-->

Refleksi Pemikiran Natsir, Islam Satu-satunya Harapan

Pertengahan Juli lalu saya berkesempatan menghadiri acara “Refleksi Pemikiran dan Etika Politik Negarawan Mohammad Natsir” di aula Al-Azhar, Jakarta. Pada acara tersebut banyak disampaikan kesan tentang Pak Natsir dan pemikirannya dari berbagai pihak. Di antaranya Jimly Assidiqi (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Bachtiar Chamsah (mantan Menteri Sosial), AM Fatwa, AM Luthfi dan KH Abdurrasyid Abdullah Syafii.
Dalam kesempatan itu saya berkesempatan menyampaikan pandangan. Saya menyampaikan beberapa kutipan dari buku Pak Natsir yang berjudul Capita Selekta. Di hadapan para tokoh saya mengatakan bahwa Pak Natsir itu memandang hukum yang harus diterapkan adalah syariah Islam. “Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan ‘kesempurnaan’ berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat.” (hlm. 442). Bahkan beliau menjelaskan bahwa yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tatacara pelaksanaan hukum Islam (syariah Islam) (hal. 452). Jelas, yang harus diterapkan adalah hukum Islam, bukan hukum manusia sebagaimana dalam demokrasi.
Pada sisi lain, saya menyampaikan juga pandangan beliau bahwa demokrasi itu memiliki bahaya internal yang dibawa dalam dirinya. “Perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi, demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya,” begitu saya kutipkan ungkapan beliau dalam buku tersebut halaman 453.
“Oleh sebab itu, kita harus mengambil pelajaran bahwa tidak selayaknya tokoh Islam menyerukan demokrasi. Sebab, benar kata Pak Natsir, bahwa pelbagai sifat bahaya melekat dalam demokrasi,” tambah saya.
Demokrasi memang semu.Sekadar menyebut, atas nama demokrasi kaum Muslim Rohingya, Myanmar, tak diperlakukan layaknya manusia. Setelah puluhan tahun mengalami diskriminasi, kaum Rohingya kini tidak punya negara atau stateless. Myanmar pun membatasi gerak mereka dan  tidak memberi hak atas tanah, pendidikan dan layanan publik. Mereka tidak diterima di sana-sini. Anehnya, para penguasa Muslim diam seribu bahasa. Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar dan lokasinya sangat dekat dengan Myanmar bungkam. Padahal yang sedang terjadi adalah pemberangusan etnis alias genosida. Menarik apa yang disampaikan anggota Komisi I DPR RI, Sidarto Danusubroto kepada saya, “Pemerintah tidak berdaya dan terkesan melakukan pembiaran terhadap genosida ini.” Padahal, lanjutnya, “Indonesia sebagai ketua Asean harus bersikap untuk menghentikan genosida terhadap Muslim Rohingya.”
Penguasa Muslim memang tak peduli. Jangankan kepada Muslim di negara lain, rakyat Muslim di negerinya sendiri saja sering dizalimi. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, menyampaikan kegeramannya terkait masalah genosida di Myanmar ini. “Penguasa Muslim kebanyakan imannya lemah, sekular atau munafik,” katanya kepada saya. Pak Rokhmin segera menambahkan, “Sistem kehidupan Kapitalisme atau buatan manusia lainnya memang membuat peluang Muslim yang sejati, imtaqnya kuat dan benar menjadi kecil sekali.”
Beginilah ketika kaum Muslim tidak menerapkan Islam. Padahal bukankah kata Nabi saw., kaum Muslim itu saudaranya Muslim yang lain? Itulah hasil dari nasionalisme. Umat Islam dibantai pun dibiarkan hanya dengan alasan, beda negara. Demikianlah demokrasi, dengan alasan kebijakan pemerintah dan didukung oleh rakyat di sana, nyawa kaum Muslim melayang dan larangan bagi mereka untuk hidup seakan legal. Padahal bukankah Allah SWT berfirman yang maknanya: Siapa saja yang membunuh satu jiwa bukan karena ia membunuh jiwa atau berbuat kerusakan di bumi maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya (TQS al-Maidah [5]:32).
Harapan satu-satunya hanya pada Islam. Ahmad Michdan, Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) menyampaikan harapannya, “Semoga menjadi pelajaran bagi kaum Muslim, tentu diiringi doa agar para korban mendapatkan husnul khatimah.”
Beliau segera melanjutkan, “Kejadian ini harus menjadi renungan agar Islam meraih kekuasaan untuk mengatur dan memimpin kehidupan dunia sehingga kekejaman serta kezaliman tidak terjadi di dunia. Sebaliknya, yang terjadi adalah keadilan untuk seluruh umat manusia.”
Memang, satu-satunya harapan adalah adanya khalifah, pemimpin umat Islam sedunia. Dia yang akan membela setiap darah umat Islam. Dia pula yang akan menjaga penerapan hukum Islam. Penting kita renungkan, belumkah tiba saatnya bagi kita semua untuk menerapkan Islam secara kaffah? Ataukah kita ingin al-Quran ini menjadi saksi dan bukti yang memberatkan bagi kita? Lupakah kita bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Al-Quran itu merupakan pemberi syafaat dan benar isinya. Siapa saja yang menjadikan al-Quran sebagai imamnya niscaya ia akan memandunya menuju surga. Sebaliknya, siapa saja menjadikan al-Quran di belakang punggungnya (tidak diterapkan) maka ia akan menjebloskannya ke dalam neraka.” (HR Ibnu Hibban).
Sabda Nabi saw. tersebut menjelaskan bahwa al-Quran itu harus didudukkan sebagai imam, yakni untuk diikuti. Apapun kata al-Quran harus diterapkan. Siapa saja yang menjadikan al-Quran sebagai imam dengan cara menerapkan hukumnya dalam kehidupannya maka al-Quran itu akan menjadi saksi dan bukti yang meringankan, bahkan membela. Sebaliknya, siapapun orang yang mengabaikan hukum Islam yang sumber utamanya adalah al-Quran, apalagi mencampakkannya, dan menggantikannya dengan hukum buatan manusia seperti demokrasi, maka bagi mereka al-Quran akan menjadi saksi dan bukti yang memberatkan.
Ironis. Selama Ramadhan, kita membaca al-Quran, tetapi mengapa hukum yang terdapat di dalam al-Quran justru diabaikan? Selama Ramadhan kita berdoa untuk dapat masuk surga, namun mengapa maksiat dengan cara tidak menerapkan hukum syariah Islam terus dilakukan. Padahal kalau ini dilakukan berarti hakikatnya kita enggan masuk surga. Bukankah Rasulullah SAW bersabda, “Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan itu, wahai Rasulallah?” Beliau menjawab, “Siapa saja yang menaati aku akan masuk surga. Siapa saja yang bermaksiat kepada diriku, itulah orang yang enggan masuk surga.” (HR al-Bukhari). WalLâhu a’lam.[ Muhammad Rahmat Kurnia]