Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah hari-hari yang paling dinanti kaum muslimin. Di salah satu malam dari sepuluh malam terakhir, terdapat malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Tak terkecuali para muslimah, mereka juga mengincar pahala besar yang disimpan dalam malam mulia tersebut.
Sayangnya, banyak kendala yang dirasakan perempuan dalam menggapai malam lailatul qadar. Dari kesibukan mempersiapkan lebaran beserta segala pernak-perniknya, kesibukan mudik, mengurus anak-anak yang masih kecil, sampai kedatangan tamu bulanan yang mengharuskan mereka berhenti dari shalat, membaca Al Qur’an atau I’tikaf. Lantas bagaimana perempuan bisa sempurna menggapai lailatul qadar?
Lailatul Qadar Juga bagi Perempuan
Di masyarakat saat ini, nampak suatu kecenderungan mengidentikkan Idul Fitri dengan ajang “balas dendam “, berpesta makanan setelah sebulan menahan diri dari haus dan lapar. Begitu juga Idul Fitri identik dengan baju baru, penampilan rumah yang baru dan rutinitas mudik yang semata-mata show of successity.
Semua kecenderungan tersebut membutuhkan energi besar, waktu dan dana tak sedikit. Maka bisa kita lihat, bagaimana perempuan lebih sibuk berbelanja, membuat kue, dan mendandani rumah daripada memfokuskan diri dengan ibadah.
Memang benar, membuat kue dan hidangan lebaran untuk menjamu tamu yang akan berkunjung Insya Allah juga akan berpahala saat kita niatkan untuk memuliakan tamu sebagaimana perintah Rasulullah saw :
“…dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari-Muslim).
Namun, kesempatan meraih pahala malam Lailatul Qadar, sungguh teramat sayang untuk dilewatkan. Pahala yang dijanjikan Allah untuk amal-amal di malam tersebut adalah pahala 1000 bulan, bahkan lebih baik dari itu.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ [٩٧:٣]
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr :3)Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya bulan yang mulia ini telah datang kepada kalian. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa terhalang dari mendapatkannya, niscaya telah terhalang dari mendapatkan seluruh kebaikan. Dan tiada orang yang terhalang dari mendapatkannya kecuali orang-orang yang merugi.” (HR Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh Al-Albani).
Karena itulah, seharusnya perempuan juga ikut berusaha untuk fokus mendapatkan malam kemuliaan ini. Membuat kue dan berbagai hidangan lebaran hendaknya secukupnya saja. Bila perlu bisa beli atau pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Kalaupun mau membuat, sebaiknya dibuat sebelum sepuluh hari terakhir atau sebelum Ramadhan untuk kue-kue kering. Begitupun masalah baju lebaran dan pernak-pernik rumah, kita usahakan sudah beres sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Amalan Fardhu yang Didahulukan
Umumnya saat memasuki sepuluh hari terakhir, fokus ibadah kita adalah hal-hal yang sifatnya sunnah seperti shalat malam dan membaca Al Qur’an. Kadang, hal yang fardlu malah tidak kita perhitungkan. Padahal, Rasulullah saw menyatakan bahwa menunaikan yang fardlu di bulan Ramadhan pahalanya seperti 70 kali fardlu di bulan lain. Bila kita lakukan di malam lailatul qadr, maka pahalanya akan menjadi seribu kali lipat.
Shalat lima waktu jelas fardlu. Maka menunaikan shalat ini dengan khusyu’, memperpanjang bacaan surat, memperpanjang ruku’ dan sujud perlu kita upayakan untuk mendapatkan pahala yang sempurna.
Ada lagi amalan fardlu perempuan yang sering tidak diperhitungkan. Berbakti pada orangtua bagi anak perempuan, serta menjadi ibu dan pengatur rumahtangga bagi seorang istri. Berbakti pada orangtua adalah hal yang sangat besar pahalanya. Allah SWT berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya…” (QS Al Ankabuut : 8).Ibnu Abbas pernah didatangi oleh seseorang yang telah membunuh dan ingin bertaubat. Ia menanyakan kepada orang tersebut apakah masih memiliki ibu atau tidak. Ibnu Abbas menjelaskan kenapa ia menanyakan tentang ibunya dengan perkataannya :
“Aku tidak mengetahui tentang amalan yang paling mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala selain berbakti kepada ibu.” (HR Baihaqi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albany).
