Masuk Dalam Jerat Utang (Debt Trap)
Oleh : yahya Abdurrahman - Lajnah Siyasiyah HTI
Jumlah utang pemerintah hingga Januari 2012 telah mencapai Rp 1.837,39 triliun. Terdiri dari utang luar negeri sebesar Rp 623,35 triliun dan utang dalam negeri dalam bentuk surat utang negara sebesar Rp 1.214,14 triliun. Tentang jumlah utang yang sedemikian besar, mantan menko Ekuin Kwik Kian Gie dalam sebuah dialog ekonomi di Hotel millenium, Selasa (21/2/2012) berkomentar: “Sudah sejak 30 tahun yang lalu saya sudah menulis banyak (soal utang). Contohnya lebih besar pasak dari tiang. Ini menjadi penipuan yang luar biasa. Utang itu tidak disebut utang dalam APBN, tetapi pemasukkan pembangunan dalam negeri. Jadi 30 tahun lamanya anggaran minus ditutupi utang. Anggaran harus berimbang, biar bisa disebut berimbang ya nipu”. Menurut Kwik, jumlah utang pemerintah yang tembus Rp 1.800 triliun ini sudah sangat membahayakan dan sulit dicarikan solusinya. “Ini bukan bahaya lagi karena sumber daya mineral di perut bumi dihabiskan oleh mereka elit-elit pemerintah. Sudah kayak gini sulit (solusinya). Saya nggak tahu harus bagaimana,” tegas Kwik (detikfinance.com, 21/2). Jumlah total utang yang sudah begitu besar, bagi siapapun tentu sulit membayangkan bagaimana melunasi utang sebesar itu.Jika mengikuti skenario skema utang dengan berpatokan pada data per Januari 2012 maka sampai tahun 2055 pun negeri ini masih harus terus membayar utang yang jatuh tempo. Profilnya skenario utang jatuh tempo itu berdasarkan Buku Saku Perkembangan Utang Negara Edisi Februari 2012 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dapat dlihat pada grafik berikut.
Melihat profil utang jatuh tempo itu, maka tidak salah jika dikatakan negeri ini telah terjebak masuk dalam jeratan utang (debt trap). Jika begitu terus kondisinya, maka negeri ini tidak akan bisa terlepas dari jeratan utang itu. Jika kondisi ini terus berangsung, maka kondisi terbaik yang bisa terjadi hanyalah adanya pengalihan dimana utang luar negeri makin turun sampai sangat minimal dan sebaliknya utang dalam negeri terus meningkat. Kondisi ini seolah-olah baik, padahal sejatinya tidak. Utang dalam negeri itu adalah utang dalam bentuk surat berharga negara. Meskipun utang negeri ini nantinya semuanya sudah dalam bentuk surat berharga negara bukan berarti negeri ini terbebas dari pengaruh asing. Sebab melalui pasar keuangan, surat berharga negara itu bisa dibeli oleh investor asing. Itu artinya asing memiiki tambahan pintu masuk untuk bisa mengacak-acak perekonomian negeri ini dengan mempermainkan kurs mata uang. Maka dilihat dari faktor ini, ketahana negeri ini akan bergantung pada sejauh mana kepemilikan asing atas SBN itu bsi dikontrol sebaik mungkin.
Utang dalam bentuk surat berharga negara yang terus membesar pada akhirnya juga mendatangkan ancaman bagi perekonomian. Apa yang terjadi di Amerika dan Eropa adalah contoh nyata tentang hal itu.
Lalu bagaimana jika pembayaran utang itu dipercepat pelunasannya? Untuk mendapatkan gambaran sesulit apa hal itu bisa direalisasikan, digunakan saja angka-angka APBN 2012 sebagai patokan.
Dalam APBN 2012, belanja pemerintah pusat mencapai Rp 965 triliun. Dari jumlah itu, belanja pegawai sebesar Rp 215,73 triliun (22,36%), belanja barang dialokasikan sebesar Rp 142,24 triliun (14,74 %), belanja modal dialokasikan Rp 168,27 triliun (17,44%) dari belanja pemerintah pusat, defisit anggaran sebesar Rp 124,02 triliun. Sementara itu di dalam Buku Saku Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa pada tahun anggaran 2012 pembayaran utang totalnya mencapai Rp 322,709 triliun terdiri dari pembayaran pokok utang sebesar Rp 200,491 triliun (pokok pinjaman Rp 47,400 triliun dan pokok SBN Rp 153,091 triliun) dan pembayaran bunga sebesar Rp 122,218 triliun (bunga pinjaman Rp 17,887 triliun dan bunga SBN 104,331 triliun terdiri dari bunga SBN Rupiah Rp 88,278 triliun dan bunga SBN Valas Rp 16,052 triliun).
Sekarang kita coba-coba skenario pelunasan utang dengan menggunakan angka-angka belanja APBN 2012 itu sebagai patokan. Skenario pelunasan utang itu menggunakan asumsi-asumsi berikut: pertama, dilakukan moratorium utang baru baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk penerbitan Surat Berharga Negara. Kedua, negeri ini tetap dipertahankan bisa menjalankan pembangunan dengan besaran anggaran sebesar belanja modal di APBN 2012. Artinya besaran belanja modal tidak dikurangi. Ketiga, ilakukan moratorium pembayaran bunga utang yakni bunga utang ditiadakan sebab bunga utang itu adalah riba dan hukumnya haram. Dan keempat, dilakukan efisiensi dan penggunaan anggaran secara ketat sehingga tidak memunculkan defisit baru.
