Kampus sebagai salah satu pencetak kaum intelektual kini mengalami
penurunan fungsi. Globalisasi menuntut beberapa kampus di Indonesia
merubah statusnya menjadi kampus otonomi. Kampus yang sejatinya adalah
tempat di mana para intelek mendapatkan pendidikan berkualitas dan
melakukan riset yang bermanfaat untuk bangsa, berubah menjadi sarana
bisnis untuk menghasilkan profit besar.
Pendidikan Tinggi Ala Kapitalisme
Perguruan Tinggi pada awalnya didanai terutama oleh pajak rakyat (public funding). Hasil karya Perguruan Tinggi yang didanai public funding adalah public goods, bukan private goods. Dengan demikian, publik cenderung lebih mudah mengakses hasil karya Perguruan Tinggi tanpa lisensi yang mahal. Hal ini selaras dengan fungsi Tri Dharma Perguruan Tingggi yang menekankan sinergisitas kampus sebagai institusi pendidik, penelitian sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Namun ternyata, saat ini konsep tersebut telah bergeser. Pendidikan tinggi cenderung diprivatisasi dan dikapitalisasi. Penguatan pada privatisasi pendidikan ini, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Dalam pasal ini secara jelas dikatakan bahwa masyarakat wajib turut serta dalam membiayai pendidikan.
Akibatnya biaya operasional pendidikan tinggi membengkak karena dikelola secara mandiri oleh kampus dan diserahkan kepada swasta. Dengan kata lain, negara mulai berlepas tangan pada masalah pendidikan. Kemudian bermunculan kampus-kampus otonom yang kualitas output lulusannya patut dipertanyakan. Dengan adanya otonomi kampus, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang bisa masuk perguruan tinggi. Sekalipun cerdas dan lulus seleksi melalui undangan ataupun jalur tes, para calon intelektual bangsa ini dihadang dengan biaya mulai jutaan hingga ratusan juta.
Biaya pelatihan masuk perguruan tinggi berkisar Rp 3 juta sampai Rp 40 juta. Biaya tes minimum Rp 1 juta untuk beberapa perguruan tinggi. Sedangkan dana pembangunan minimal Rp 10 juta sampai dengan Rp 100 juta. Bagi calon mahasiswa baru yang lolos tes tulis jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, harus membayar Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan (SPFP) senilai Rp 30 juta. Sementara bila lolos melalui jalur mandiri di Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Unibraw Malang, harus membayar SPFP sebesar Rp 155 juta (www.kompas.com, 02/05/2012).
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah beralihnya riset, yang outputnya benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, menjadi riset-riset yang diinginkan para pengucur dana. Kampus akan lebih memilih sibuk berbisnis untuk keberlangsungan hidupnya daripada berkonsentrasi pada peningkatan mutu intelektual sumber daya manusia yang dimiliki.
Cara Islam Membiayai Pendidikan
Dalam Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan dan membayar gaji para pendidik dengan mempergunakan kas negara (Baitul Mal). Sebagai contohnya, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, pembiayaan pendidikan diambilkan dari hasil pungutan jizyah, kharaj dan usyur (Muhammad, 2002). Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963). Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Sistem Islam Menjamin Kualitas Pendidikan Tinggi
Dalam Islam, setiap orang dituntut untuk menjadi intelektual yang memiliki kecerdasan integral –kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan politik. Penguasaan tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan yang memadai, disertai komitmen memegang prinsip dasar Islam, dibutuhkan seorang intelektual agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan, baik itu masalah pribadi, masalah keluarga, ataupun masalah yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sistem pendidikan yang Islami tentu menjadi hal mutlak diperlukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan ahli di bidangnya. Dalam hal ini, negara yang harus mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang menjamin agar selalu terdapat guru, dosen, perawat, dokter, insinyur, mujtahid, dan tenaga-tenaga lain yang keberadaannya wajib kifayah dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam pencarian Ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline agar selalu berjalan sesuai hukum syara’. Pada masyarakat muslim, penggunaan teknologi pun akan dibatasi oleh hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmatan lil alamin, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.