Maka membahagiakan orang tua, meringankan bebannya, dan membantu menyelesaikan permasalahan orangtua ada pahala yang besar, yang bila dilakukan di malam lailatul qadr akan mendapat ganjaran seribu kali lipat.
Begitu pula seorang istri yang melayani suami dengan sebaik-baiknya, mentaati perintahnya, menyiapkan semua keperluan puasa dan ibadah lainnya, seperti menyiapkan buka dan sahurnya, menjaga rumah dan anak-anaknya saat suami beri’tikaf, semua dapat menjadi amal yang berpahala.
Istri tidak perlu merasa iri dengan kesempatan yang dimiliki oleh suami, yang seolah-olah dapat mengumpulkan pahala lebih banyak saat berada di rumah. Suami bisa leluasa membaca Al Qur’an, shalat berjamaah di masjid dan melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Sementara istri harus berkutat dengan tugasnya: memasak, mencuci, mengurus anak-anak, dan membereskan rumah. Insya Allah, semua yang dikerjakan istri dalam rumahtangganya akan mendapat balasan sepadan dengan amal para suami, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw saat Asma’ binti Yazid mengadukan keresahan hatinya tentang hal tersebut.
Karena itu, para istri dan ibu tidak perlu khawatir tidak mendapat pahala Lailatul Qadar bila tersibukkan dengan anak-anak, seperti ibu yang masih menyusui atau ibu yang harus menjaga anaknya yang sedang sakit. Rasulullah saw bersabda :
“Apakah tidak rela seorang dari kamu wahai wanita, bahwasanya apabila dia hamil dari suaminya sedang suaminya ridla padanya, dia memperoleh pahala seperti pahala orang berpuasa yang aktif berjihad di jalan Allah. Apabila dia merasa sakit (akan melahirkan), maka penduduk langit dan bumi belum pernah melihat pahala yang disediakan padanya dari pandangan mata (sangat menyenangkan). Maka ketika ia telah melahirkan, tiadalah keluar seteguk susu dan anaknya menyusu setegukmelainkan setiap teguk itu berpahala satu kebaikan. Dan jika ia tidak tidur semalam (menjaga anaknya)maka ia mendapatkan pahala seperti pahala memerdekakan tujuh puluh budak di jalan Allah dengan ikhlas.”
(HR. Al Hasan bin Sufyan, Thabrani dan Ibnu Asakir).
Nasihat Rasulullah saw kepada putrinya Fathimah Az Zahra :
“Wahai Fathimah, wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu.
Wahai Fathimah, tiadalah seorang wanita yang meminyaki rambut kepala anak-anaknya lalu menyisirnya dan mencucikan pakaiannya, melainkan Allah pasti menetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberikan pakaian seribu orang yang telanjang.”
Dengan besarnya pahala yang diberikan pada seorang ibu, maka semestinya ia tidak perlu kecewa bila tidak mampu menambah ibadah sunah dengan optimal karena kesibukannya mengurus anak. Ibu yang memiliki anak kecil sehingga tidak dapat tarawih di masjid, tidak berarti kemudian tidak ada tarawih baginya. Ia masih bisa shalat sunnah di rumah setelah anak tidur. Begitupun bila tidak sempat membaca Al Qur’an, ia bisa membaca surat-surat yang dihafalnya sambil mengasuh atau menidurkan anak.
Kewajiban lain yang juga semestinya diperbanyak adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah di jalan Allah. Kedua hal ini telah diwajibkan Allah atas setiap individu dan jama’ah.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS.Ali Imran :110)
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran :104)Mengajarkan agama pada anak-anak adalah dakwah, mengajarkan agama kepada para ibu yang lain adalah dakwah, begitu pula menulis tentang ilmu-ilmu agama untuk dibaca orang lain, menyebarkan buletin atau tulisan dakwah, menyelenggarakan pesantren kilat bagi ibu dan anak, dan sebagainya.
Inilah ibadah-ibadah yang fardlu bagi perempuan. Jangan sampai karena menginginkan menggapai yang sunnah, yang fardlu kemudian diabaikan.
Optimalisasi Ibadah Sunnah
Ibadah sunnah di bulan Ramadhan sebenarnya tidak terbatas pada shalat qiyamurramadhan atau yang lebih kita kenal dengan shalat tarawih, dan tadarus Al Qur’an saja. Memang kedua amalan ini sangat dianjurkan. Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapayang melakukan qiyam Ramadhan dilandasi keimanan dan dalam rangka mencari ridla Allah maka diampuni dosa-dosa yang telah dilakukannya.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasai dan Tirmidzi).