Dengan menggunakan keempat asumsi itu maka: pertama, alokasi pembayaran bunga sebesar Rp 122,218 triliun dialihkan untuk menutup defisit. Artinya pembiayaan defisit anggaran ditutupi oleh alokasi pembayaran bungan utang. Jadi dengan begitu tidak ada defisit anggaran. Sebab pembiayaan defisit yang besarnya Rp 124,02 triliun nantinya digunakan untuk membayar bunga utang yang besarnya Rp 122,218 triliun. Karena bunga utang dihapuska, itu artinya pegeluaran untuk pembayaran bungan itu tidak ada dan dengan begitu tidak perlu ada defisit. Kalaupun ada kekuarangan hanya Rp 1,802 triliun. Jumlah sebesar ini tentu sangat-sangat mudah ditutupi dengan melakukan penghematan anggaran seperti anggaran kunjungan yang besarnya Rp 21 triliun yang selama ini dinilai tidak efektif dan lebih bernuansa plesiran.
Kedua, besaran total pembayaran pokok utang (utang LN dan DM) tetap dipertahankan besarannya seperti di UU no 22 Th 2011 tentang APBN 2012 yaitu sebesar Rp 47 triliun. Itu artinya sejumlah itulah minimal pembayaran yang bisa dilakukan tiap tahun. Untuk melunasi total utang yang sudah mencapai RP 1.837,39 triliun butuh waktu 39 tahun. ARtinya dengan skenario ini utang pemerintah pusat itu baru lunas tahun 2051. Namun jika berpatokan pada Buku Saku Perkembangan Utang, besarnya pembayaran pokok utang tahun 2012 mencapai Rp 200 triliun. Jika besaran ini diberlakukan tetap tiap tahun, maka total utang Rp 1.837,39 triliun akan lunas dalam 10 tahun. Artinya total utang pemerintah pusat itu sudah bisa lunas tahun 2022. Namun skenario ini masih menyimpan tanda tanya. Yaitu dari mana uang Rp 150 triliun iut di dapat? Sebab di dalam APBN 2012 alokasi pembayaran pokok utang tidak sebesar itu. Jika dipakai pendekatan moderat yaitu pembayaran pokok utang ditetapkan Rp 100 triliun setiap tahun, maka total utang pemrintah usat itu akan lunas dalam 19 tahun. Artinya negeri ini tidak memiliki utang lagi pada tahun 2031. Mungkin skenario terahir ini masih sangat realistis. Penambahan jumlah Rp 50 triliun dari angka APBN 2012 itu masih mungkin dnegan melakukan penghematan. Misalnya, anggaran kunjungan sebesar Rp 21 triliun dipangkas 16 triliun menjadi cukup 5 triliun saja. Lalu dari penghematan anggaran departemen seluruhnya bisa didapat sekitar 18 triliun. Sisanya sekitar Rp 14 triliun bisa didapat dari penghematan fasilitas para pejabat, dan pengurangan atau bahkan penghapusan insentif fiskal kecuali untuk produk atau sektor yang erat kaitannya dengan kehidupan rakyat kecil. Jika masih kurang, maka anggaran belanja modal bisa dikurangi sedikit menjdi Rp150 triliun.
Dengan skenario ini utang negara bisa dilunasi. Namun kuncinya adalah kemauan politik, ketegasan dan keberanian pemerintah dan para politisi. Dengan skenario itu, pembangunan masih tetap jalan dengan belanja modal sebesar Rp 150 triliun. Jumlah itu dengan perencanaan yang baik, dan diutamakan untuk pembangunan infrastruktur dan proyek prduktif di sektor riil, maka akan bisa memberikan efek pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang besar. Apalagi masih ditambah lagi dengan pembangunan di daerah yang dibiayai dari dana transfer ke daerah baik dalam bentuk DAU atau DAK.[]
Pengelolaan Anggaran (Utang): Buruk
Oleh : Yahya Abdurrahman - Lajnah Siyasiyah HTI
Sesuatu yang bisa diterima oleh nalar sehat adalah seseorang terpaksa berutang untuk membiayai keperluannya yang tidak bisa ditunda. Namun tidak bisa diterima nalar sehat jika orang berutang sekedar untuk disimpan di saku, tidak dia gunakan, sebab yang penting dia merasa punya uang dan merasa aman. Namun justru yang kedua itulah yang dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan belanja APBN oleh pemerintah selama ini selalu jeblok. Tiap tahun ada saja sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA). SILPA tahun 2008 tercatat sebesar Rp 51,3 triliun. SILPA tahun 2009 sebesar Rp 38 triliun. SILPA tahun 2010 mencapai Rp 47 triliun sehingga total SILPA di akhir tahun 2010 mencapai Rp 97,74 triliun. Pada tahun yang sama (2010) pemerintah menarik utang baru Rp 85,49 triliun. Lalu SILPA tahun 2011 mencapai Rp 39,2 triliun, sehingga SILPA di akhir tahun 2011 mencapai Rp 96,62 triliun. Pada tahun 2011 itu pemerintah menarik utang baru sebsar Rp 127,34 triliun.Tahun 2011 semestinya pemerintah tidak perlu menarik utang baru sebesar Rp 127,34 triliun. Defisit APBN 2011 itu pertama-tama mestinya ditutupi menggunakan SILPA tahun 2010 yang besarnya Rp 97,74 triliun. Itu artinya di tahun 2011, pemerintah menarik utang baru Rp 97,74 triliun padahal di sakunya tersedia uang kontan sebesar itu juga. Jadi di tahun 2011, pemerintah menarik utang baru Rp 97,74 triliun hanya untuk disimpan di kantong saja dan tidak digunakan. Jadi untuk apa menarik utang baru kalau utang itu tidak digunakan? Sementara begitu kesepakatan utang itu ditandatangani, argo bunganya langsung berjalan dan terus berjalan. Kenyataan itu sungguh suit untuk dicerna oleh nalar yang sehat.