Adapun mengenai kebijakan riset di negeri Islam, terdapat kebijakan jangka pendek dan jangka panjang yang bisa dilakukan dalam lingkup individu, masyarakat (kelompok) dan negara. Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam. Dalam hal ini, mereka harus memberi teladan melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak kenal lelah menyosialisasikan budaya ilmiah pada masyarakat. Sedangkan peran dari masyarakat (kelompok) adalah mendesakkan agenda-agenda kebijakan ilmiah kepada pemerintah serta mengubah opini masyarakat luas sehingga ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah dari negara nantinya.
Sementara itu, dalam jangka panjang, negara mengambil sejumlah kebijakan yang mampu menciptakan atmosfer yang mendukung kiprah para ilmuwan muslim, menjamin keberlangsungan profesi ilmiah, berikut penghargaannya. Negara memberikan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu dan riset. Negara menyediakan fasilitas (sarana dan prasarana) berupa jaminan pendidikan dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi.
Sejarah ilmu pengetahuan juga mencatat bahwa dunia Islam pernah mencapai penguasaan gemilang di bidang sains dan teknologi. Dapat kita temukan sederet nama ilmuwan masyhur seperti Ibn Battuta (geografi), Ar-Razi (pediatrik), Ibnu Sina (kedokteran), Ibn Al-Haytham (fisika-optik), Banu Musa (teknik), Ibnu Yunus (astronomi), Ibnu Hayyan (kimia), Al Khawarizmi (matematika), dan banyak lagi yang lain. Kecemerlangan ini dapat diperoleh ketika Islam tidak dianggap sekedar agama ritual, namun diterapkan secara menyeluruh (kaaffah) di dalam sebuah sistem negara Khilafah Islamiyah. []
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam. http://khilafah1924.org
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.), 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 1990
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta : ustaka Azzam), 2002
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul 'Ilmi lil Malayin), 1983
Oleh:
Emma Lucya Fitrianty, S.Si (Emma Kaze)
Penulis buku “Lelaki Hermaprodit” dan Konsultan Statistika
Pendidikan Tinggi Ala Kapitalisme
Perguruan Tinggi pada awalnya didanai terutama oleh pajak rakyat (public funding). Hasil karya Perguruan Tinggi yang didanai public funding adalah public goods, bukan private goods. Dengan demikian, publik cenderung lebih mudah mengakses hasil karya Perguruan Tinggi tanpa lisensi yang mahal. Hal ini selaras dengan fungsi Tri Dharma Perguruan Tingggi yang menekankan sinergisitas kampus sebagai institusi pendidik, penelitian sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Namun ternyata, saat ini konsep tersebut telah bergeser. Pendidikan tinggi cenderung diprivatisasi dan dikapitalisasi. Penguatan pada privatisasi pendidikan ini, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Dalam pasal ini secara jelas dikatakan bahwa masyarakat wajib turut serta dalam membiayai pendidikan.
Akibatnya biaya operasional pendidikan tinggi membengkak karena dikelola secara mandiri oleh kampus dan diserahkan kepada swasta. Dengan kata lain, negara mulai berlepas tangan pada masalah pendidikan. Kemudian bermunculan kampus-kampus otonom yang kualitas output lulusannya patut dipertanyakan. Dengan adanya otonomi kampus, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang bisa masuk perguruan tinggi. Sekalipun cerdas dan lulus seleksi melalui undangan ataupun jalur tes, para calon intelektual bangsa ini dihadang dengan biaya mulai jutaan hingga ratusan juta.
Biaya pelatihan masuk perguruan tinggi berkisar Rp 3 juta sampai Rp 40 juta. Biaya tes minimum Rp 1 juta untuk beberapa perguruan tinggi. Sedangkan dana pembangunan minimal Rp 10 juta sampai dengan Rp 100 juta. Bagi calon mahasiswa baru yang lolos tes tulis jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, harus membayar Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan (SPFP) senilai Rp 30 juta. Sementara bila lolos melalui jalur mandiri di Jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Unibraw Malang, harus membayar SPFP sebesar Rp 155 juta (www.kompas.com, 02/05/2012).
