ilustrasi |
Tak diragukan lagi, perjuangan menegakkan Daulah Islam pada awalnya telah bertabur pahlawan perempuan. Di antara para Shahabiat Rasulullah saw. tersebut adalah dua perempuan shalihah nan cerdas lagi berani. Keduanya
menjadi pusat perbincangan sejarah ketika mereka tercatat dalam barisan
orang-orang yang berani menanggung risiko mendatangi Bukit Aqabah di
tengah gulita malam pada pertengahan bulan Dzulhijjah tahun ke-13
kenabian. Dua orang Shahabiat bergabung dengan 73 laki-laki mukhlis lainnya. Mereka adalah Ummu Amarah ra. dan Ummu Mani ra.
Perempuan Mukhlis dan Pemberani
Di
tengah sulitnya menapaki kehidupan sebagai manusia yang mulai meyakini
ajaran Muhammad saw. serta kerinduan yang mendalam akan bimbingan dan
kepemimpinan sang Rasul yang agung, dua Sahabat perempuan ini akhirnya
rela mendaki bukit, menembus suasana hening dan peristiwa mencekam.
Rasulullah
saw. dinobatkan sebagai pemimpin kaum Muslim seluruhnya. Saat itu lahir
komitmen dari semua yang hadir di Bukit Aqabah untuk menantang segala
risiko yang menjemput di kemudian hari. Tentulah, orang-orang itu adalah orang-orang istimewa. Mereka pastilah para pemberani lagi mukhlis.
Jika
mereka bukan orang yang amanah untuk merahasiakan pertemuan penting
itu, jika mereka bukanlah orang yang ridha akan segala konsekuensi
perjuangan menegakkan agama Allah, jika mereka bukan orang yang dengan
penuh kesadaran menghendaki kehidupan masyarakat yang lebih baik dengan
hadirnya sang pemimpin yang menjalankan hukum Allah SWT agar
perselisihan yang selama ini terjadi di antara mereka dapat segera
terselesaikan; niscaya mereka tidak akan rela menyatakan baiat yang
berkosekuensi berat.
Baiat Aqabah II memang berbeda dengan Baiat Aqabah I. Pada baiat kali ini, Allah SWT dan Rasul-Nya menghendaki kesiapan kaum Muslim untuk menegakkan Islam sebagai mabda’
(ideologi) dan tatanan hidup bernegara. Inilah yang dipandang penting
di mata Islam dan kaum Muslim. Peristiwa ini begitu spektakuler. Maka
dari itu, pasti orang-orang yang terlibat pun bukan sembarangan,
termasuk Ummu Amarah ra. dan Ummu Mani ra.
Ummu Amarah ra. bernama Nasibah binti Kaab bin Amru bin Auf bin Mabdzul al-Mazaniyah an Najjariah. Adapun Ummu Mani ra. bernama
Asma binti Amru bin Uday bin Sawad bin Ghanam bin Kaab bin Salamah.
Keterlibatan keduanya dalam peristiwa Baiat Aqabah II menunjukkan bahwa
perempuan berhak (dan wajib) beraktivitas memperjuangkan kebenaran dan
mencegah kemungkaran. Kesadaran yang begitu mendalam
terhadap kondisi umat saat itu telah mendorong kedua perempuan ini untuk
terlibat bersama para suaminya mencari solusi hakiki. Menegakkan
kepemimpinan yang adil dan membangun masyarakat di bawah kepemimpinan
Rasulullah saw. adalah bagian dari aktivitas politik yang harus ditempuh
kala itu. Inilah bentuk kiprah politik kedua shahabiat itu pada awalnya.
Politisi Muslimah
Peran
politiknya dalam peritiwa Baiat Aqobah II tentu tidak bisa dipandang
remeh, sebab hal ini menyangkut pendirian Negara Islam pertama.
Sejarah
juga telah mencatat dua perempuan pemberani tersebut terlibat dalam
beberapa peristiwa besar lainnya meski keduanya berstatus sebagai istri
dan ibu bagi anak-anaknya.