Kenyataan itu makin diperparah oleh fakta buruknya pengelolaan anggaran. Seperti sudah diketahui umum, bahwa penyerapan anggaran selama ini buruk sekali. Sampai bulan September tiap tahun rata-rata penyerapan anggaran baru mencapai 60 %. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anggaran sisanya yang sebesar 40% itu bisa dibelanjakan selama dua bulan? Kenyataan itu dengan mudah bisa dipahami bahwa di akhir tahun akan terjadi penghambur-hamburan anggaran. Disitu tingkat afektifitas penggunaan anggaran pasti rendah dan rawan kebocoran. Dan itulah yang terjadi.
Hasil audit BPK (2011) menunjukkan, dalam kurun waktu tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai Rp 103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang dan jasa. Indikatornya, terlihat pada penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga pasar. Bank Dunia pun pada 2008 melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan sekitar 10-50 persen.
Diantara justifikasi penarikan utang adalah untuk menutup defisit APBN dalam rangka membiayai pembangunan. Asumsinya, utang diperlukan agar pembangunan bisa tetap berjalan dan bukan hanya kegiatan rutin saja. Artinya utang yang diambil itu lebih dipergunakan untuk pos belanja modal, bukan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Ada pemikiran bahwa utang tidak jadi masalah selama dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif. Yaitu proyek-proyek yang bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan meningkatkan PDB. Misalnya utang untuk membangun infrastrukur, membangun jalan, pelabuhan, transportasi, jaringan irigasi, telekomunikasi, pembangkit listrik, Karena itu untuk menunjukkan keberhasilan pengelolaan utang itu, selalu digunakan tolok ukur persentase utang terhadap PDB. Jika persentase utang terhadap PDB makin kecil meski jumlah utang makin banyak, maka dianggap bahwa pengelolaan utang sudah tepat (on the track) sebab pengelolaan utang bisa meningkatkan PDB lebih besar dari pertambahan utang, artinya pembangunan bisa berjalan, produksi nasional meningkat pesat dan terjadi pertumbuhan ekonomi.
| Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin | ||
| Tahun | Jumlah (juta orang) | Persentase |
| 2000 | 38,7 | 19,1 |
| 2001 | 37,9 | 18,4 |
| 2002 | 38,4 | 18,2 |
| 2003 | 37,3 | 17,4 |
| 2004 | 36,1 | 16,7 |
| 2005 | 35,1 | 16 |
| 2006 | 39,3 | 17,7 |
| 2007 | 37,2 | 16,6 |
| 2008 | 35,0 | 15,4 |
| 2009 | 32,5 | 14,1 |
| 2010 | 31,0 | 13,3 |
| 2011 | 30,02 | 12,49 |
| Sumber: BPS | ||
| Tabel 6. Penduduk Menurut Jenis Kegiatan 2004, 2008, 2011 | ||||
| Jenis Kegiatan Utama | Agt 2004 | Agt 2008 | Agt 2011 | Kenaikan 2004 - 2011 |
| Angkatan Kerja (juta org) | 104,00 | 111,95 | 117,37 | 13,37 |
| Bekerja (juta org) | 93,7 | 102,55 | 109,67 | 15,97 |
| Pengangguran Terbuka (juta org) | 10,3 | 9,39 | 7,7 | -2,6 |
| Tingkat Pengangguran Terbuka (%) | 9,90 | 8,39 | 6,56 | -3,34 |
| Pekerja Tidak Penuh (juta org) | 27,9 | 31,09 | 34,59 | 6,69 |
| Setengah Penganggur (juta org) | 13,4 | 14,92 | 13,52 | 0,12 |
| Paruh Waktu (juta org) | 14,5 | 16,17 | 21,06 | 6,56 |
| Sumber : BPS | ||||
| Tabel 7. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2008, dan 2011 (juta orang) | ||||
| Status Pekerjaan Utama | 2004 | 2008 (Agst) | 2011 (Agst) | Kenaikan 2004 - 2011 |
| Wirausaha | 42,79 | 45,71 | 42,8 | 0,02 |
| Berusaha Sendiri | 18,31 | 20,92 | 19,42 | 1,12 |
| Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar | 21,51 | 21,77 | 19,66 | -1,85 |
| Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar | 2,97 | 3,02 | 3,72 | 0,75 |
| Buruh/Karyawan/Pegawai | 25,46 | 28,18 | 37,77 | 12,31 |
| Pekerja Bebas | 25,47 | 28,66 | 29,11 | 3,63 |
| Pekerja Bebas di Pertanian | 4,45 | 5,99 | 5,48 | 1,03 |
| Pekerja Bebas di Non Pertanian | 3,73 | 5,29 | 5,64 | 1,91 |
| Pekerja Keluarga/Tak Dibayar | 17,29 | 17,38 | 17,99 | 0,69 |
| Total | 93,72 | 102,55 | 109,67 | 15,95 |
| Diolah dari data BPS dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2004, 2008, dan 2011 | ||||
Bauran pekerjaan utama di tahun 2011 menunjukkan bahwa orang yang bekerja di sektor formal ada 37,77 juta orang atau 34,44 %, yaitu mereka yang bekerja menjadi buruh/karyawan/pegawai. Lebihnya bekerja disektor informal baik yang wirausaha ataupun menjadi pekerja serabuta. Bahkan diantara buruh mungkin saja ada yang bekerja di sektor informal, terutama buruh di sektor perdagangan dan jasa. Lapangan kerja yang secara langsung bisa dianggap sebagai hasil pembangunan adalah lapangan kerja di sektor formal. Lapangan kerja di sektor formal ini ternyata tidak bisa menyerap tambahan angkatan kerja tiap tahun. Ketua Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulistyo mengatakan, pertumbuhan angkatan kerja tiap tahun mencapai 