“Seutama-utama ibadah umatku adalah membaca Al Qur’an.” (HR Al Baihaqi).
Sekalipun demikian, masih banyak amalan sunah lain yang dapat kita kerjakan di bulan Ramadhan, terutama sepuluh hari terakhirnya. Amalan-amalan tersebut antara lain :
- Dzikir : dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil dan takbir. Masing-masing bacaan dzikir ini adalah sedekah (HR Muslim), tahmid itu memenuhi timbangan amal, tasbih dan tahmid memenuhi ruang antara langit dan bumi (HR. Muslim).
Bisa juga kita berdzikir dengan menyebut asmaa-ul husna. Dzikir dapat kita lakukan di setiap kesempatan.Bisa sambil mengasuh anak, menyusui, memasak atau mengerjakan pekerjaan rumahtangga lainnya.
- Berdoa, karena bulan Ramadhan adalah bulan diijabahnya doa-doa. Dan doa adalah ibadah yang terbaik. Sampai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa adalah ibadah.” (HR. Tirmizi, 2895, dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi, no. 2370)
- Membaca shalawat untuk Rasulullah saw
- Mengkaji agama, misalnya dengan mempelajari tafsir Al Qur’an, hadist-hadist Rasulullah, fiqh, sirah Rasulullah saw, dsb melalui berbagai sarana yang ada, baik ceramah, membaca buku, internet ataupun melalui media lainnya.
- Bershadaqoh, menyantuni anak yatim, meringankan beban orang lain seperti pembantu, pegawai maupun orang lain di sekitar kita.
- Menjalin silaturahim dengan keluarga yang telah diwajibkan
- Memperbagus akhlak dan menahan diri dari segala kejelekan
I’tikaf bagi Perempuan
I’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat. Hukum I’tikaf adalah sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Aisyah ra menyatakan :
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak beribadah , berdo’a, dan berdzikir ketika itu.
Perempuan boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi syarat: (1) Suci dari haid dan nifas (2) Meminta izin suami (3) Kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumahtangga tidak terbengkalai (4) Tidak menimbulkan fitnah sehingga perempuan yang i’tikaf harus menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.
Amalan Perempuan yang Haid dan Nifas
Adakah perempuan yang sedang haid dan nifas terhalang dari keberkatan lailatul Qadar? Sudah tentu jawabnya tidak, Allah SWT Maha Adil. Perempuan haid dan nifas tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haid, musafir dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331).
Namun karena mereka tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka mereka harus melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat dilakukan ketika itu adalah semua amalan yang telah disebutkan di atas kecuali shalat, membaca Al Qur’an dan I’tikaf. Maka mereka bisa memperbanyak dzikir, berdoa, bershalawat, mempelajari ilmu agama, mengajarkan agama, menyempurnakan tugas mengurus rumahtangga dan mendidik anak-anak, bershadaqah, meringankan beban orang lain, dan seterusnya.
Ini berarti perempuan haid dan nifas tidak lantas duduk-duduk saja, pasrah tidak menjalankan ibadah. Sayang sekali bila kemudian karena haid dan nifas, kita kehilangan malam yang lebih baik dari sebulan, yang datang berkunjung hanya setahun sekali. Belum tentu tahun berikutnya kita masih akan dapat bertemu kembali.
Dan yang penting dipahami bahwa haid dan nifas bukanlah dosa. Keduanya merupakan ketentuan Allah SWT bagi wanita. Sikap ridlo terhadap semua ketentuan Allah termasuk mendapatkan haid di sepuluh hari bulan ramadhan insya Allah termasuk wujud keimanan yang dituntut dimiliki oleh orang beriman. Bahkan keridloan ini senantiasa dimohonkan dalam doa selepas shalat tarawih:
“Allohummaj’alna bil iimaani kaamiliin….., wa bil qodloi roodlin..”
Inilah amal-amal perempuan dalam rangka meraih pahala sebanyak-banyaknya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kesempatan kita dalam menggapai lailatul qadar adalah sama dengan laki-laki. Pun pahala yang sama Insya Allah tersedia untuk kita, jika kita mengupayakan dengan sepenuh upaya yang kita bisa, sesuai kodrat yang telah Allah tetapkan pada kita sebagai seorang perempuan. (Arini Retnaningsih)