blog.resistnews.web.id - Pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyebut konflik
Rohingnya di Myanmar sama seperti konflik Ambon dan Poso, sangat
kontradiktif. JK menyatakan hal itu semata-mata ingin menunjukkan bahwa
dirinya cukup layak menangani kasus Rohingnya, karena pernah menangani
kasus Ambon dan Poso.
Pernyataan itu disampaikan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Farid Wajdi (13/8). "JK mengatakan itu, ingin menunjukkan bahwa dia cukup layak menangani kasus Rohingnya, karena pernah menangani kasus Ambon dan Poso. Padahal penyelesaian kasus Ambon memunculkan bom waktu. Ambon tidak bisa dikatakan benar-benar damai," tegas Farid dikutip itoday.
Menurut Farid Wajdi, pembantaian etnis Muslim Rohingnya berbeda dengan konflik Ambon dan Poso. "Yang terjadi di Poso itu konflik horizontal, bukan penjajahan. Di mana di Poso tidak ada peran pemerintah untuk membela satu pihak. Tindakan pemerintah Myanmar atas etnis Rohingnya adalah penjajahan," tegas Farid.
Farid Wajdi menegaskan, yang terjadi di Myanmar adalah problem penjajahan. Di mana, ada negeri Islam Arakan yang sudah berkuasa tiga abad, dijajah kerajaan Burma. Selama dalam pendudukan Burma, terjadi pembantaian etnis Rohingnya.
Selanjutnya, kata Farid, setelah Burma diduduki Inggris, pembantaian di Arakan terus terjadi. Bahkan, Inggris mempersenjatai orang- orang Budha untuk memerangi Muslim Arakan. Kemudian, setelah Burma memperoleh kemerdekaan dari Inggris, dengan sengaja tidak memasukkan Arakan menjadi bagian dari Burma. Penjajahan terhadap Arakan berlanjut disertai dengan pembantaian dan pengusiran oleh rezim Myanmar.
Farid Wajdi juga memberikan catatan, bahwa hingga saat ini di Ambon belum bisa dikatakan terjadi perdamaian. "Yang terjadi adalah pemisahan. Sehingga sangat gampang untuk meledak. Dua komunitas yang justru terpisah, belum bisa disebut perdamaian. Disebut perdamaian jika dua komunitas hidup bersama melakukan kegiatan bersama," tegas Farid.
Di Poso, kata Farid, juga masih terjadi diskriminasi terhadap umat Islam. " Sampai saat ini yang disebut pejuang Islam masih dikejar dan disebut teroris. Ini jelas sekali perbedaan Rohingnya dengan Poso dan Ambon," tegas Farid.
Lebih lanjut, Farid menegaskan, bahwa solusi penyelesaian kasus Rohingnya adalah memerdekakan Arakan. "Penjajah harus keluar dari Arakan. Jika dilihat, warisan kolonial, penjajah membuat bom-bom waktu yang bisa digunakan kapan saja. Misalnya, Muslim Pattani yang lebih ke Malaysia diarahkan ke Thailand, Moro yg lebih melayu dimasukkan ke Filipina. Itu semacam bom waktu. Di Arakan ada sumber alam yang besar yang menjadi rebutan AS, Cina, dan Inggris.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla mengatakan konflik Rohingya di Myanmar mirip dengan apa yang terjadi pada konflik Poso dan Ambon beberapa waktu lalu. Menurut Kalla, berawal dari konflik orang, kemudian merembet ke konflik komunal dan merembet ke permasalahan agama. (arrahmah.com/blog.resistnews.web.id)
Pernyataan itu disampaikan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Farid Wajdi (13/8). "JK mengatakan itu, ingin menunjukkan bahwa dia cukup layak menangani kasus Rohingnya, karena pernah menangani kasus Ambon dan Poso. Padahal penyelesaian kasus Ambon memunculkan bom waktu. Ambon tidak bisa dikatakan benar-benar damai," tegas Farid dikutip itoday.
Menurut Farid Wajdi, pembantaian etnis Muslim Rohingnya berbeda dengan konflik Ambon dan Poso. "Yang terjadi di Poso itu konflik horizontal, bukan penjajahan. Di mana di Poso tidak ada peran pemerintah untuk membela satu pihak. Tindakan pemerintah Myanmar atas etnis Rohingnya adalah penjajahan," tegas Farid.
Farid Wajdi menegaskan, yang terjadi di Myanmar adalah problem penjajahan. Di mana, ada negeri Islam Arakan yang sudah berkuasa tiga abad, dijajah kerajaan Burma. Selama dalam pendudukan Burma, terjadi pembantaian etnis Rohingnya.
Selanjutnya, kata Farid, setelah Burma diduduki Inggris, pembantaian di Arakan terus terjadi. Bahkan, Inggris mempersenjatai orang- orang Budha untuk memerangi Muslim Arakan. Kemudian, setelah Burma memperoleh kemerdekaan dari Inggris, dengan sengaja tidak memasukkan Arakan menjadi bagian dari Burma. Penjajahan terhadap Arakan berlanjut disertai dengan pembantaian dan pengusiran oleh rezim Myanmar.
Farid Wajdi juga memberikan catatan, bahwa hingga saat ini di Ambon belum bisa dikatakan terjadi perdamaian. "Yang terjadi adalah pemisahan. Sehingga sangat gampang untuk meledak. Dua komunitas yang justru terpisah, belum bisa disebut perdamaian. Disebut perdamaian jika dua komunitas hidup bersama melakukan kegiatan bersama," tegas Farid.
Di Poso, kata Farid, juga masih terjadi diskriminasi terhadap umat Islam. " Sampai saat ini yang disebut pejuang Islam masih dikejar dan disebut teroris. Ini jelas sekali perbedaan Rohingnya dengan Poso dan Ambon," tegas Farid.
Lebih lanjut, Farid menegaskan, bahwa solusi penyelesaian kasus Rohingnya adalah memerdekakan Arakan. "Penjajah harus keluar dari Arakan. Jika dilihat, warisan kolonial, penjajah membuat bom-bom waktu yang bisa digunakan kapan saja. Misalnya, Muslim Pattani yang lebih ke Malaysia diarahkan ke Thailand, Moro yg lebih melayu dimasukkan ke Filipina. Itu semacam bom waktu. Di Arakan ada sumber alam yang besar yang menjadi rebutan AS, Cina, dan Inggris.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla mengatakan konflik Rohingya di Myanmar mirip dengan apa yang terjadi pada konflik Poso dan Ambon beberapa waktu lalu. Menurut Kalla, berawal dari konflik orang, kemudian merembet ke konflik komunal dan merembet ke permasalahan agama. (arrahmah.com/blog.resistnews.web.id)