2,91 juta orang sedangkan pertumbuhan lapangan kerja hanya menamping 1,6 juta orang. “Setiap tahun ada penambahan tenaga kerja menganggur sebanyak 1,3 juta orang,” ungkap Suryo dalam acara Seminar ‘Mencetak Sejuta Lapangan Kerja dan Wirausaha Baru’ di Kantor Kementerian Perindustrian, Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (14/12/2011). Apalagi kualitas pertumbuhan juga kian menurun. Kalau sebelumnya tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu angkatan kerja, sekarang tiap 1 persen pertumbuhan hanya bisa menyerap 200 ribu angkatan kerja. Kalau pertumbuhan lapangan kerja tidak bisa menyerap pertumbuhan angkatan kerja, lalu bagaimana mungkin angka pengangguran menurut BPS justru menurun? Jawabannya adalah pertumbuhan lapangan kerja itu di sektor formal. Kelebihan angkatan kerja itu akhirnya bekerja di sektor informal, termasuk menjadi pekerja keluarga/tak dibayar. Dari situ, angka pengangguran terbuka menurut BPS itu yang dimaksudkan mungkin adalah mereka yang benar-benar tidak melakukan apa-apa. Karena itu angka pengangguran yang sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka pengangguran terbuka. Bisa jadi angka pengangguran itu mencapai lebih dari 30 juta orang.
Semua itu menunjukkan penggunaan anggaran yang diantaranya ditutupi dengan utang ternyata tidak efektif untuk menciptakan lapangan kerja khususnya di sektor formal. Masih begitu besarnya angka pengangguran menunjukkan hal itu. Tidak efektifnya pembangunan ekonomi dalam penciptaan lapangan kerja itu juga ditunjukkan oleh makin menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi dalam menyerap lapangan kerja. Sayangnya semua itu selama sepuluh tahun ini harus ditopang dengan pembiayaan dari utang baru yang mencapai Rp 1000 triliun. Maka sungguh ironis, utang yang sedemikian besar diambil tapi tidak memberikan membrikan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat. Hasilnya hanyalah utang yang makin menumpuk dan menjadi beban seluruh rakyat hingga turun temurun.[]
Utang dan PDB
Oleh : Yahya Abdurrahman - Lajnah Siyasiyah HTI
Pemerintah merasa bangga telah sukses mengelola utang. Yang dijadikan bukti adalah persentase utang terhadap PDB yang terus menurun, meski secara nominal jumlah utang yang ada meningkat drastis. Jika pada tahun 2000 utang negara itu pada angka 80-an persen dari PDB, angka itu terus menurun sampai tinggal 25 persen pada tahun 2011 dan 2012. Presiden SBY sendiri menghendaki tahun 2014 utang negara tidak boleh lebih dari 22 % dari PDB. Persentase utang terhadap PDB dari tahun 1999 sampai 2011 dapat dlihat dalam grafik yang dicantumkan dalam Buku Saku Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2011
Persentasi utang terhadap PDB memang terus menurun meski jumlah utang meningkat drastis dari Rp 553 triliun pada tahun 1998 pasca reformasi lalu menjadi Rp 1235 triliun pada tahun 2000 dan naik lagi menjadi Rp 1.837,39 triliun pada akhir Januari 2012. Sementara pada tahun 2000 PDB Indonesia sekitar Rp 1.387,64 triliun, dan angka PDB terus meningkat hingga pada Januari 2012 PDB Indonesia menjadi Rp 7.226 triliun. Itu artinya utang negara pada Januari 2012 menjadi Rp 1.837,39 triliun atau menjadi 1,49 kali dari utang tahun 2000. Di sisi lain, PDB Indonesia pada Januari 2012 telah menjadi Rp 7.226 triliun atau menjadi 5,2 kali dari PDB tahun 2000. Data itu dijadikan argumentasi bahwa pengelolaan utang negara selama ini sudah baik. Sebab meskipun jumlah utang naik tapi kenaikan PDB jauh lebih besar lagi, sehingga persentase utang terhadap PDB terus menurun. Tak mengapa utang terus bertambah, asal PDB meningkat lebih cepat dari peningkatan utang. Membesarnya angka PDB juga diiukti oleh makin tingginya PDB perkapita. PDB perkapita yang makin tinggi menunjukkan bahwa kemakmuran penduduk makin meningkat.
Tolok ukur kinerja pengelolaan utang menurut persen dari PDB ini seolah benar. Padahal yang harus diingat, utang itu dibayar dengan uang APBN. Karena itu semestinya yang harus lebih diperhatikan adalah sejauh mana beban pembayaran utang itu terhadap APBN. Makin besar jumlah utang maka beban APBN untuk bayar utang juga makin besar. Jika makin banyak uang APBN yang tersedot untuk bayar utang, maka alokasi untuk pembangunan sebaliknya akan makin kecil. Sebab pos belanja rutin baik belanja pegawai maupun belanja barang tentu sagat sulit (tidak mungkin) dikurangi secara drastis. Atau jika bukan belanja modal yang dikurangi maka belanja subsidi untuk rakyat yang menjadi sasaran pertama untuk dikurangi atau bahkan dihilangkan seperti resep baku IMF. Berkurangnya subsidi untuk rakyat baik jenis maupun besarannya diantaranya dikarenakan APBN tersedot untuk bayar utang. Bayangkan saja, tahun ini hampir 20 % uang APBN tersedot untuk bayar utang.