Ummu
Amarah ra. memang layak mendapat julukan pahlawan perempuan Anshar.
Kepahlawanannya sangat menonjol, terutama saat mengikuti berbagai
peperangan melawan orang-orang kafir. Ia turut serta dalam
Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Umrah Qadha’, Perang Hunain dan
Perang Yamamah yang menyebabkan tangannya terpotong.
Pada
Perang Uhud, tatkala pasukan Islam mulai mengalami kekalahan, Ummu
Amarah ra. maju ke medan perang untuk ikut bertempur menggunakan pedang
dan panah. Ketika ada salah seorang musuh hendak menyerang Rasulullah saw. Ummu Amarah ra. dan beberapa Sahabat membentuk tameng pertahanan untuk melindungi Rasulullah saw. hingga orang tersebut sempat memukul Ummu Amarah. Kegigihan Ummu Amarah ra. dalam melindungi Rasulullah saw. ini terlihat dari sabda beliau, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan melainkan melihat Ummu Amarah.”
Pengorbanan
Ummu Amarah ra. dalam Perang Uhud ini tampak dari 12 bekas luka di
tubuhnya. Kalau bukan karena kesadaran politiknya untuk menegakkan Islam
dan menumbangkan kekufuran, tentulah Ummu Amarah ra. surut untuk
berlaga di medan perang lainnya.
Ummu Mani ra. juga pernah terlibat dalam Perang Khaibar. Ia rela menempuh perjalanan 3 hari menuju medan Khaibar. Ia bertugas di bagian belakang dengan memberi layanan kepada pejuang Muslim yang membutuhkan perawatan. Alotnya
pertempuran menembus benteng Khaibar membuat banyak pasukan Muslim
terluka parah. Ummu Mani ra. melaksanakan tugasnya dengan penuh
keridhaan. Apa yang ia lakukan ini tentu tak bisa dilepaskan dari
kesadaran politiknya untuk menumbangkan kekufuran Yahudi dan memenangkan
agama Allah SWT.
Jika mereka seorang pengecut, tentu tak berada di medan laga. Jika mereka bukan orang yang yakin akan pahala dan kebaikan yang besar di sisi Allah SWT, tentu mereka lari dan bersembunyi. Jika bukan karena kesadaran politiknya, niscaya mereka berdiam diri di rumah, menghabiskan sisa usia. Namun, itulah kehebatan dua mutiara Muslimah ini. Mereka telah meyakinkan diri menjadi bagian yang berarti bagi umat dan agama ini dalam setiap kesempatan.
Pencetak Politisi Pejuang
Keterlibatanya dalam aktivitas politik tidak hanya ditunjukkan dari sepak terjangnya dalam berbagai momentum besar dakwah Islam. Kedua mutiara umat ini juga dikenal sebagai sosok ibu yang cerdas sehingga dari tangan mereka muncullah generasi pejuang. Kesadaran politiknya yang tinggi telah menginspirasi pola pendidikan yang diberlakukan kepada putra-putranya.
Ummu Amarah ra. memiliki dua orang putra. Keduanya pun telah berhasil ia antarkan sebagai generasi pembela Islam. Ummu
Amarah ra. tak pernah ragu untuk melepas kedua putranya (Habib dan
Abdullah) di setiap medan pertempuran dan tugas dakwah lainnya. Keteguhan
kedua putranya dalam mengemban amanah dakwah Islam cukup menjadi bukti
bahwa keduanya telah hidup dalam suasana pembinaan ruhiah yang baik di
dalam keluarga. Itulah suasana keluarga yang dibangun oleh Ummu Amarah ra., sang ibunda.
