-->

Dua Mutiara Di Tengah Gulita Malam

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilvyBwKVavyiQ2ABwtr2J-CqbUwQ9TWBSwxmbLxGfuoipvINX4S0V-2s23fTWl1JAXR3Ar6J1dybncKEF7n8v0v7i2Ks0LK2lFtSOBguwmCMOvuh3QF9FA586A-Bs3_dBNjd87Ip8ZMJA/s1600/kegelapan_by_robotnakal.jpg
ilustrasi
Tak diragukan lagi, perjuangan menegakkan Daulah Islam pada awalnya telah bertabur pahlawan perempuan. Di antara para Shahabiat Rasulullah saw. tersebut adalah dua perempuan shalihah nan cerdas lagi berani. Keduanya menjadi pusat perbincangan sejarah ketika mereka tercatat dalam barisan orang-orang yang berani menanggung risiko mendatangi Bukit Aqabah di tengah gulita malam pada pertengahan bulan Dzulhijjah tahun ke-13 kenabian. Dua orang Shahabiat bergabung dengan 73 laki-laki mukhlis lainnya. Mereka adalah Ummu Amarah ra. dan Ummu Mani ra.

Perempuan Mukhlis dan Pemberani
Di tengah sulitnya menapaki kehidupan sebagai manusia yang mulai meyakini ajaran Muhammad saw. serta kerinduan yang mendalam akan bimbingan dan kepemimpinan sang Rasul yang agung, dua Sahabat perempuan ini akhirnya rela mendaki bukit, menembus suasana hening dan peristiwa mencekam.
Rasulullah saw. dinobatkan sebagai pemimpin kaum Muslim seluruhnya. Saat itu lahir komitmen dari semua yang hadir di Bukit Aqabah untuk menantang segala risiko yang menjemput di kemudian hari. Tentulah, orang-orang itu adalah orang-orang istimewa. Mereka pastilah para pemberani lagi mukhlis.
Jika mereka bukan orang yang amanah untuk merahasiakan pertemuan penting itu, jika mereka bukanlah orang yang ridha akan segala konsekuensi perjuangan menegakkan agama Allah, jika mereka bukan orang yang dengan penuh kesadaran menghendaki kehidupan masyarakat yang lebih baik dengan hadirnya sang pemimpin yang menjalankan hukum Allah SWT agar perselisihan yang selama ini terjadi di antara mereka dapat segera terselesaikan; niscaya mereka tidak akan rela menyatakan baiat yang berkosekuensi berat.
Baiat Aqabah II memang berbeda dengan Baiat Aqabah I. Pada baiat kali ini, Allah SWT dan Rasul-Nya menghendaki kesiapan kaum Muslim untuk menegakkan Islam sebagai mabda’ (ideologi) dan tatanan hidup bernegara. Inilah yang dipandang penting di mata Islam dan kaum Muslim. Peristiwa ini begitu spektakuler. Maka dari itu, pasti orang-orang yang terlibat pun bukan sembarangan, termasuk Ummu Amarah ra. dan Ummu Mani ra.
Ummu Amarah ra. bernama Nasibah binti Kaab bin Amru bin Auf bin Mabdzul al-Mazaniyah an Najjariah. Adapun Ummu Mani ra. bernama Asma binti Amru bin Uday bin Sawad bin Ghanam bin Kaab bin Salamah. Keterlibatan keduanya dalam peristiwa Baiat Aqabah II menunjukkan bahwa perempuan berhak (dan wajib) beraktivitas memperjuangkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Kesadaran yang begitu mendalam terhadap kondisi umat saat itu telah mendorong kedua perempuan ini untuk terlibat bersama para suaminya mencari solusi hakiki. Menegakkan kepemimpinan yang adil dan membangun masyarakat di bawah kepemimpinan Rasulullah saw. adalah bagian dari aktivitas politik yang harus ditempuh kala itu. Inilah bentuk kiprah politik kedua shahabiat itu pada awalnya.

