw. merupakan seruan yang juga berlaku bagi umatnya.[3]Ketiga: mengenai QS an-Nur [24] ayat 55:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ
الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ
بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٥٥﴾
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar
(keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan dengan
sesuatu pun. Siapa saja yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka
itulah orang-orang yang fasik. Al-‘Allâmah al-Qurthûbî menyatakan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. dan para sahabat saat mereka mengeluhkan beratnya perjuangan memerangi musuh hingga nyaris tak pernah meletakkan senjata. Lalu Allah pun menurunkan ayat ini, dan memenangkan Nabi-Nya atas seluruh Jazirah Arab. Mereka pun bisa meletakkan senjata dan hidup aman.[4]
Meski demikian, janji yang dinyatakan oleh Allah SWT di dalam ayat ini tidak hanya untuk Nabi saw. dan para Sahabat, tetapi juga berlaku untuk seluruh umat Muhammad saw. sepeninggal mereka.[5] Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî menyatakan:
«هَذِهِ الْجُمْلَةُ مُقَرِّرَةٌ لِمَا
قَبْلَـهَا مِنْ أَنَّ طَاعَتَهُمْ لِرَسُوْلِ اللَّـهِ [صلم] سَبَبٌ
لِـهِدَايَتِهِمْ، وَهَذَا وَعْدٌ مِنَ اللَّـهِ سُبْحَانَهُ لِمَنْ آمَنَ
بِاللَّـهِ، وَعَمِلَ الأَعْمَالَ الصَّالِحَاتِ بِالاِسْتِخْلاَفِ لَـهُمْ
فِي الأَرْضِ لِمَا اِسْتَخْلَفَ الذِّيْنَ مِنْ قَبْلِـهِمْ مِنَ
الأُمَمِ، وَهُوَ وَعْدٌ يَعُمُّ جَمِيْعَ الأُمَّةِ. وَقِيْلَ: هُوَ
خَاصٌّ بِالصَّحَابَةِ، وَلاَ وَجْهَ لِذَلِكَ، فَإِنَّ الإيْمَانَ،
وَعَمِلَ الصَّالِحَاتِ لاَ يُخْتَصُّ بِهِمْ، بَلْ يُمْكِنُ وُقُوْعُ
ذَلِكَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ، وَمَنْ عَمِلَ بِكِتَابِ
اللَّـهِ، وَسُنَّةِ رَسُوْلِـِه، فَقَدْ أَطاَعَ اللَّـهَ وَرَسُوْلَـهُ»
Kalimat ini menegaskan apa yang dinyatakan sebelumnya, bahwa
ketaatan mereka kepada Rasulullah saw. merupakan sebab bagi mereka
mendapatkan hidayah. Ini merupakan janji dari Allah SWT bagi siapa saja
yang beriman kepada Allah dan beramal salih untuk memberikan kekuasaan
(Khilafah) di muka bumi kepada mereka, sebagaimana Dia memberikan
kekuasaan kepada umat-umat sebelum mereka. Ini merupakan janji yang
berlaku umum untuk seluruh umat. Ada yang mengatakan, “Ini khusus untuk
sahabat.” Namun, tidak ada alasan untuk mengartikan demikian, karena
iman dan amal salih itu tidak hanya khusus untuk mereka. Sebaliknya,
janji itu bisa berlaku bagi tiap umat, dan siapa saja yang mengamalkan
Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya. dia sejatinya telah mentaati Allah dan
Rasul-Nya.[6] Keumuman cakupan janji Allah tersebut tampak dari shîghat yang digunakan di dalam ayat tersebut, antara lain: “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât” (orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian), serta kata ganti (dhamîr) yang berbentuk jamak, “hum” (mereka) yang kembali kepada “al-Ladzîna âmanû minkum wa ‘amilû as-shâlihât”. Karena itu, menurut ar-Razi, ayat ini berlaku bagi orang-orang yang mengumpulkan sifat “iman dan amal salih” dalam dirinya.[7] Bahkan dengan tegas Imam al-Baidhâwî menyatakan, bahwa ini merupakan khithâb (seruan) untuk Rasul saw. dan umatnya.[8]
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan, bahwa janji Allah di dalam QS an-Nûr [24]: 55 ini telah dipenuhi oleh Allah SWT dengan memberikan kekuasaan kepada Nabi saw. dan para sahabat memang benar. Namun, tidak berarti menafikan keumuman janji tersebut bagi generasi berikutnya. Buktinya, negara yang diwariskan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu, yaitu Khilafah Islam, telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga negara itu dihancurkan tahun 1924 M.