Saat
Perang Badar, anaknya (Abdullah ra.) dengan gagah berani ikut berjuang
menegakkan panji-panji Islam sehingga Islam memperoleh kemenangan. Adapun
kiprah Habib tampak saat ia memegang amanah sebagai utusan Khalifah Abu
Bakar ra. untuk menyampaikan surat kepada Musailamah al-Kadzdzab. Ummu
Amarah ra. pun mendorong agar anaknya mampu mengemban amanat tersebut
dengan baik. Namun rupanya, Habib harus syahid tatkala membela Islam di
hadapan kekufuran tersebut. Ummu Amarah ra. telah berhasil mencetak
politisi yang berjuang di medan tempur dan menyerahkan dirinya untuk
Islam.
Sejarah pun tak pernah melupakan Ummu Mani ra. sebagai ibu dari seorang pejuang yang faqih, cerdas dan murah hati. Muadz
bin Jabal ra. adalah buah hatinya yang selama ini ia didik dan dampingi
agar menjadi pembela Islam dengan karunia yang diberikan Allah SWT
kepadanya. Muadz ra. telah dikenal sebagai imamnya para fuqaha,
gudangnya ilmu para ulama. Ia pun senantiasa terlibat dalam berbagai pertempuran seperti Perang Badar dan yang lainnya. Ia termasuk pemuda Anshar yang paling utama, tenang, pemalu, dermawan dan rupawan. Muadz ra. pun menjadi salah satu peserta Baiat Aqabah II. Muadz bin Jabal adalah salah seorang kepercayaan Rasulullah saw. dalam hal agama hingga beliau mengutus dirinya ke Yaman. Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah bacaan al-Quran dari empat orang.” Muadz ra. adalah salah satu di antara mereka.
Kiprah Muadz ra. tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari peran sang bunda. Tentu
tak akan terlahir pemuda yang cerdas tanpa pendampingan ibunda yang
mulia. Kiprah Muadz ra. bagi Islam yang dirintis sejak usia muda cukup
menunjukkan bahwa Ummu Mani ra. telah berhasil menorehkan kepribadian
yang agung kepada putranya; pribadi pejuang, pribadi politisi yang
beramar makruf nahi mungkar, politisi yang tidak memakan harta rakyat
yang dia pimpin dan politisi yang hanya berhukum dengan hukum Allah SWT.
Dengan
demikian, nyatalah bahwa kedua mutiara Muslimah tersebut telah
menunjukkan kiprah politiknya yang sangat agung. Mereka layak menjemput
janji Allah SWT (Lihat: QS an-Nahl [16]: 97).
Mereka layak menjadi manusia utama dan inspirator perempuan Muslim abad ini, khususnya dalam kiprah politiknya. Keduanya
mampu memadukan kepeduliannya terhadap nasib umat, kontribusi aktif
dalam perjuangan, dengan peran strategisnya sebagai ibu dan pendidik
utama bagi buah hati penerus estafet perjuangan. Sungguh, dua mutiara
umat ini telah menjalankan aktivitasnya hanya dalam ranah yang
ditetapkan syariah, tidak lebih.
Inilah
yang seharusnya disadari setiap Muslimah abad ini. Kesadaran dan
kepedulian terhadap kondisi umat dan agama ini seharusnya menjadi bagian
integral dari kehidupan mereka. Kesadaran tersebut seharusnya juga
diikuti oleh semangat untuk memperbaiki kondisi dengan berdakwah,
beramar makruf nahi mungkar, menentang semua bentuk kezaliman dan
berperan aktif dalam upaya menegakkan Daulah Islam. Ummu Amarah ra. dan
Ummu Mani ra. telah menginspirasi Muslimah manapun untuk tidak ragu
mengambil posisi terdepan dalam perjuangan dakwah Islam melalui
kesadaran politik Islam yang dimilikinya. Semoga kita semua tidak ketinggalan untuk meraih semua itu. Amin, ya Rabb al-‘alamin. [] Noor Afeefa
Rujukan:
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam (2011). Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (terj.). Jakarta: Darul Falah.
Ali Quthb, Muhammad (2010). 36 Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah saw. (terj.). Bandung: PT Mizan Publika.