ResistNews–Dr
Siti Musdah Mulia, Guru Besar dan dosen Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah mengajak masyarakat mensosialisasikan pernikahan
beda agama. Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah tidak perlu melarang
pernikahan beda agama, karena pernikahan beda agama adalah konsekuensi
logis dari kebutuhan masyarakat yang plural saat ini.
“Masyarakatnya saja berbeda beda, mengapa pernikahan berbeda agama dilarang? Toh kita tidak mengkampanyekan pernikahan beda agama, kita hanya meminta hak dicatatan sipil saja. Kewajiban Negara adalah memfasilitasi rakyatnya untuk mendapatkan hak pencatatan sipil atas pernikahan beda agama mereka,” jelasnya dalam dialog public yang diselenggarakan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) di Jalan Salemba Jakarta bertema “Pernikahan Beda Agama Ini Masalah Dan Solusinya,” Jumat (30/03/2012) siang.
Acara yang diselenggarakan bekerja sama dengan Indonesia Conference On Religion And Peace (ICRP), Harmoni Mitra Media, Yayasan Harmoni Mitra Madania dan menghadirkan pembicara Ahmad Nurcholish (Penulis Buku-buku Pernikahan Beda Agama, yang juga Alumni YISC Al-Azhar), Romo Dr Al Andang dari perwakilan Katolik, Pendeta Dr. Robert Borrong dari perwakilan Protestan dan Joe Prasmanan perwakilan umat Budha.
Diskusi sekaligus acara launching buku “Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama” karya Ahmad Nurcholis ini dibuka dengan kata pengantar dari Musdah Mulia.
Wanita yang menyelesaikan S-2 bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992) dan S-3 bidang Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah (1997) ini juga mengajak hadirin untuk mensosialisasikan pernikahan beda agama ini sebagai bagian dari hak asasi manusia dimulai dari keluarga dan anak – anak sebagai bagian dari edukasi pluralitas dan toleransi dalam berbangsa dan bernegara.
“Mau nikah satu agama atau beda agama tetap masalah keluarga itu ada kok, namun kalau itu kenyakinan mereka, dan mereka bahagia dengan pernikahan beda agama kenapa kita jadi mempermasalahkan?,” ujarnya.
Sementara Pdt. Robert Borrong menambahkan “Cinta itu harus difasilitasi dan undang undang Negara harus memfasilitasi kebutuhan masyarakat akan nikah beda agama ini. Pelarangan terhadap nikah beda agama justru akan mengedukasi masyarakat menjadi hipokrit, karena mereka tidak boleh menjalankan sesuatu sebagai diri mereka sendiri dan lebih bahaya lagi kalau mereka justru kumpul kebo.”
Ahmad Nurcholish juga ikut menyepakati pernyataan Musdah Mulia dengan menjelaskan bahwa bisa jadi contoh toleransi.
“Pernikahan beda agama itu harus jadi contoh modul, sebagai incubator dan implementasi toleransi itu sendiri,” ujarnya.
Ahmad Nurcholis juga menjelaskan bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat olehnya sudah mencapai 1.109 pasangan Ahmad Nurcholis juga menjelaskan bahwa jumlah pasangan. Sedang untuk tahun 2011 saja sudah mencapati 229 pasangan.
“Paling besar pasangan nikah beda agama itu adalah antara Islam dan Kristen, lalu Islam dan Katolik, lalu Islam dan Hindu, lalu Islam dan Budha dan paling sedikit adalah Kristen dan budha,” jelasnya lebih spesifik.
Menurutnya, paling banyak pasangan nikah beda agama adalah Jabodetabek yang terdata 174 keluarga, jelas laki-laki yang pernah melangsungkan pernikahannya dengan perempuan Kong Hu Cu dengan fasilitas Universitas Paramadina ini.
Dialog ini berakhir pukul 21.30 WIB ini diikuti dari kalangan lintas agama.
Fatwa haram
Seperti diketahui, sebelum ini, dalam keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ber-Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama telah menetapkan fatwa larangan pernikahan berbeda agama.