Peningkatan PDB, Peningkatan Kesejahteraan Semu
Salah satu yang dibanggakan sebagai prestasi bahwa pembangunan di negeri ini berjalan dengan baik adalah angka PDB dan PNB (Produk Nasional Bruto) dan berikutnya PDB per kapita dan PNB per kapita yang terus meningkat dari tahun ke tahun (tabel 3).
Tabel 3. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita, Produk Nasional Bruto (PNB) Per Kapita dan Pendapatan Nasional (PN) Per Kapita, 2000-2009 ( juta Rupiah)
Untuk tahun 2011, Pelaksana Tugas Harian (Plt) BPS Suryamin, dalam pemaparan pertumbuhan ekonomi 2011 di Gedung BPS, Jakarta, Senin (6/2/2012) mengatakan, PDB per kapita Indonesia atas dasar harga berlaku pada 2011 mencapai Rp 30,8 juta (USD 3.542,9). Artinya terdapat peningkatan PDB per kapita sebesar 13,65 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp 27,1 juta atau USD 3.010,1 (okezone.com, 6/2/12).
Peningkatan PDB, PDB per kapita, PNB, PNB per kapita dan pendapatan nasional per kapita ini mencerminkan kesejahteraan rakyat negeri ini makin meningkat? Angka-angka itu adalah angka-angka nominal. Angka-angka itu tidak secara langsung menunjukkan peningkatan daya beli masyarakat yang menunjukkan peningkatan kesejahteraan riil masyarakat. BPS sendiri juga menyertakan data peningkatan daya beli riil, yaitu data PDB per kapita, PNB per kapita dan PN per kapita berdasarkan pada harga konstan tahun 2000. Dari data pada tabel di atas terlihat ada perbedaan sangat menyolok antara peningkatan angka nominal dengan peningkatan daya beli riil. Pendapatan nasional per kapita naik dari Rp 6,15 juta pada tahun 2000 menjadi Rp 21,483 juta pada tahun 2009, artinya naik 3,49 kali. Lalu pendapatan per kapita itu naik menjadi Rp 30,8 juta pada tahun 2011. Artinya 1,43 kali dari pendapatan per kapita tahun 2009 atau naik 5 kali lipat dari pendapatan per kapita tahun 2000. Sementara peningkatan pendapatan riil yakni peningkatan daya beli hanya terjadi dari Rp 6,15 juta pada tahun 2000 menjadi Rp 8,184 juta pada tahun 2009, artinya hanya naik 1,33 kali (sementara secara nominal meningkat 3,49 kali).
Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa ternyata penambahan utang yang sedemikian besar dan peningkatan PDB yang besar itu sebenarnya tidak diikuti dengan peningkatan daya beli masyarakat secara signifikan. PDB meningkat 5 kali lipat selama periode sepuluh tahun. Sementara peningkatan daya beli masyarakat hanya 1,33 kali untuk periode 10 tahun itu. Artinya kesejahteraan masyarakat hanya meningkat 1,3 kali hasil dari program pembangunan selama 10 tahun (2000 - 2009) yang diantaranya dibiayai dengan utang.
PDB Naik, Siapa Yang Menikmati?
Uraian diatas sudah memperlihatkan bahwa peningkatan PDB itu tidak sebanding dengan peningkatan daya beli atau peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kenyataan itu mengisyaratkan bahwa peningkatan PDB itu tidak dinikmati secara merata oleh masyarakat.
Edmund Phelps, Profesor di Universitas Columbia Amerika Serikat dan menerima hadiah Nobel 2006, memberikan indikasi bahwa PDB tidak menggambarkan realita ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat. Ia meyakini bahwa berbagai statistik tentang PDB tidak inklusif terhadap tingkat kemiskinan serta tingkat pengangguran.
BPS pada Februari 2012 menyebutkan bahwa PDB Indonesia mencapai Rp 7.426 triliun dan PDB per kapita sudah mencapai Rp 30,8 juta atau Rp 2,56 juta sebulan. Benarkah setiap penduduk Indonesia berpendapatan sebesar itu?
Angka itu bisa jadi benar secara statistik tetapi bertabrakan dengan fakta di lapangan. Para buruh di negeri ini jelas tidak memenuhi angka itu. Sebagai bukti, SK Gubernur Jabar yang menetapkan UMK Bekasi sebesar Rp 1,5 juta saja ternyata di-PTUN-kan oleh asosiasi pengusaha (Apindo) di Bekasi. Akibatnya para buruh melakukan aksi demonstras sebagai betuk perlawanan mereka sampai-sampai menutup akses tol Cikampek. Hal yang sama dilakukan para buruh di Tangerang. Mereka melakukan unjuk rasa agar UMK Tangerang dinaikkan mejadi Rp 1,5 juta. Bahkan buruh mengancam akan menutup akses tol bandara udara Soekarno-Hatta. Bahkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2012 diputuskan sebesar Rp 1.529.150,- atau sebesar 102,9% dari nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Bisa dikatakan UMP atau UMK DKI adalah yang paling tinggi di negeri ini. Itu artinya hampir seluruh buruh di negeri ini yang pada tahun 2011 berjumlah 37.771.890 orang menurut data BPS, tidak ada yang memiliki pendapatan per kapita sebesar PDB per kapita.
