-->

Kapitalisme: Ketika Yang Miskin Membayar Yang Kaya

Oleh: Muhaimin Iqbal
SEAINDAINYA pemerintah kita punya program yang seolah populer setiap bulan memberi santunan misalnya Rp 100 ribu per keluarga miskin di seluruh Indonesia, percayakah Anda bahwa dalam waktu yang sangat cepat – kurang dari sepekan hampir semua uang yang ditebarkan ke rakyat miskin itu akan tersedot balik ke Jakarta ke kantong-kantong orang kaya di ibu kota? Lho kok bisa? Itulah salah satu sisi kapitalisme ketika mayoritas produk dan jasa disupply oleh segelintir kelompok – penguasa ekonomi yang rata-rata berada di ibu kota atau pusat perekonomian negara.

Fenomena penyedotan uang keluarga miskin ini dapat digambarkan kurang lebih begini:

Setelah menerima santunan Rp 100,000 per keluarga; maka uang tersebut akan segera habis dibelanjakan untuk kebutuhan dasar mereka. Berikut adalah kurang lebih daftar belanjaan mereka:

· Mie instant

· Beras

· Minyak goreng

· Gula

· Garam

· Tahu Tempe

· Ikan, Telor, Daging

· Pulsa

· Obat-obatan

· Peralatan sekolah

· Dlsb.dlsb.

Anda bisa bayangkan, mana di antara produk-produk tersebut yang kemungkinannya adalah produk masyarakat setempat? Tidak akan mudah Anda untuk memperoleh salah satunya adalah produk masyarakat setempat.

· Mie instant mayoritasnya produk segelintir perusahaan di ibu kota, siapapun dan dimanapun membelinya – uang akan balik ke produsennya.

· Kecuali bila Anda tinggal di daerah lumbung padi, beras-pun kemungkinannya didatangkan dari daerah lain dan bahkan sebagian di impor. Otomatis uangnya akan mengalir ke segelintir pedagang besar beras dan para importir.

· Minyak goreng, sebagian besarnya produk industry besar. Uangnya tentu mengalir ke mereka.

· Gula-pun sudah jarang yang mengkonsumsi gula merah produk industri kecil setempat, otomatis mayoritas pembelian gula juga uangnya lari ke para pengusaha dan pedagang besar gula.

· Garam meskipun tersedia melimpah di daerah tertentu, mayoritas masyarakat perlu membelinya. Otomatis uangnya juga balik ke para pedagang dan pengusaha garam.

· Tahu- tempe; dahulu biasa diproduksi dari kedelai local yang diproduksi masyarakat setempat. Kini mayoritasnya menggunakan kedelai impor – jadi lagi-lagi uang tahu-tempe juga mengalir ke para importir dan pedagang besar.

· Ikan, telor dan daging ; semuanya mudah diproduksi oleh rakyat mestinya. Tetapi lagi-lagi mayoritas sumber protein hewani ini ternyata berujung di segelintir perusahaan besar dan bahkan sebagiannya juga harus diimpor. Jadi kemungkinan besarnya uang ikan, telur dan daging inipun larinya ke segelintir pengusaha dan pedagang besar dibidangnya.

· Pulsa, ini dia kebutuhan sekunder atau bahkan tersier yang kini bergerak menjadi kebutuhan primer. Sangat bisa jadi (sebagian) uang santunan-pun berujung untuk pembelian pulsa telpon – yang tentu saja hanya bisa disediakan oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di ibu kota.

· Obat-obatan, sangat sedikit yang menggunakan sumber daya masyaraat setempat – kemungkinan lebih besarnya juga harus diproduksi oleh perusahaan besar farmasi dan didistribusikan juga oleh pedagang besar farmasi. Ujung-ujungnya uang obat juga berakhir di ibu kota.

· Peralatan sekolah, buku- pensil – seragam – semuanya produks siapa ?, siapa yang memproduksi kertas, kain dlsb? Lagi-lagi mayoritasnya akan balik ke segelintir perusahaan/pedagang raksasa yang berujung di ibukota.

Well, aliran ini tentu tidak searah. Aliran baliknya juga ada, diluar santunan ‘imaginer’ tersebut di atas. Uang dari pusat baik yang dari swasta maupun pemerintah , mengalir dalam bentuk upah tenaga kerja, gaji pegawai dlsb. yang kemudian terkirim jauh sampai ke seluruh pelosok negeri.

Hanya saja aliran upah atau gaji ini pada umumnya kalah deras dibandingkan dengan aliran kebutuhan konsumsi masyarakat. Walhasil gap antara yang kaya –dengan yang miskin menjadi semakin jauh dan semakin jauh.

Ketika industri-industri besar yang berperan secara dominan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka dampaknya tentu produksi masyarakat setempat  - yang mewakili masyarakat yang lebih luas - menjadi turun. Ketika produksi masyarakat secara umum turun, maka masyarakat akan cenderung bergeser menjadi masyarakat konsumen dan masyarakat buruh.

Maka untuk mengangkat kemakmuran masyarakat secara massal dan berkelanjutan, program utamanya tentu bukan memberi mereka santunan tunai – karena ini ujung-ujungnya hanya menguntungkan para produsen yang rata-rata konglomerat tersebut di atas.

Juga bukan hanya menciptakan lapangan kerja melalui projek-project industri besar, karena kalau hanya ini yang dilakukan – yang terbentuk adalah masyarakt buruh yang semakin jauh gap-nya dengan para pengusahanya.

Yang justru sangat penting dilakukan adalah membuka dan mendorong kesempatan berusaha seluas-luasnya. Inilah yang akan melahirkan pengusaha sekaligus lapangan kerja, ini pula yang akan melahirkan produk-produk berupa barang dan jasa dari masyarakat untuk masyarakat.

Langkah-langkah ini ada yang bisa dilakukan oleh masyarakat itu sendiri seperti pelatihan dan pembinaan untuk membangun entrepreneurship skills, penyiapan sebagian aspek permodalan dan juga penyiapan sebagian aspek pengelolaan sumber daya. Tetapi ada peran yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yaitu aspek perijinan, pajak, perbaikan infrastruktur dlsb.

Intinya yang kaya maupun yang miskin boleh dan akan tetap ada sampai kapan-pun dan dimanapun, tetapi menjadi tugas para pemimpin untuk menjamin peluang yang miskin untuk terus bisa meningkatkan kemakmurannya – bukan sebaliknya membuat yang miskin tambah miskin dan yang kaya bertambah kaya. Lebih penting membuat rakyat menguasai produksi dan pasar secara berkelanjutan,  ketimbang menciptakaan pemenuhan kebutuhan sesaat yang malah secara tidak langsung juga menciptakan ketergantungan pada pemerintah pusat. Wa Allahu A’lam.*

Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com