“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad (yang bisa dijadikan pegangan), adalah haram dan tidak sah,” demikian keputusannya yang ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Jumadil Akhir 1426 H/29 Juli 2005 M dan ditandatangani Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa KH. Ma’ruf Amin.*/thufail (hidayatullah)
“Masyarakatnya saja berbeda beda, mengapa pernikahan berbeda agama dilarang? Toh kita tidak mengkampanyekan pernikahan beda agama, kita hanya meminta hak dicatatan sipil saja. Kewajiban Negara adalah memfasilitasi rakyatnya untuk mendapatkan hak pencatatan sipil atas pernikahan beda agama mereka,” jelasnya dalam dialog public yang diselenggarakan Persatuan Gereja Indonesia (PGI) di Jalan Salemba Jakarta bertema “Pernikahan Beda Agama Ini Masalah Dan Solusinya,” Jumat (30/03/2012) siang.
Acara yang diselenggarakan bekerja sama dengan Indonesia Conference On Religion And Peace (ICRP), Harmoni Mitra Media, Yayasan Harmoni Mitra Madania dan menghadirkan pembicara Ahmad Nurcholish (Penulis Buku-buku Pernikahan Beda Agama, yang juga Alumni YISC Al-Azhar), Romo Dr Al Andang dari perwakilan Katolik, Pendeta Dr. Robert Borrong dari perwakilan Protestan dan Joe Prasmanan perwakilan umat Budha.
Diskusi sekaligus acara launching buku “Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama” karya Ahmad Nurcholis ini dibuka dengan kata pengantar dari Musdah Mulia.
Wanita yang menyelesaikan S-2 bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992) dan S-3 bidang Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah (1997) ini juga mengajak hadirin untuk mensosialisasikan pernikahan beda agama ini sebagai bagian dari hak asasi manusia dimulai dari keluarga dan anak – anak sebagai bagian dari edukasi pluralitas dan toleransi dalam berbangsa dan bernegara.
“Mau nikah satu agama atau beda agama tetap masalah keluarga itu ada kok, namun kalau itu kenyakinan mereka, dan mereka bahagia dengan pernikahan beda agama kenapa kita jadi mempermasalahkan?,” ujarnya.
Sementara Pdt. Robert Borrong menambahkan “Cinta itu harus difasilitasi dan undang undang Negara harus memfasilitasi kebutuhan masyarakat akan nikah beda agama ini. Pelarangan terhadap nikah beda agama justru akan mengedukasi masyarakat menjadi hipokrit, karena mereka tidak boleh menjalankan sesuatu sebagai diri mereka sendiri dan lebih bahaya lagi kalau mereka justru kumpul kebo.”
Ahmad Nurcholish juga ikut menyepakati pernyataan Musdah Mulia dengan menjelaskan bahwa bisa jadi contoh toleransi.
“Pernikahan beda agama itu harus jadi contoh modul, sebagai incubator dan implementasi toleransi itu sendiri,” ujarnya.
Ahmad Nurcholis juga menjelaskan bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat olehnya sudah mencapai 1.109 pasangan Ahmad Nurcholis juga menjelaskan bahwa jumlah pasangan. Sedang untuk tahun 2011 saja sudah mencapati 229 pasangan.
“Paling besar pasangan nikah beda agama itu adalah antara Islam dan Kristen, lalu Islam dan Katolik, lalu Islam dan Hindu, lalu Islam dan Budha dan paling sedikit adalah Kristen dan budha,” jelasnya lebih spesifik.
Menurutnya, paling banyak pasangan nikah beda agama adalah Jabodetabek yang terdata 174 keluarga, jelas laki-laki yang pernah melangsungkan pernikahannya dengan perempuan Kong Hu Cu dengan fasilitas Universitas Paramadina ini.
Dialog ini berakhir pukul 21.30 WIB ini diikuti dari kalangan lintas agama.
Fatwa haram
Seperti diketahui, sebelum ini, dalam keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ber-Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama telah menetapkan fatwa larangan pernikahan berbeda agama.
“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad (yang bisa dijadikan pegangan), adalah haram dan tidak sah,” demikian keputusannya yang ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Jumadil Akhir 1426 H/29 Juli 2005 M dan ditandatangani Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa KH. Ma’ruf Amin.*/thufail (hidayatullah)