Begitu pula dengan asumsi BPS itu, berarti dalam satu keluarga inti (terdiri dari suami, isteri dan 2 orang anak), memiliki pendapatan keluarga sebesar Rp 10,24 juta per bulan. Kenyataannya, maksimal pendapatan satu keluarga itu hanya Rp 3 juta (2 x Rp 1,5 juta, bila suami dan istri sama-sama bekerja). Dari sini terlihat bahwa PDB per kapita itu ternyata tidak merata dirasakan oleh seluruh rakyat. Lalu bagaimana distribusi PDB itu diantara rakyat?
Peningkatan PDB yang jelas dinikmati oleh kelompok menengah. Hal itu ditandai oleh makin membesarnya jumlah masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori kelas menengah. Data Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan berjudul “The Rise of Asia’s Middle Class 2010″, menyebutkan, jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2009 mencapai sekitar 42,7 persen atau 93 juta jiwa dari total penduduk. Angka ini naik dua kali lipat dibandingkan 1999 dimana jumlah kelompok kelas menengah tercatat 45 juta jiwa atau 25 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan, pada 1990 jumlah kelas menengah baru 32 juta jiwa. Data yang dirilis Bank Dunia (BD) malah menunjukkan angka yang lebih tinggi lagi. Tahun 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen dari jumlah penduduk.
Definisinya, kelompok dengan penghasilan sebesar USD 2-20 per hari. Dari kelompok yang lebar itu, bisa diklasifikasikan dalam 4 kelompok. Pertama, lowest middle class dengan penghasilan antara USD 2-4 per hari (sebanyak 38% dari total penduduk). Kedua, low middle class antara USD4-6 per hari (sebanyak 11%). Ketiga, middle middle class atau berpenghasilan antara USD 6-10 USD (5%). Keempat, upper middle class dengan penghasilan antara USD 10-20 per hari (1,3%).
Data Bank Dunia itu menunjukkan bahwa sebagian besar dari kelas menengah itu yakni sekitar 50 persen dari penduduk atau lebih dari 118 juta orang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6 per hari atau Rp 54 ribu per hari (kus 1 USD = Rp 9000,-) atau Rp 1,62 juta per bulan. Jadi PDB per kapita bahkan tidak mencerminkan kelas menengah sendiri. Sebab sebagian besar dari kelas menengah menurut data Bank Dunia tersebut ternyata memiliki pendapatan yang jauh di bawah PDB per kapita. Sementara di sisi lain kelompok masyarakat bawah yang berpengeluaran kurang dari USD 2 per hari, jumlahnya mencapai lebih dari 100 juta orang. Itu artinya lebih dari 217 juta penduduk Indonesia memiliki pendapatan jauh di bawah PDB per kapita. Jika kenyataannya seperti itu, lalu siapa yang menikmati penngkatan PDB atau pertubuhan ekonomi negeri ini?
Dari analisis terhadap data perkembangan kelas menengah menurut Bank Dunia itu terlihat bahwa yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB negeri ini adalah kelompok kaya dan sangat kaya. Yaitu kelompok orang berpenghasilan antara USD 6-10 per hari sebanyak 5 persen dari jumlah penduduk (sekitar 11,8 juta orang) dan kelompok berpenghasilan antara USD 10-20 per hari sebanyak 1,3 persen dari penduduk (sekitar 3,08 juta orang). Yang paling menikmati adalah kelompok masyarakat yang dianggap masyarakat super kaya (HNWI - highly net-worth individual). Jumlah mereka hanya sekutar 5 juta orang saja dari 237 juta penduduk Indonesia.
Hal itu juga sejalan dengan data distribusi nilai simpanan masyarakat di bank umum seperti yang ada di tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Total Simpanan dan Jumlah Rekening Berdasarkan Segmen Nominal Simpanan
Data distribusi nilai simpanan di bank umum itu bisa menggambarkan distribusi kekayaan di negeri ini. Jika diasumsikan tidak ada orang yang memiliki rekening lebih dari satu, maka itu artinya kurang dari separo penduduk Indonesia yang memiliki rekening di bank umum. Sebab jumlah rekening di bank umum hingga Januari 2012 paling banyak hanya 101.503.506 rekening. Sementara setengah dari jumlah penduduk Indonesia mencapai 118,5 juta. Padahal faktanya banyak orang yang memiliki lebih dari satu rekening di bank umum. Dengan begitu, jumlah penduduk Indonesia yang memiliki rekening di bank umum itu jauh di setengah dari jumlah penduduk. Mereka yang tidak memiliki rekening di bank umum itu diasumsikan bukan karena tidak mau, tetapi karena memang tidak punya uang untuk disimpan di bank.
Data tersebut menunjukkan, rekening dengan nilai nominal di atas 5 miliar yang jumlahnya hanya 0,05 persen dari total jumlah rekening itu ternyata menguasai 41 % dari total nilai simpanan. Data itu juga menunjukkan, 1,6 % dari jumlah rekening (rekening di atas 200 juta) menguasai 75 % dari total nilai nominal simpanan. Atau 3 % dari total jumlah rekening yang ada (rekening diatas 100 juta) menguasai 83,5 % dari total nilai simpanan. Data itu mengisyaratkan, lebih dari 83,5 % total kekayaan negeri ini dikuasai oleh hanya 3 % dari penduduknya.
Ini merupakan gambaran betapa buruknya distribusi kekayaan di negeri ini. Distribusi kekayaan di sebuah negeri adalah hasil dari penerapan sistem ekonomi yang diadopsi negeri tersebut. Dengan demikian, fakta di atas sekaligus menjadi bukti betapa buruknya sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi negeri ini. Sebab sistem itu ternyata bekerja hanya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi orang-orang kaya yang memang sudah sejahtera.
