Pengantar
Hakim mempunyai posisi yang sangat penting dan krusial, karena dialah orang yang memutuskan perkara di tengah masyarakat. Karena itu, posisi hakim ini mengharuskan pemangkunya harus kredibel, orang yang dihormati dan adil dalam memberikan keputusan. Seorang hakim tidak akan bisa memperolah kedudukan yang mulia seperti ini, kecuali melalui pembuktian yang dia tunjukkan dengan prilakunya yang bisa diterima masyarakat, jauh dari syubhat dan kuat dalam memegang prinsip.
Hakim mempunyai posisi yang sangat penting dan krusial, karena dialah orang yang memutuskan perkara di tengah masyarakat. Karena itu, posisi hakim ini mengharuskan pemangkunya harus kredibel, orang yang dihormati dan adil dalam memberikan keputusan. Seorang hakim tidak akan bisa memperolah kedudukan yang mulia seperti ini, kecuali melalui pembuktian yang dia tunjukkan dengan prilakunya yang bisa diterima masyarakat, jauh dari syubhat dan kuat dalam memegang prinsip.
Para  fuqaha’ telah menjelaskan kriteria hakim, adab dan akhlak yang  seharusnya mereka miliki. Mereka juga telah menjelaskan hal-hal yang  seharusnya mereka jauhi, baik dalam prilaku maupun aktivitas mereka.  Tentu, penjelasan ini hanya sekedar contoh, bukan untuk membatasi hanya  itu. Pendek kata, prinsip dasarnya adalah, “Prilaku hakim harus diterima  masyarakat, tidak memancing kebencian dan keraguan terhadapnya.” 
Akhlak Hakim
Selain  beberapa hal yang dijelaskan di atas, seorang hakim seharusnya  berwibawa, sederhana, dan jauh dari perkara yang bisa merusak harga  dirinya dan menyebabkannya tidak layak menjadi hakim, tidak banyak  berinteraksi dengan masyarakat sehingga tidak terpengaruh dengan mereka.  Tidak bersenda gurau dengan orang lain dalam forum atau majelis mereka.  Karena semuanya itu bisa mengikis wibawanya, sementara dia membutuhkan  wibawa dan harga diri.
Tutur  katanya juga harus berisi dan bernilai tinggi, jauh dari kata yang  sia-sia, cabul, kotor, olok-olok dan merendahkan martabat orang lain. 
Kegiatan Hakim di Luar Wilayah Peradilan
Imam  as-Syafi’i rahimahu-Llah berkata, “Bagi saya, hukumnya makruh seorang  hakim melakukan jual-beli karena khawatir menimbulkan bias.. Sebab,  dengan melakukan jual beli, dia tidak bisa bebas dari melakukan  tawar-menawar dan bias sehingga ketika membuat keputusan dia bisa tawar  menawar dan bias terhadap orang yang melakukan tawar menawar dan bias  dengannya.” (Lihat, al-Mawardi, Adab al-Qadhi, Juz I/237-238)
Aktivitas  bisnis ini bisa dianalogikan dengan aktivitas yang lain, sesuai dengan  siatuasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing hakim di  wilayahnya.
As-Samnani  berkata, “Hakim adalah orang yang dibayar kaum Muslim, maka dia tidak  layak untuk menyibukkan diri dengan bisnis yang bisa menghalanginya  untuk memperhatikan urusannya. Namun, jika dia memperhatikan bisnis dan  kegiatan produksi yang tidak mengganggu tugas yang dibebankan kepadanya,  maka hukumnya boleh.” (Lihat, as-Samnani, Raudhatu al-Qudhat, Juz  I/658)
Tugas  hakim memang mengharuskannya untuk banyak melakukan kajian terhadap  kitab-kitab fikih, serta problem yang dihadapi oleh masyarakat sehingga  dia bisa mengetahui hukum yang sahih, dan bisa mengambil keputusan  dengan tepat. Ini mengharuskan hakim untuk mencurahkan pikiran dan  waktunya.
