Kontroversi RUU KG
Upaya legalisasi RUU KG tidak lepas dari ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang disahkan Indonesia menjadi UU No. 7/1984. Kemudian UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menguatkan keseriusan Pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak perempuan. Pasal 45 UU itu menyatakan: Hak wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak asasi manusia.
Selain
alasan yuridis, tinjauan sosiologis juga menjadi aspek yang
melatarbelakangi RUU ini. Dalih klasik yang acap dilontarkan pegiat
jender adalah perempuan masih mengalami diskriminasi dalam keluarga,
masyarakat dan negara. Merekalah obyek penderita akibat pembedaan,
pengucilan, pembatasan, dan segala bentuk kekerasan berdasar jenis
kelamin. Akibatnya, kebebasan menikmati hak politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau lainnya berkurang, bahkan terhapus.
Walaupun Indonesia telah memiliki beberapa UU berbasis jender, ternyata semua itu tak cukup
kuat menjadi landasan gerakan pengarusutamaan jender. Inpres No.9/2000
tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) yang lahir pada masa Abdurrahman
Wahid belum mampu menjadi undang-undang payung (umbrella act).
Maka dari itu, melegalkan UU yang mengatur hak warga negara dan
kewajiban negara untuk mewujudkan kesetaraan jender adalah ambisi yang
harus direalisasi.
Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli-10 Agustus 2007 secara khusus memberi beberapa catatan pelaksanaan agenda CEDAW
di Indonesia. Komite memuji komitmen Indonesia terhadap mekanisme PUG
dalam pembangunan nasional. Demi memastikan pemberlakuan konvensi itu,
Komite meminta Pemerintah segera menuangkannya dalam hukum nasional.
Bahkan dengan terus-terang Indonesia didorong untuk melakukan studi
banding tentang kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap hukum
Islam. Karena itulah mereka memerlukan dukungan bagi reformasi hukum,
termasuk menjalin kemitraan dengan lembaga penelitian yurisprudensi
Islam, masyarakat sipil, organisasi non-Pemerintah dan tokoh masyarakat
yang mendukung kesetaraan perempuan.
Dokumen
itu sengaja diminta untuk dipublikaskan tentu dengan maksud untuk
memberikan petunjuk bahwa beginilah seharusnya arah pembangunan jender
di Indonesia. Bukankah bisa kita simpulkan bahwa keislaman
mayoritas penduduk Indonesia hanya menjadi obyek perubahan agenda
internasional? Karena itulah, sejak pembukaan, RUU ini telah mengundang
kontroversi paradigmatis. Kewajiban meratifikasi dan
mengimplementasikan konvensi internasional yang bahkan diikuti dengan
sanksi menunjukkan bahwa Indonesia tidak cukup berdaulat untuk
memperhatikan kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim.
Menohok Ideologi Islam
Selain CEDAW, RUU ini juga merujuk pada Beijing Platform For Action (BPFA) sebagai landasan aksi. Secara lebih khusus perspektif jender diintegrasikan dalam pencapaian Millenium Developments Goals. Semuanya
adalah permufakatan yang didasari dogma sekularisme dalam memandang
persoalan perempuan. Bila dibiarkan, PUG akan menjadi bola liar yang
mengarahkan perempuan menuju liberalisme yang makin liar. Karena itu,
upaya mengkritisi RUU ini harus dilakukan secara paradigmatis, Islam
versus Kapitalisme.
1. Ketentuan umum.
Ketentuan
umum pada RUU ini diawali dengan definisi jender, kesetaraan jender,
diskriminasi, pengarusutamaan jender dan perangkat pelaksananya. Tentu
diskriminasi menjadi pemicu utama kelahiran RUU ini. Diskriminasi didefinisikan
sebagai segala bentuk pembedaan dan kekerasan berdasar jenis kelamin
yang berpengaruh untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan manfaat/penggunaan HAM dan kebebasan di segala bidang.
Islam, bagi Barat, adalah diskriminan kelas wahid terhadap perempuan. Aturan syariah seperti batasan aurat, pakaian (hijab), pemimpin negara, tanggung jawab keibuan, relasi suami-istri, perkawinan, dan perwalian dianggap kontradiktif terhadap konsepsi jender. Islam lekat dengan idiom patriarkis (memihak laki-laki), bahkan banyak ayat dan hadis yang dituduh memiliki muatan misogynist
(membenci perempuan). Semangat RUU ini untuk membebaskan perempuan dari
diskriminasi adalah dengan memberikan kemitraan seimbang antara
perempuan dan laki-laki, termasuk dalam perkawinan dan peran kenegaraan. Karena
itu, hal itu akan diterjemahkan sebagai gugatan terhadap hukum-hukum
Islam yang dinilai mensubordinasi (merendahkan) perempuan seperti
masalah izin istri kepada suami/wali, nusyuz, poligami, kepala keluarga, juga keharaman perempuan menjadi kepala negara/pemerintahan.
2. Tujuan penyelenggaraan KG.
Mewujudkan
keadilan di segala bidang kehidupan bagi perempuan dan laki-laki adalah
tujuan umum yang terangkum dalam RUU ini. Membedakan hak dan kebebasan
seseorang karena jenis kelamin adalah ketidakadilan. Tidak boleh
membedakan perempuan karena pandangan tertentu—apalagi agama, terutama
Islam—terhadap peran dan fungsinya dalam kehidupan. Dengan
jelas poin f Pasal 3 menyatakan akan menghapus segala praktik yang
didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin. Artinya, peran khas laki-laki sebagai qowwam ‘ala an-nisa’ dan perempuan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt adalah pembedaan yang layak untuk dihapuskan.