Kenyataan itu sekaligus menunjukkan bahwa peningkatan PDB (pada Januari 2012 angka PDB telah mencapai Rp 7.426 triliun) yang selama ini dibanggakan ternyata hanya dinikmati oleh segolongan sangat kecil dari penduduk negeri ini. Begitu pula peningkatan PDB per kapita yang pada Januari 2012 telah mencapai Rp 2,56 juta ternyata juga tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat negeri ini. Sebab, setengah lebih dari kelas menengah menurut kriteria bank dunia sekalipun memiliki pendapatan di bawah PDB per kapita itu. Apalagi kelas masyarakat di bawah kelas menengah itu, tentu pendapatan mereka jauh d bawah angka PD per kapita itu. Bahkan masyarakat kelas bawah menurut kriteria bank dunia itu bisa dikatakan nyaris tidak punya harapan (hopeless). Padahal peningkatan PDB dan PDB per kapita itu diantaranya dibiayai dengan utang yang harus ditanggung oleh seluruh individu rakyat tanpa kecuali. Namun sebagian besar rakyat yang belum sejahtera justru tidak menikmati hasilnya. Hasilnya hanya dinikmati oleh kelas masyarakat kaya yang memang sudah sejahtera. Hal itu sungguh merupakan bentuk kezaliman dan ketidakadilan sistematis terhadap rakyat negeri ini.[]
Menumpuk Utang, Salah Satu Prestasi Pemerintah Negeri Ini
Oleh : Yahya Abdurrahman - Lajnah Siyasiyah HTI
Salah satu prestasi pemerintahan demokrasi kapitalis adalah prestasi menumpuk utang. Hal itu merupakan tabiat pemerintahan dalam sistem demokrasi kapitalis, tak terkecuali pemerintah negeri ini. Pemerintah negeri ini terus berusaha menumpuk utang. Hingga akhir Januari 2012 utang pemerintah telah mencapai Rp. 1837,39 triliun. Fantastis!Sebagaimana data yang dirilis oleh Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu yang dikutip oleh detikFinance, Kamis (23/2/2012), total utang pemerintah Indonesia hingga Januari 2012 mencapai Rp 1.837,39 triliun. Jumlah itu naik Rp 33,9 triliun dari akhir 2011 yang nilainya mencapai Rp 1.803,49 triliun.
Jika dihitung dengan denominasi dolar AS, jumlah utang pemerintah di Januari 2012 mencapai US$ 204,15 miliar. Jumlah ini naik dari posisi di akhir 2011 yang mencapai US$ 198,89 miliar. Jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp 7.226 triliun, maka rasio utang Indonesia per Januari 2012 tercatat sebesar 25%.
Menurut data, utang pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat (tabel 1). Jumlah utang pada akhir Januari 2012 yang sebesar Rp 1837,39 triliun itu jika dibagi dengan jumlah penduduk 239 juta maka tiap orang penduduk temasuk bayi yang baru lahir sekalipun terbebani utang sebesar Rp 7,6878 juta. Sebab utang itu tentu harus dibayar menggunakan uang rakyat (APBN). Sumber pendapatan APBN paling besar adalah pajak yang tentu saja dipungut dari rakyat, itu artinya rakyatlah yang secara langsung menanggung pembayaran utang itu.
Meski jumlah utang sudah sedemikian besar namun pemerintah seolah belum merasa puas. Hingga akhir tahun 2012 pemerintah akan terus menarik utang baru. Pada akhir tahun ini rencananya utang pemerintah bakal bertambah menjadi Rp 1.937 triliun atau naik Rp 134 triliun. Bahkan seperti diberitakan detikfinance.com (23/2), rencananya, pemerintah ingin menarik utang baru Rp 250 triliun pada tahun ini.
APBN Tersedot Untuk Bayar Utang
Besarnya jumlah utang tentu akan diikuti dengan makin besarnya jumlah yang harus dibayarkan dari APBN untuk membayar utang baik cicilan pokok maupun bunganya. Untuk tahun 2012 diperkirakan dana APBN akan tersedot untuk bayar utang mencapai Rp. 261,128 triliun. Jumlah itu terdir dari Rp 139 triliun cicilan pokok utang, sebanyak 35% merupakan pinjaman dan 65% merupakan surat utang. Sementara cicilan bunga utang yang akan dibayar pemerintah di tahun 2012 mencapai Rp 122,218 triliun, naik dari tahun 2011 Rp 106,584 triliun. Pembayaran bunga utang pemerintah di tahun 2012 tersebut terdiri dari bunga utang dalam negeri Rp 72,41 triliun dan bunga utang luar negeri Rp 27,59 triliun.
Cicilan utang (pokok dan bunga) tiap tahun cukup besar dan menyita sekitar 20 % APBN (tabel 2). Trendnya juga naik (grafik 1).
Dari data ini, selama 12 tahun (2000 - 2011) total akumulasi cicilan utang negara mencapai Rp 1.843,10 triliun, yang terdiri dari cicilan pokok utang sebesar Rp 872,43 triliun dan cicilan cicilan bunga utang sebesar Rp 970,67 triliun. Total cicilan utang itu bahkan lebih besar dari anggaran belanja APBN 2012. Jumlah itu juga melebihi total utang pemerintah per 31 Januari 2012 yang sebesar Rp 1.837,39 triliun.
