blog.resistnews.web.id - Konflik sektarian yang melibatkan Muslim Rohingya
pecah di Myanmar. Komunitas pemeluk Buddha di Indonesia pun meminta agar
kasus tersebut dijauhkan dari unsur agama.
"Secara khusus kami mendesak agar yang pertama, ketegangan yang terjadi segera dipulihkan dan dijauhkan dari unsur agama," ujar pemukan agama Buddha, Bikkhu Dhammakaro Thera.
Hal itu disampaikan di Kantor Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), Plaza Center, Jl Jenderal Sudirman Kav 47, Jakarta, Selasa (7/8) seperti dilansir detikcom.
Bikkhu Dhammakaro juga meminta pemerintah Myanmar segera memberikan status kewarganegaraan Myanmar secara penuh kepada komunitas Muslim Rohingya. Sebab Muslim Rohingya telah menetap selama puluhan bahkan ratusan tahun di negara Myanmar. Karena itu mereka berhak atas status kewarganegaraan yang sama dengan mayoritas warga Myanmar lain.
"Meminta pemerintah Myanmar memberi kemudahan kepada lembaga-lembaga bantuan dari luar Myanmar untuk memberikan bantuan kepada seluruh korban konflik tanpa memandang latar belakang agama," harapnya.
Bikkhu Dhammakaro juga meminta pemerintah Myanmar aktif mempertemukan pemuka-pemuka agama untuk mempererat jalinan kerja sama, dalam menciptakan perdamaian. Myanmar pun diharap memenuhi permintaan itu dengan mempertimbangkan posisinya sebagai bagian dari komunitas ASEAN.
Zainal, pengurus Center of Asian Studies (Cenas) yang hadir dalam acara tersebut mengatakan wajar komunitas Buddha di Indonesia memperhatikan apa yang dialami Muslim Rohingya. Sebab hubungan Buddhis dan Muslim di Indonesia sangat harmonis.
"Selama ini menerapkan multikulturalisme dalam demokrasi di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya, lebih concern lagi di Asia Tenggara. Kami juga mengadakan riset yang diatuangkan dalma buku berjudul 'Berpeluh Berselaras mengenai Harmonisasi Komunitas Buddhis-Muslim'," paparnya.
Jo Priastana, cendekiawan Buddha yang juga hadir pun sepakat apa yang terjadi di Myanmar bukanlah persoalan agama. "Kasus kebijakan pemerintah dalam menangani problem sosial ekonomi dan sosial demografi," terangnya.
Hal yang sama disampailan dr Dharma K Widya dari Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Disampaikannya, segala usaha kemanusiaan pasti akan didukung.
"Kita sebagai manusia mendukung semua upaya apapun demi mengurangi penderitaan sesama makhluk," ucapnya.
Acara itu juga dihadiri Bikhu Jayamedho dari KASI, dr Metasari dari Wanita Theravada Indonesia (Wandani), Gunandana dari Majelis Tridharma Indonesia. Tanagus Dharmawan dari Pemuda Theravada Indonesia (Patria), dan Romo Sumedo dari Forum Dharmaduta DKI.
Kekerasan sektarian yang berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar barat antara warga Buddha Rakhine dan muslim Rohingya telah menewaskan sekitar 80 orang sejak Juni lalu. Bahkan tiga orang tewas dalam kerusuhan yang kembali terjadi pada Minggu, 5 Agustus lalu.
Kekerasan itu dilaporkan dipicu oleh peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Buddha, yang berlanjut dengan pembunuhan 10 orang muslim Rohingya oleh massa Buddha yang marah.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah mengusulkan untuk mengirimkan misi OKI guna menyelidiki pembantaian muslim Rohingya tersebut.
Selama ini pemerintah Myanmar menganggap warga Rohingya yang tinggal di negeri itu sebagai warga asing. Sementara kebanyakan publik Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan memusuhi mereka.