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah beralihnya riset, yang outputnya benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, menjadi riset-riset yang diinginkan para pengucur dana. Kampus akan lebih memilih sibuk berbisnis untuk keberlangsungan hidupnya daripada berkonsentrasi pada peningkatan mutu intelektual sumber daya manusia yang dimiliki.
Cara Islam Membiayai Pendidikan
Dalam Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan dan membayar gaji para pendidik dengan mempergunakan kas negara (Baitul Mal). Sebagai contohnya, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, pembiayaan pendidikan diambilkan dari hasil pungutan jizyah, kharaj dan usyur (Muhammad, 2002). Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963). Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Sistem Islam Menjamin Kualitas Pendidikan Tinggi
Dalam Islam, setiap orang dituntut untuk menjadi intelektual yang memiliki kecerdasan integral –kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan politik. Penguasaan tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan yang memadai, disertai komitmen memegang prinsip dasar Islam, dibutuhkan seorang intelektual agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan, baik itu masalah pribadi, masalah keluarga, ataupun masalah yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sistem pendidikan yang Islami tentu menjadi hal mutlak diperlukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan ahli di bidangnya. Dalam hal ini, negara yang harus mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang menjamin agar selalu terdapat guru, dosen, perawat, dokter, insinyur, mujtahid, dan tenaga-tenaga lain yang keberadaannya wajib kifayah dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam pencarian Ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline agar selalu berjalan sesuai hukum syara’. Pada masyarakat muslim, penggunaan teknologi pun akan dibatasi oleh hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmatan lil alamin, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.
Adapun mengenai kebijakan riset di negeri Islam, terdapat kebijakan jangka pendek dan jangka panjang yang bisa dilakukan dalam lingkup individu, masyarakat (kelompok) dan negara. Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam. Dalam hal ini, mereka harus memberi teladan melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak kenal lelah menyosialisasikan budaya ilmiah pada masyarakat. Sedangkan peran dari masyarakat (kelompok) adalah mendesakkan agenda-agenda kebijakan ilmiah kepada pemerintah serta mengubah opini masyarakat luas sehingga ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah dari negara nantinya.
Sementara itu, dalam jangka panjang, negara mengambil sejumlah kebijakan yang mampu menciptakan atmosfer yang mendukung kiprah para ilmuwan muslim, menjamin keberlangsungan profesi ilmiah, berikut penghargaannya. Negara memberikan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu dan riset. Negara menyediakan fasilitas (sarana dan prasarana) berupa jaminan pendidikan dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi.
Sejarah ilmu pengetahuan juga mencatat bahwa dunia Islam pernah mencapai penguasaan gemilang di bidang sains dan teknologi. Dapat kita temukan sederet nama ilmuwan masyhur seperti Ibn Battuta (geografi), Ar-Razi (pediatrik), Ibnu Sina (kedokteran), Ibn Al-Haytham (fisika-optik), Banu Musa (teknik), Ibnu Yunus (astronomi), Ibnu Hayyan (kimia), Al Khawarizmi (matematika), dan banyak lagi yang lain. Kecemerlangan ini dapat diperoleh ketika Islam tidak dianggap sekedar agama ritual, namun diterapkan secara menyeluruh (kaaffah) di dalam sebuah sistem negara Khilafah Islamiyah. []
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jawi, Muhammad Shiddiq, Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam. http://khilafah1924.org
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.), 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), 1990
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta : ustaka Azzam), 2002
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul 'Ilmi lil Malayin), 1983
Oleh:
Emma Lucya Fitrianty, S.Si (Emma Kaze)
Penulis buku “Lelaki Hermaprodit” dan Konsultan Statistika