Politisi Muslimah
Peran politiknya dalam peritiwa Baiat Aqobah II tentu tidak bisa dipandang remeh, sebab hal ini menyangkut pendirian Negara Islam pertama.
Sejarah juga telah mencatat dua perempuan pemberani tersebut terlibat dalam beberapa peristiwa besar lainnya meski keduanya berstatus sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Ummu Amarah ra. memang layak mendapat julukan pahlawan perempuan Anshar. Kepahlawanannya sangat menonjol, terutama saat mengikuti berbagai peperangan melawan orang-orang kafir. Ia turut serta dalam Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Umrah Qadha’, Perang Hunain dan Perang Yamamah yang menyebabkan tangannya terpotong.
Pada Perang Uhud, tatkala pasukan Islam mulai mengalami kekalahan, Ummu Amarah ra. maju ke medan perang untuk ikut bertempur menggunakan pedang dan panah. Ketika ada salah seorang musuh hendak menyerang Rasulullah saw. Ummu Amarah ra. dan beberapa Sahabat membentuk tameng pertahanan untuk melindungi Rasulullah saw. hingga orang tersebut sempat memukul Ummu Amarah. Kegigihan Ummu Amarah ra. dalam melindungi Rasulullah saw. ini terlihat dari sabda beliau, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan melainkan melihat Ummu Amarah.”
Pengorbanan Ummu Amarah ra. dalam Perang Uhud ini tampak dari 12 bekas luka di tubuhnya. Kalau bukan karena kesadaran politiknya untuk menegakkan Islam dan menumbangkan kekufuran, tentulah Ummu Amarah ra. surut untuk berlaga di medan perang lainnya.
Ummu Mani ra. juga pernah terlibat dalam Perang Khaibar. Ia rela menempuh perjalanan 3 hari menuju medan Khaibar. Ia bertugas di bagian belakang dengan memberi layanan kepada pejuang Muslim yang membutuhkan perawatan. Alotnya pertempuran menembus benteng Khaibar membuat banyak pasukan Muslim terluka parah. Ummu Mani ra. melaksanakan tugasnya dengan penuh keridhaan. Apa yang ia lakukan ini tentu tak bisa dilepaskan dari kesadaran politiknya untuk menumbangkan kekufuran Yahudi dan memenangkan agama Allah SWT.
Jika mereka seorang pengecut, tentu tak berada di medan laga. Jika mereka bukan orang yang yakin akan pahala dan kebaikan yang besar di sisi Allah SWT, tentu mereka lari dan bersembunyi. Jika bukan karena kesadaran politiknya, niscaya mereka berdiam diri di rumah, menghabiskan sisa usia. Namun, itulah kehebatan dua mutiara Muslimah ini. Mereka telah meyakinkan diri menjadi bagian yang berarti bagi umat dan agama ini dalam setiap kesempatan.