Demikian juga, setelah janji tersebut dipenuhi oleh Allah SWT kepada generasi sebelum kita, tidak berarti janji tersebut tidak lagi berlaku untuk kita, khususnya setelah negara yang didirikan oleh Nabi saw. dan para Sahabat itu telah tiada. Sebaliknya, janji itu tetap berlaku hingga Hari Kiamat, yang akan diberikan kepada orang yang memenuhi kriteria, “beriman dan beramal salih”, sebagaimana yang dinyatakan oleh ar-Râzî, al-Baidhâwî hingga as-Syaukânî, dan para mufassir lain.
Apalagi jika kita melihat makna ayat di atas, misalnya:
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ
(Dia) sungguh-sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka.Para mufassir menyatakan, bahwa makna “yumakkinanna lahum dînahum” (Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka) adalah kemenangan Islam atas agama-agama lain. Dalam konteks kemenangan Islam atas Yahudi, Nasrani, Majusi dan Paganisme jelas janji ini telah dipenuhi oleh Allah SWT. Namun, dalam konteks kemenangan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme jelas belum. Padahal isme-isme tersebut termasuk dalam cakupan “dîn” yang dimaksud oleh ayat ini. Ini artinya, janji Allah di dalam ayat tersebut juga meliputi janji memenangkan Islam atas Kapitalisme, Sosialisme dan Komunisme.
Demikian juga makna kalimat berikutnya:
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ
(Dia) benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka
dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan
tiada mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Kondisi orang yang beriman dan beramal shalih saat ini tidak seperti yang dinyatakan dalam ayat tersebut yang bisa hidup aman, tidak diliputi ketakutan dan kecemasan, serta menjalankan agama mereka dengan aman, tidak dipaksa untuk menyekutukan Allah dengan yang lain. Sebaliknya, mereka semuanya hidup di dalam dâr al-kufur, dan dipaksa oleh rezim boneka untuk menjalankan sistem kufur, menyukutukan Allah dalam aspek politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, sanksi hukum, dan sebagainya. Ini juga membuktikan, bahwa janji Allah tersebut tetap berlaku bagi kita.
Yang perlu dicatat, janji Allah untuk memberikan kemenangan dan kedaulatan kepada Islam, keamanan dan kedamaian kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih tersebut dihubungkan dengan huruf ‘athaf, berupa waw, yang berarti, tartîb (urut). Kalimat “wa layumakkinanna lahum” dan “wa layubaddilannahum” jatuh setelah kalimat “la yastakhlifannahum” (benar-benar Dia akan memberikan kekuasaan [Khilafah] kepada mereka). Ini artinya, bahwa janji kemenangan dan kedaulatan Islam, keamanan dan kedamaian itu terwujud setelah berdirinya Khilafah. Urut-urutannya demikian, yaitu Khilafah berdiri, baru Islam teguh dan menang, kemudian hidup menjadi aman dan damai.
Tarkîb (konstruksi) kalimat ayat tersebut sekaligus menjelaskan kepada kita, bahwa Islam tidak mungkin tegak dan berdaulat, tanpa Khilafah. Demikian juga, tidak mungkin kaum Muslim bisa mengenyam kehidupan yang aman dan damai, kecuali dalam naungan Khilafah.
WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
[1] Al-Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XII/182.
[2] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, III/246-247; Abû al-Hayyân al-Andalûsi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, Dâr al-Fikr, Beirut, IV/204.
[3] Contoh: QS al-Ahzâb [33]: 50. Lihat: al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Ibid, III/247.
[4] Al-Qurthûbî, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XII/297.
[5] Muhammad Amîn as-Syinqîthî, Adhwâ’ al-Bayân, Dâr ‘Alam al-Kutub, Beirut, VI/126.
[6] Al-‘Allâmah al-Hâfidh as-Syaukânî, Tafsîr al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, IV/43.
[7] Al-Fakhr ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, XXIV/415.
[8] Al-Baidhâwî, Tafsîr al-Baidhâwi, Dâr al-Fikr, Beirut, IV/196.