Diperkirakan saat ini sekitar 800 ribu orang Rohingya tinggal di Myanmar. Selama beberapa dekade terus mengalami diskriminasi pemerintah Myanmar, warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. PBB pun menyebut mereka sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia. (arrahmah.com/blog.resistnews.web.id)
"Secara khusus kami mendesak agar yang pertama, ketegangan yang terjadi segera dipulihkan dan dijauhkan dari unsur agama," ujar pemukan agama Buddha, Bikkhu Dhammakaro Thera.
Hal itu disampaikan di Kantor Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), Plaza Center, Jl Jenderal Sudirman Kav 47, Jakarta, Selasa (7/8) seperti dilansir detikcom.
Bikkhu Dhammakaro juga meminta pemerintah Myanmar segera memberikan status kewarganegaraan Myanmar secara penuh kepada komunitas Muslim Rohingya. Sebab Muslim Rohingya telah menetap selama puluhan bahkan ratusan tahun di negara Myanmar. Karena itu mereka berhak atas status kewarganegaraan yang sama dengan mayoritas warga Myanmar lain.
"Meminta pemerintah Myanmar memberi kemudahan kepada lembaga-lembaga bantuan dari luar Myanmar untuk memberikan bantuan kepada seluruh korban konflik tanpa memandang latar belakang agama," harapnya.
Bikkhu Dhammakaro juga meminta pemerintah Myanmar aktif mempertemukan pemuka-pemuka agama untuk mempererat jalinan kerja sama, dalam menciptakan perdamaian. Myanmar pun diharap memenuhi permintaan itu dengan mempertimbangkan posisinya sebagai bagian dari komunitas ASEAN.
Zainal, pengurus Center of Asian Studies (Cenas) yang hadir dalam acara tersebut mengatakan wajar komunitas Buddha di Indonesia memperhatikan apa yang dialami Muslim Rohingya. Sebab hubungan Buddhis dan Muslim di Indonesia sangat harmonis.
"Selama ini menerapkan multikulturalisme dalam demokrasi di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya, lebih concern lagi di Asia Tenggara. Kami juga mengadakan riset yang diatuangkan dalma buku berjudul 'Berpeluh Berselaras mengenai Harmonisasi Komunitas Buddhis-Muslim'," paparnya.
Jo Priastana, cendekiawan Buddha yang juga hadir pun sepakat apa yang terjadi di Myanmar bukanlah persoalan agama. "Kasus kebijakan pemerintah dalam menangani problem sosial ekonomi dan sosial demografi," terangnya.
Hal yang sama disampailan dr Dharma K Widya dari Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Disampaikannya, segala usaha kemanusiaan pasti akan didukung.
"Kita sebagai manusia mendukung semua upaya apapun demi mengurangi penderitaan sesama makhluk," ucapnya.
Acara itu juga dihadiri Bikhu Jayamedho dari KASI, dr Metasari dari Wanita Theravada Indonesia (Wandani), Gunandana dari Majelis Tridharma Indonesia. Tanagus Dharmawan dari Pemuda Theravada Indonesia (Patria), dan Romo Sumedo dari Forum Dharmaduta DKI.
Kekerasan sektarian yang berlangsung di negara bagian Rakhine, Myanmar barat antara warga Buddha Rakhine dan muslim Rohingya telah menewaskan sekitar 80 orang sejak Juni lalu. Bahkan tiga orang tewas dalam kerusuhan yang kembali terjadi pada Minggu, 5 Agustus lalu.
Kekerasan itu dilaporkan dipicu oleh peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Buddha, yang berlanjut dengan pembunuhan 10 orang muslim Rohingya oleh massa Buddha yang marah.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah mengusulkan untuk mengirimkan misi OKI guna menyelidiki pembantaian muslim Rohingya tersebut.
Selama ini pemerintah Myanmar menganggap warga Rohingya yang tinggal di negeri itu sebagai warga asing. Sementara kebanyakan publik Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan memusuhi mereka.
Diperkirakan saat ini sekitar 800 ribu orang Rohingya tinggal di Myanmar. Selama beberapa dekade terus mengalami diskriminasi pemerintah Myanmar, warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. PBB pun menyebut mereka sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia. (arrahmah.com/blog.resistnews.web.id)