Jumlah akumulasi pembayaran utang selama 12 tahun sampai 2011 itu adalah 8,98 kali pendapatan negara dan hibah tahun 2000 yang sebesar Rp 205,3 triliun. Jumlah itu 4,57 kali pendapatan negara dan hibah tahun 2004 yang sebesar Rp 403,4 triliun; sebesar 1,88 kali pendapatan negara dan hibah tahun 2008 sebesar Rp 981,6 triliun; dan sebesar 1,67 kali pendapatan negara dan hibah tahun 2011 yang besarnya Rp 1104,9 triliun.
Akumulasi pembayaran cicilan utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun antara tahun 2000-2011 mencapai Rp 1843,10 triliun. Meski total yang dibayarkan untuk mencicil pokok dan bunga itu nyatanya jumlah utang negara bukannya berkurang tapi sebaiknya justru makin besar. Dari jumlah utang Rp 1.234,28 triliun pada tahun 2000 naik drastis menjadi Rp 1.837,39 triliun. Jumlah utang bukannya menurun sebaiknya justru bertambah Rp 603,11 triliun selama 12 tahun itu. Itu artinya pertambahan jumlah utang karena bunga dan utang baru lebih besar dari cicilan utang baik pokok dan bunganya yang dibayar oleh pemerintah. Jika demikian keadaannya mungkin pemerintah tidak lagi gali lubang tutup lubang, tetapi lebih banyak menggali dari pada menutupnya.
Implikasi dari jumlah utang yang makin besar, cicilan utang (pokok dan bunga) juga makin besar. Akibatnya uang APBN tersedot untuk membayar cicilan utang itu. Sejak tahun 2000 sampai 2011, uang APBN yang tersedot untuk membayar cicilan utang itu berkisar pada angka 20-an persen. Jumlah itu setara dengan jumlah yang dialokasikan oleh undang-undang untuk anggaran pendidikan.
Bahkan jika menggunakan angka yang ada di Buku Saku Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 yang dikeluarkan oleh Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan di halaman 46 disebutkan, pagu APBN-P 2012 untuk pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya) mencapai Rp 322,709 triliun. Jumlah itu terdiri dari cicilan pokok utang sebesar Rp 200,491 triliun dan cicilan bunga sebesar Rp 122,218 triliun. Cicilan pokok utang itu terbagi dalam cicilan pokok pinjaman Rp 47,400 triliun (pinjaman DN Rp 140 miliar dan pijnaman LN Rp 47,260 triliun) dan cicilan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 153,091 triliun (SBN Rupiah Rp 152,091 triliun dan SBN Valas Rp 1 triliun). Sementara cicilan bunga sebesar Rp 122,218 triliun, terdiri dari cicilan bunga pinjaman sebesar Rp 17,887 triliun ( bunga pinjaman DN Rp 225 miliar dan bungan pinjaman LN Rp 17,662 triliun) dan bunga SBN sebesar Rp 104,331 triliun (bunga SBN Rupiah Rp 88,278 triliun dan SBN Valas Rp 16,052 triliun). Jumlah belanja di APBN-P yang sudah disetujui di anggar DPR (inilah.com, 26/3/12) mencapai Rp 1.548,3 triliun. Maka jika pagu APBN-P untuk pembayaran utang pokok dan bunganya mencapai Rp 322.709 triliun itu artinya mencapai 20,84% dari APBN-P 2012 habis untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Jumlah itu masih setara dengan anggaran untuk fungsi pendidikan sebagaimana amanat UU Pendidikan. Padahal belanja untuk fungsi pendidikan itu didistribusikan ke belasan kementerian dan instansi yang menyelenggarakan fungsi pendidikan. Tidak semuanya digunakan untuk biaya penyelenggaraan sekolah. Gaji guru dan pegawai dalam lingkkup pendidikan pun dimasukkan dalam alokasi anggaran fungsi pendidikan. Begitu juga semua kegiatan yang disbeut kegiatan fungsi pendidikan termasuk pelatihan di berbagai kementerian dan instansi pembiayaannya juga dambil dar anggaran fungsi pendidikan itu. Maka dari alokasi 20 % APBN untuk fungsi pendidikan itu sebenarnya yang benar-benar untuk membiayai proses belajar mengajar dan pendidikan di sekolah dari tingkat TK - PAUD sampai PT jauh di bawah 20 % APBN. Karena itu, pengeluaran terbesar di dalam APBN sebenarnya adalah untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya.
Akhirnya APBN pun tersandera oleh utang. APBN tidak lagi fleksibel untuk bisa mengantisipasi perkembangan yang ada. Karena APBN tersandera oleh pembayaran utang, jumlah dan prosentase dari APBN yang bisa dialokasikan untuk pembangunan pun menjadi kecil. Setiap tahun jumlah pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya selalu lebih besar dari anggaran untuk subsidi. Padahal untuk pembayaran cicilan utang itu, uang dari APBN (kas negara) benar-benar keluar dari kas negara. Sementara untuk subsidi BBM, yang terjadi bukan uang APBN benar-benar keluar dari kas negara, tetapi hanya berkurangnya potensi pemasukan dibandingkan jika BBM itu dijual sesuai dengan harga internasional.
Jumlah pembayaran cicilan utang itu juga selalu lebih besar dari anggaran belanja modal. Artinya pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya itu selalu lebih besar dari anggaran untuk pembangunan. Jika kondisinya selalu seperti maka penarikan utang akan terus menjadi tidak efektif untuk peningkatan pembangunan, pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran rakyat serta perbaikan taraf hidup rakyat. Itulah petaka pengelolaan anggaran yang terjadi di negeri ini.[]