Hadiah untuk Hakim
Pada  dasarnya memberi dan menerima hadiah sama-sama diperbolehkan oleh  syara’. Bahkan, hadiah bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan kasih  sayang di antara sesama, sebagaimana hadits Nabi, “Saling memberi  hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” 
Namun  jika hadiah tersebut bisa menimbulkan mafsadat, sebagaimana seorang  hakim menerima hadiah dari dua pihak yang sedang berperkara, maka hadiah  dalam konteks seperti ini tidak diperbolehkan. Para fuqaha’ menyatakan,  “Seorang hakim tidak boleh menerima hibah dari salah satu pihak yang  berperkara, karena hadiah tersebut bisa memicu terjadinya tuduhan  nepotisme.” Bahkan mereka ada yang menyatakan, “Secara mutlak hadiah  yang diberikan kepada hakim adalah makruh, baik dari dua pihak  berperkara maupun dari pihak lain.” 
Suatu  ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menolak hadiah yang diberikan kepadanya,  kemudian ada yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya Nabi saw pernah  menerima hadiah.” ‘Umar pun menjawab, “Bagi Nabi itu merupakan hadiah,  tetapi bagi kami itu merupakan suap. Sebab, dengan hadiah ini kaum  Muslim berusaha dekat dengan Nabi saw, karena faktor kenabian baginda.  Disamping karena baginda terjaga dari dampak buruk dari hadiah,  sementara yang lain tidak.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38;  Ibn Farkhun, Tabshiratu al-Hukkamh, Juz I/30; as-Siyaghi, ar-Raudh  an-Nadhir Syarah Majmu’ al-Fiqh al-Kabir, Juz II/119)
Hadiah bisa dianalogikan dengan pemberian yang lain yang diberikan oleh penduduk di wilayah tempat hakim tersebut bertugas. 
Gaji Hakim
Gaji  hakim yang dimaksud di sini adalah gaji yang diberikan oleh Negara  Khilafah kepadanya dari Baitul Mal sebagai kompensasi dari tugas yang  dipikulnya. Sebagian fuqaha’ ada yang menyatakan, bahwa status gaji yang  diambil oleh hakim tersebut hukumnya makruh, kecuali jika dia  membutuhkan. Sebagian pengikut mazhab Syafi’i dan al-Maziri dari mazhab  Maliki menyatakan, bahwa orang yang diangkat menjadi hakim dan tidak  membutuhkan gajinya, maka dia tidak berhak mengambil sedikit pun dari  Baitul Mal sebagai kompensasi dari tugasnya. Namun, jika dia  membutuhkan, maka hukumnya mubah.
Ibn  Qudamah dari mazhab Hanbali, setelah mengutip pendapat sejumlah fuqaha’  dalam masalah ini berkomentar, “Yang benar adalah boleh mengambil gaji  sebagai kompensasi atas pekerjaan hakim – dalam kondisi apapun. Sebab,  Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu ketika diangkat menjadi khalifah, maka  para sahabat menetapkan kompensasi untuk beliau sebesar dua dirham  setiap hari. ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhu juga memberikan kompensasi kepada  Zaid, Syuraih dan Ibn Mas’ud, serta menginstruksikan kompensasi  tersebut untuk orang yang menjalankan peradilan. Selain karena  masyarakat membutuhkannya. Jika itu tidak boleh, maka hak-haknya akan  terabaikan.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38)
Bahkan  ‘Umar bin al-Khatthab pernah menulis surat kepada Mu’adz bin Jabal dan  Abu ‘Ubaidah al-Jarrah ketika keduanya dikirim ke Syam, yang isinya,  “Perhatikanlah orang-orang shalih di antara kalian, lalu angkatlah  mereka menjadi hakim, kemudian lapangkanlah urusan mereka, serta  berikanlah kompensasi kepada mereka dan cukupilah kebutuhan mereka  dengan harta Allah.” (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/38;  ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasyuqi, Juz IV/138)
Dari  sini bisa dipahami, bahwa seorang hakim berhak menerima gaji dari  negara, dan gajinya pun tidak hanya sekedar pas-pasan, tetapi bisa  dipatok dengan jumlah yang tinggi hingga kebutuhannya terpenuhi, dan dia  pun tidak perlu mempunyai bisnis sampingan. Inilah kebijakan yang  dijalankan oleh ‘Umar. 