3. Hak dan kewajiban warganegara
Pasal
8-b menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan
melalui peraturan yang tidak diskriminatif jender. Peraturan
diskriminatif—yang mereka kategorikan sebagai perundang-undangan yang
tidak jelas rumusannya—jelas menyasar pada peraturan bernuansa syariah.
Data yang dihimpun Komnas Perempuan sampai akhir September 2010
menunjukkan ada 189 Perda diskriminatif. Di antaranya mengenai khalwat
di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan berpakaian
Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi
perempuan di Tanggerang. Komite CEDAW memberikan
catatan khusus agar Pemerintah mengidentifikasi dan melakukan revisi
terhadap Perda tersebut. Selain desentralisasi yang mengakibatkan
diskriminasi perempuan, Komite juga mengkhwatirkan kebangkitan kelompok
agama fundamentalis.
Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan hubungan keluarga.
Keadilan
pada hak ekonomi mencakup peniadaan izin perempuan dari keluarganya
sebelum bekerja pada malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup
ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi. Komite juga
menganjurkan jaminan agar perempuan/anak perempuan mendapatkan informasi
dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk kemudahan
mendapatkan kontrasepsi bagi remaja untuk mengurangi tingkat aborsi
tidak aman dan kehamilan. UU Perkawinan No. 1/1974 disebut Komite CEDAW
mengabadikan pandangan diskeiminatif. Undang-undang itu juga dianggap
tidak melindungi perempuan karena melegalkan poligami dan perkawinan
dini pada perempuan berusia 16 tahun. Demi memperbesar keterwakilan
perempuan, Komite mendesak Indonesia untuk memperkuat sistem kuota 30
persen bagi calon perempuan sebagai syarat wajib dalam UU Pemilu, dengan
memastikan sanksi apabila syarat itu tidak dipenuhi.
4. PUG: Partisipasi masyarakat, penghargaan dan sanksi.
Pengarusutamaan
jender adalah strategi untuk mengintegrasikan perspektif jender atas
kebijakan dan program pembangunan nasional, termasuk penghapusan segala
bentuk diskriminasi dan perlindungan terhadap perempuan. Pemberdayaan masyarakat
menjadi kata kunci PUG, termasuk meminta keterlibatan dunia usaha dan
swasta. Pasal 20 RUU ini mencantumkan sanksi administratif atau
pemberian disinsentif bagi pihak yang mencedarai komitmen PUG. Bahkan
Pasal 21 ayat (2) menentukan bila terjadi tindak pidana yang
dilatarbelakangi diskriminasi jender. Pidananya dapat ditambah sepertiga
dari ancaman maksimum pidana yang diancamkan dalam KUHP dan UU lainnya.
Jelas, ini adalah upaya untuk mendudukkan hukum positif di atas hukum
syariah ciptaan Allah yang Mahatinggi!
Islam Tak Memerlukan PUG
Sebagaimana Kapitalisme, kelahiran ide
jender berangkat dari pandangan absurd yang meniadakan penghargaan bagi
perempuan. Karena itulah perempuan di luar Dunia Islam perlu berjuang
untuk mendapatkan keadilan. Pada tahun 1777 perempuan di beberapa negara bagian Amerika Serikat belum mendapatkan hak pilih dalam Pemilu. Baru tahun 1920 mereka boleh memilih. Adapun di Dunia Islam, sejak abad ke-7 M Rasulullah saw. telah memberi kesempatan pada Ummu Imarah dan Ummu Mani’ untuk menjadi naqibah
(wakil kelompok) bagi delegasi Baiat ‘Aqabah II. Hak mendapatkan
pendidikan medis pun baru dirasakan perempuan AS saat tahun 1850 saat
didirikan Female Medical College of Pennsylvania. Adapun
Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1470 telah memiliki sekolah kedokteran di
RS Al-Fatih dan membolehkan perempuan menjadi mahasiswanya. Sebuah
risalah abad 15 M berjudul Cerrahiyet Ul Haniye of Sabuncuoglu menunjukkan dokter perempuan pada masa Utsmaniyah terlibat dalam operasi pasien perempuan.
Setiap aturan yang diberlakukan Allah SWT menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Melaksanakan Islam kaffah
bukan berarti mengancam kebebasan, bahkan justru menyelamatkan
masyarakat khususnya generasi muda dari kebebasan yang tidak bertanggung
jawab. Hakikat kedudukan perempuan dan laki-laki secara syariah adalah
setara. Pelaksanaan hak dan kewajiban berlaku seimbang di antara
keduanya. Namun, secara fitrah penciptaan, Allah telah membedakan
keduanya dalam rangka mengemban misi kehidupan.Perbedaan tersebut
diciptakan bukan untuk mendiskri-minasikan perempuan, tetapi demi
harmonisasi peran masing-masing. Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan
dengan erempuan sejatinya adalah perlindungan terhadap
kehormatan dan kesucian perempuan, sesuatu yang tidak disadari dan
dipahami kaum feminis. Maka dari itu, Islamlah jaminan kelestarian generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan moralitas. []