Pencetak Politisi Pejuang
Keterlibatanya dalam aktivitas politik tidak hanya ditunjukkan dari sepak terjangnya dalam berbagai momentum besar dakwah Islam. Kedua mutiara umat ini juga dikenal sebagai sosok ibu yang cerdas sehingga dari tangan mereka muncullah generasi pejuang. Kesadaran politiknya yang tinggi telah menginspirasi pola pendidikan yang diberlakukan kepada putra-putranya.
Ummu Amarah ra. memiliki dua orang putra. Keduanya pun telah berhasil ia antarkan sebagai generasi pembela Islam. Ummu Amarah ra. tak pernah ragu untuk melepas kedua putranya (Habib dan Abdullah) di setiap medan pertempuran dan tugas dakwah lainnya. Keteguhan kedua putranya dalam mengemban amanah dakwah Islam cukup menjadi bukti bahwa keduanya telah hidup dalam suasana pembinaan ruhiah yang baik di dalam keluarga. Itulah suasana keluarga yang dibangun oleh Ummu Amarah ra., sang ibunda.
Saat Perang Badar, anaknya (Abdullah ra.) dengan gagah berani ikut berjuang menegakkan panji-panji Islam sehingga Islam memperoleh kemenangan. Adapun kiprah Habib tampak saat ia memegang amanah sebagai utusan Khalifah Abu Bakar ra. untuk menyampaikan surat kepada Musailamah al-Kadzdzab. Ummu Amarah ra. pun mendorong agar anaknya mampu mengemban amanat tersebut dengan baik. Namun rupanya, Habib harus syahid tatkala membela Islam di hadapan kekufuran tersebut. Ummu Amarah ra. telah berhasil mencetak politisi yang berjuang di medan tempur dan menyerahkan dirinya untuk Islam.
Sejarah pun tak pernah melupakan Ummu Mani ra. sebagai ibu dari seorang pejuang yang faqih, cerdas dan murah hati. Muadz bin Jabal ra. adalah buah hatinya yang selama ini ia didik dan dampingi agar menjadi pembela Islam dengan karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya. Muadz ra. telah dikenal sebagai imamnya para fuqaha, gudangnya ilmu para ulama. Ia pun senantiasa terlibat dalam berbagai pertempuran seperti Perang Badar dan yang lainnya. Ia termasuk pemuda Anshar yang paling utama, tenang, pemalu, dermawan dan rupawan. Muadz ra. pun menjadi salah satu peserta Baiat Aqabah II. Muadz bin Jabal adalah salah seorang kepercayaan Rasulullah saw. dalam hal agama hingga beliau mengutus dirinya ke Yaman. Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ambillah bacaan al-Quran dari empat orang.” Muadz ra. adalah salah satu di antara mereka.
Kiprah Muadz ra. tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari peran sang bunda. Tentu tak akan terlahir pemuda yang cerdas tanpa pendampingan ibunda yang mulia. Kiprah Muadz ra. bagi Islam yang dirintis sejak usia muda cukup menunjukkan bahwa Ummu Mani ra. telah berhasil menorehkan kepribadian yang agung kepada putranya; pribadi pejuang, pribadi politisi yang beramar makruf nahi mungkar, politisi yang tidak memakan harta rakyat yang dia pimpin dan politisi yang hanya berhukum dengan hukum Allah SWT.
Dengan demikian, nyatalah bahwa kedua mutiara Muslimah tersebut telah menunjukkan kiprah politiknya yang sangat agung. Mereka layak menjemput janji Allah SWT (Lihat: QS an-Nahl [16]: 97).
Mereka layak menjadi manusia utama dan inspirator perempuan Muslim abad ini, khususnya dalam kiprah politiknya. Keduanya mampu memadukan kepeduliannya terhadap nasib umat, kontribusi aktif dalam perjuangan, dengan peran strategisnya sebagai ibu dan pendidik utama bagi buah hati penerus estafet perjuangan. Sungguh, dua mutiara umat ini telah menjalankan aktivitasnya hanya dalam ranah yang ditetapkan syariah, tidak lebih.
Inilah yang seharusnya disadari setiap Muslimah abad ini. Kesadaran dan kepedulian terhadap kondisi umat dan agama ini seharusnya menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Kesadaran tersebut seharusnya juga diikuti oleh semangat untuk memperbaiki kondisi dengan berdakwah, beramar makruf nahi mungkar, menentang semua bentuk kezaliman dan berperan aktif dalam upaya menegakkan Daulah Islam. Ummu Amarah ra. dan Ummu Mani ra. telah menginspirasi Muslimah manapun untuk tidak ragu mengambil posisi terdepan dalam perjuangan dakwah Islam melalui kesadaran politik Islam yang dimilikinya. Semoga kita semua tidak ketinggalan untuk meraih semua itu. Amin, ya Rabb al-‘alamin. [] Noor Afeefa

Rujukan:
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam (2011). Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (terj.). Jakarta: Darul Falah.
Ali Quthb, Muhammad (2010). 36 Perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah saw. (terj.). Bandung: PT Mizan Publika.